Chapter 1: Reality

1.3K 62 29
                                    

Chapter Summary: Realitas, di mana semua orang menjalankan keseharian dan kehidupan mereka yang sesungguhnya. Ingin maupun tak ingin.

***

Gadis berambut oranye itu mendorong sebuah pintu dan menapakkan kaki kanannya ke dalam ruangan di mana ada banyak meja dan kursi tersusun rapi di dalamnya, beserta papan tulis di depan ruangan tersebut―ya, kita menyebutnya ruang kelas. Bola mata beriris birunya langsung terarah pada meja dan kursi yang terletak di sudut kanan belakang kelas. Segera ia melangkahkan kakinya dan berjalan menuju kedua objek yang sedang ditatapnya, lalu menarik kursi, duduk, dan menghela napas pelan. Ia membuka ranselnya, mengambil sebuah buku beserta kotak pensil, dan meletakkan kedua benda tersebut di atas mejanya. Ia mengeluarkan sebuah pensil dari kotak pensilnya dan mulai menulis di buku tersebut.

Kesunyian memenuhi tempat itu. Gadis itu hanya sendirian di kelasnya. Dan ia memang tidak ingin kesunyian itu terusik.

Namanya Anne Canna Greyfort―tapi ia lebih suka dipanggil Canna. Gadis tipe pendiam yang merupakan salah satu bahan tindasan oleh para siswi populer.

Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan akhir semester dua. Dengan kata lain, tahun ajaran baru. Sekarang Canna sudah naik ke kelas delapan. Ia sengaja duduk di paling pojok kelas, karena sebenarnya, ia termasuk "tidak dianggap" sebagai anggota kelas di kelasnya saat kelas tujuh dulu. Dan saat ia melihat di papan pengumuman, anggota kelasnya sama sekali tidak diubah.

Tidak masalah. Ada dia.

Tiba-tiba, terdengar beberapa suara tawa gadis-gadis remaja. Canna langsung mengenali mereka. Mereka adalah anak-anak populer yang sudah berlangganan untuk menindas Canna, walau mereka tahu bahwa Canna akan melawan mereka. Canna hanya terus menulis di bukunya dan diam-diam mempersiapkan diri.

Sesuai dugaan Canna, para anak populer itu memang masih bercanda ria dan tertawa ketika baru memasuki kelas. Tapi kemudian, Canna tidak mendengar suara apa pun lagi kecuali suara kicauan burung.

Di saat yang bersamaan, ia juga berhenti menulis tanpa melepaskan pensilnya.

Lalu, terdengar sebuah bunyi pukulan. Bukan, bukan pukulan seperti tamparan atau memukul orang. Canna tidak tersentuh sama sekali oleh anak-anak populer itu, tapi ia melihat sebuah tangan dengan kuku panjang yang di-manicure terletak di atas mejanya. Ia mengangkat kepalanya dan menatap gadis berambut pirang yang dicat dan bermata biru yang di-softlens ini―Canna yakin bahwa gadis itu sebenarnya tidak punya penyakit mata. Seingat Canna, nama gadis penindas ini Rie Purples.

"Ada apa?" tanya Canna, masih menatap tajam gadis di depannya.

Nona Purples itu membalas tatapan Canna dengan tatapan marah.

"Ini tempat duduk kami," geramnya, "jadi minggir! Pergi dari sini!"

"Oh, jadi kalian berempat duduk di satu kursi?"

Nona Purples itu hanya menggeretakkan gigi. Christine Brownie, teman Rie Purples yg berkulit hitam manis―jangan salah, Canna tidak ingin mengakui bahwa ia manis, tapi kenyataannya demikian―berambut cokelat gelap, dan ber-make up, maju dan membentak Canna.

"Tentu tidak! Kalau kau tidak ingin mencari masalah, singkirkanlah bokongmu yang tidak seksi dari kursi itu dan duduklah di tempat lain! TANPA MELAWAN!"

"Mana surat bukti bahwa ini tempat duduk kalian? Aku butuh bukti resmi." Canna menyahut.

Purples terlihat makin marah. Segera sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Canna. Canna tidak menolak tamparan itu. Tapi, ia membalasnya.

Diam-diam ia meletakkan kakinya ke belakang kedua pergelangan kaki Purples, lalu menarik kakinya kuat-kuat. Lalu, Purples terpeleset dan punggung dan belakang kepalanya menghantam lantai kelas tersebut. Ketiga teman Purples terlihat sangat kaget. Canna sebenarnya ingin menyeringai, tapi ia ingin terlihat cool dan bukan fierce, jadi ia tetap memasang ekspresi datarnya.

Painful RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang