Pendosa || Part.3

121 14 2
                                    

Decakan kesal terlontar begitu saja dari bibir seorang pemuda berpakaian urakan. Beberapa kali, nampak pemuda itu menendang kesal apapun yang ada di depannya, sebagai pelampiasan.

Seharusnya yang ada diposisinya saat ini adalah si culun itu. Membersihkan gudang lantai tiga yang terkenal angker. Bukan dirinya yang berstatus sebagai pewaris tunggal keluarga Saswita. Ish, harga dirinya benar-benar telah diinjak-injak. Hilang sudah imagenya sebagai bad boy yang kebal akan hukum.

Brak.

Paul membuka kasar pintu gudang dengan kakinya. Menjijikkan rasanya, bila tangannya harus bersentuhan langsung dengan pintu kotor di depannya.

Memasuki tempat tadi dengan malas. Paul terus mengoceh mengenai hukuman yang guru kedisiplinan berikan padanya. Seusai terlibat adu jotos dengan bocah culun yang sialnya adalah anak dari guru tersebut. Padahal ini semua bukan salah Paul semata. Bocah culun itu yang memulai duluan. Dia dengan sengaja menabrak Paul hingga wajahnya tersiram jus.

Tapi apa yang bisa Paul perbuat. Melakukan pembelaan pun akan sia-sia. Guru itu pasti akan dengan mudah menampik semua kebenaran dengan berlindung di balik embel-embel, Paul si anak nakal yang hobi membuat masalah. Cih. Tidak tahu saja anaknya bahkan lebih nakal ketimbang dirinya.

Andai saja guru tadi tidak mengancam akan mengadu pada orang tuanya. Pasti Paul akan lebih memilih bolos ke warung makan dekat perempatan sekolah.

"Ck, kapan selesainya." Gerutu Paul muak sambil memindahkan satu persatu kardus yang ada ke dalam rak.

Ketika hendak memindahkan kardus lain yang masih tersisa. Paul justru mendapati sesosok mengerikan bersimbah darah diantara tumpukan kardus itu. Ia terjengkang, kaget dengan apa yang ditemukannya.

Setelah meyakinkan dirinya apabila yang dilihatnya bukanlah hantu. Paul segera mendekati sosok tadi. Berpikir mungkin saja dia adalah salah satu korban bully yang membutuhkan pertolongannya.

Dengan sigap pemuda itu menghubungi teman-temannya. Meminta mereka untuk menyiapkan mobil serta P3K. Kemudian membawa sosok mengenaskan tadi keluar untuk dilarikan ke rumah sakit.

Sepeninggalan Paul. Beberapa menit kemudian datang segerombolan pria berjas hitam. Mereka terlihat menyusuri area gudang, seolah sedang mencari sesuatu.

"Hanya ada bercak darahnya, Pak." Lapor salah seorang pria ke pada sosok pria berkacamata yang berpangkat lebih tinggi darinya.

Sosok berkacamata itu mendegus kasar. Merasa kesal. Pasti setelah ini dirinya akan diamuk oleh nona muda mereka, sebab tidak melakukan tugas dengan benar.

"Susuri area ini sekali lagi," Pria berkacamata itu menunjuk salah satu bawahannya. "Dan kamu. Pergi ke ruang cctv untuk melihat apakah ada orang lain yang datang ke tempat ini setelah nona muda."

Mereka mengangguk patuh. Kemudian melaksanakan setiap perintah atasan mereka dengan penuh keseriusan.

***

"Sesuap lagi, terus udah." Bujuk ayah memaksa Prada untuk menghabiskan sisa jatah makannya.

Prada menggeleng. Mual setiap mengingat rasa masakan rumah sakit yang sangat hambar. Ditambah aroma khas obat yang menguar di sekitarnya, membuat selera makan Prada menguap begitu saja.

"Udah, Yah. Prada kenyang," ucap Prada penuh kebohongan. Padahal nyatanya dia sangat kelaparan.

Ayah menghela napas. Kemudian ia meletakan nampan berisi jatah makan Prada. Memilih mengalah, karena sudah lelah membujuk anak tampannya ini.

Bertepatan dengan momen itu, ponsel ayah berdering. Menampilkan nomor asing yang tidak ia kenal sebelumnya. Melirik Prada sebentar, ayah kemudian berjalan menjauh untuk mengangkat panggilan tadi.

Di sisi lain, Prada yang kelaparan membayangkan semangkuk sup krim lezat buatan Yucci. Gadis itu sangat ahli dalam hal memasak. Bahkan setiap masakan yang Yucci buat selalu meninggalkan kesan unik tersediri.

Ah, rasanya sudah lama sekali pria itu tidak mencicipi masakan Yucci. Terakhir kali dia mencicipinya itu sudah lebih dari lima tahun yang lalu. Prada tersenyum, ia jadi rindu hari-hari indah yang pernah terjadi diantara keduanya.

"Yah, aku kangen yucci. Apa bisa aku pulang lebih cepat?" Tanya Prada santai. Tidak tahu bila ayahnya telah meninggalkannya seorang diri di ruangan itu.

Seorang pria berpakaian perawat tiba-tiba masuk. Pria itu kemudian menyahut sinis, "jika ingin pulang. Anda harus rajin minum obat, eum tapi itu terlalu lama. Bagaimana dengan racun? Manusia hina sepertimu harusnya mati!"

"Bercanda kok. Ngomong-ngomong, lo apa kabar? Enak ya masih bisa hidup tenang setelah apa yang lo perbuat."

Prada menegang, begitu mengenali suara yang baru saja didengarnya. Keringat sebesar biji jagung membasahi dahi serta sekitar lehernya. Tubuh Prada juga sedikit menggigil ketakutan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri secara acak, mencari sosok pemilik suara tadi.

"Sean?"

Pria yang dipanggil Sean itu memasang raut wajah seolah terkejut. Mengambil sebutir apel yang ada di nakas, ia lalu berujar, "Gila ternyata lo masih ingat sama gue? Gue pikir lo lupa setelah hari itu."

Mendengar itu Prada mencengkram erat selimutnya. Merasa terusik dengan kedatangan sahabatnya itu, atau haruskah ia sebut mantan sahabat?

"Ada apa ke mari?" Tanya Prada.

"Lo pikir apa yang bakal diperbuat sama orang yang pernah lo masukin ke penjara?"

Prada diam tak mampu berkutip. Mendadak tenggorokannya terasa tercekat. Seperti ada bola tenis yang mengganjal kerongkongannya hingga ia kesulitan untuk bicara dan bernapas.

"Selama lo belum ngerasain apa yang adik gue rasain, gue bakal buat lo menderita!"

Ancaman itu datang bersamaan dengan sebuah sambaran petir. Seolah setiap kata yang baru saja terucap tadi akan menjadi kenyataan.

"Maaf." Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir pucat Prada. Tak ingin membela diri sebab menyadari seberapa besar kesalahannya di masalalu yang tak pantas mendapat pembelaan.

"Lo pikir maaf bisa ngembaliin semuanya? Hidup adek gue udah terlanjur hancur dan lo segampang itu ngomong maaf."

"Terus mau lo apa?" Tanya Prada.

"Lihat lo menderitaan persis kaya adek gue!" Bentak Sean melempar sisa apel ditangannya hingga meja yang menjadi tempat mendaratnya apel itu pecah tak beraturan.

Mengecek jam tangan yang bertenger di pergelangan tangannya, Sean berdecak. Menyesali waktu singkatnya untuk menyapa kawan lamannya.

"Sebenernya gue masih pengin ngobrol banyak hal sama lo, sayangnya ... waktu gue udah habis. See u next time bro, semoga kita bisa ngobrol panjang lebar lain kali." Bisik pria tadi tepat di sebelah telinga Prada.

"Semoga karma buruk menyertaimu, pendosa!" Tutur Sean menutup obrolan.

Sean meletakan setangkai mawar hitam serta sebuah surat sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu. Menyisakan Prada yang hanya bisa termenung dengan segala ingatan kelam memenuhi kepalanya.

***

Tbc....

SECRET STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang