Chapter 3: Expectation

577 23 11
                                    

Chapter Summary: Tidak semua hal di dunia berjalan sesuai ekspektasi. Bahkan jika seseorang berada di dunia imajinernya yang nyata, sebagai pencipta pun, ia masih akan menemukan sesuatu yang di luar harapannya.

***

Canna menyukai fantasi. Sebagai seorang remaja pecinta novel fiksi yang antisosial, introvert, dan suka membaca dan menulis buku, segalanya wajar. Ia pertama kali mengenal fantasi dan petualangan saat iseng membeli buku cerita fiksi populer berjudul Harry Potter. Saat itu ia berumur sekitar sepuluh tahun.

Akibat adiksinya terhadap sesuatu berbau fantasi atau action dan imajinasi, timbul rasa anti Canna pada sesuatu yang ada hingar bingarnya dengan romens.

Sebuah kebohongan jika Canna berkata ia tidak menginginkan orang lain di sisinya atau diberi perhatian. Secara bawah sadar pun ia ingin diperhatikan oleh orang lain. Katakanlah ia selalu berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tidak butuh orang lain dan malah menikmati kesendiriannya―tapi itu hanyalah tindakan peyakinan diri. Ia tidak akan menyadari perasaan yang di bawah sadarnya tanpa bantuan orang lain.

Wajahnya selalu dilapisi topeng tanpa ekspresi yang tak kasat mata. Itu memang ekspresi naturalnya―jika ia tidak sedang menghayati luka internalnya yang dikubur dalam-dalam.

Bukan berarti ia tidak berperasaan. Bukan berarti ia tidak punya hati. Takdir mungkin telah memperlakukannya demikian, tapi Canna adalah manusia. Satu entitas lengkap. Hanya saja dengan keadaan memiliki kebutuhan batin yang terpendam.

Romens adalah impian tiap gadis. Canna bersikeras itu tidak berlaku padanya―padahal nyatanya, ia telah menaruh romens terselubung dalam cerita fantasinya. Antara sang tokoh utama dengan pelayannya.

Dan begitulah. Fantasi merupakan imajinasi seseorang yang melibatkan harapan pembuatnya. Fantasi tak lain adalah bentuk ekspektasi. Canna telah memosisikan dirinya sebagai tokoh utama, sadar maupun tidak. Dan itu berarti―

―Franzu adalah fantasinya. Bentuk ekspektasinya terhadap keinginan terpendamnya untuk memuaskan kebutuhan hati yang menjeratnya―cinta.

Dan Canna tidak tahu, bahwa karakter yang telah diciptakannya bisa berada di luar jangkauan ekspektasinya. Seperti, reaksi Franzu ketika Canna membeberkan seluruh faktanya.

Dan ia hanya mampu membeku, dengan mata membelalak dan pikiran berkabut. Fantasinya telah mengkhianatinya.

"Eh?"

Hanya sepatah kata tanda kebingungan itu yang dapat pita suaranya getarkan.

Senyum Franzu tak membantu meredakan keterkejutannya. Hanya menambah kebuntuan di pikiran gadis itu.

"Tenang, Nona," Franzu tertawa bersahabat, terlihat lebih santai dari sebelum-sebelumnya. "Tenangkan dirimu. Aku bisa menjelaskan semuanya."

Tersentak kaget, wajah Canna kembali memerah. "A-Aku tidak sepanik itu! Uhm, eh..." Gelagapan, ia bergerak-gerak gelisah. "M-Maaf."

Franzu, mengamati Canna dekat-dekat seolah menggoda, mendengus geli. Kembali ia tersenyum. Tidak terlalu formal, melihat situasi dan gerak-geriknya.

Laki-laki itu kemudian menuntun Canna ke tempat lain tanpa banyak bicara. Ia hanya mengulurkan tangan. Canna, takut menerimanya, hanya melangkah maju. Ia membungkam mulut selama berjalan. Tiap langkah serasa mendatangkan lebih banyak beban kegugupan.

Mereka tidak lama berjalan. Franzu membawa Canna ke sebuah padang rumput luas dengan bunga-bunga segar bertebaran yang ditaburi sinar matahari. Tempat sederhana yang selalu disukai si gadis berambut jingga.

"Kurasa lebih nyaman bercerita di tempat seperti ini," kata Franzu. "Firasatku mengatakan kita akan lama bercerita."

Canna merespon dengan simpel; mengangguk.

Painful RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang