Aku benci mengakuinya, tapi aku iri pada semua orang. Pada status mereka, pada kondisi mereka, terutama pada penampilan mereka. Pada wajah-wajah yang menawan, pada iris mata yang bersinar terang, berwarna-warni. Bahkan, di antara lima pilihan warna yang tersedia, kenapa milikku masih hitam? Lebih mengenaskannya lagi, akulah satu-satunya di keluarga yang memiliki iris hitam, tapi kenapa?
*
"Para, tidak bisakah kamu lebih cepat sedikit!" teriakku, sambil menggedor pintu kamar mandi, sama sekali tidak bersabar.
Ini Senin pagi, dua kombinasi waktu yang sangat buruk. Seperti biasanya, pagi ini merupakan pagi tersibuk di setiap minggu, setidaknya di rumah ini. Setelah seharian penuh bersantai di hari sebelumnya, kini situasi berada di sebaliknya. Sumber keributan ada di setiap titik, di setiap orang. Semua sibuk dengan urusan masing-masing, pun kebisingan masing-masing. Parahnya lagi, Para menyerobot antrean kamar mandi, membuat keadaan semakin kacau.
"Binar, mungkin kamu mau makan dulu? Mumpung lauknya sudah hampir matang," teriak Ibu dari dapur, yang hanya dibatasi sekat tipis. "Kalau tidak mau ya sudah," lanjutnya lagi, setelah mendapati bahwa aku tidak merespon pertanyaannya.
Sebenarnya, aku hanya menggeleng pelan, meskipun Ibu jelas tidak bisa melihatnya. Tapi setidaknya, asumsinya benar, dan aku harus menunggu Para sedikit lebih lama. Aku kembali menggedor pintunya, kali ini lebih pelan. Jika ia tidak bisa lebih cepat, bisa-bisa aku terlambat pergi ke sekolah. Kabar baiknya, ia segera keluar dari kamar mandi, sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya, seragam biru-putih. Ia hanya nyengir lebar, sembari menangkis pukulanku. Lantas berlari meninggalkanku, yang masih menahan kekesalan.
Aku memulai kegiatanku di kamar mandi dengan berkaca. Setiap kesempatan, fokusku selalu pada kedua mataku. Mata hitam legam yang sedikit kusesali, dan kubenci. Meskipun mereka jelas tidak bersalah, tapi tetap saja. Bandingkan dengan milik Para, mata berwarna kuning pudar yang terlihat sungguh menawan. Apalagi saat nyengir tadi, terlihat menyala benderang. Atau mata hijau tua milik Ayah, yang meskipun aneh, menambah ketegasan dan kewibawaannya. Meski favoritku tetaplah warna mata Ibu, biru langit, yang bahkan dengan memandangnya saja dapat menentramkan jiwaku. Bahkan menyihirku untuk tetap tenang. Tidak seperti milikku, mata hitam legam yang menyeramkan, yang entah terwarisi dari siapa. Atau bisa saja, aku ini anak pungut. Siapa yang tahu?
Kejadian di kamar mandi membuatku sedikit uring-uringan. Terlebih saat mendapati Para memberantakan meja belajar, yang sesorean kemarin sudah kubereskan rapi-rapi. Aku sempat berteriak marah karenanya, menghentikan kebisingan di rumah selama beberapa detik kemudian. Untuk kemudian (sedikit) kusesali, setelah melihat muka piasnya. Saat kutanyakan kenapa, ternyata ia kehilangan topi birunya. Aku hendak tertawa, namun kutahan sebisa mungkin, lantas ikut membantunya mencari. Setelah sebelumnya, kupastikan ia merapikan kembali meja belajar, sangatlah harus!
"Sekolah Binar baik-baik saja?" tanya Ayah segera, setelah duduk nyaman di kursi Bus TransKota.
Aku hanya mengangguk pelan, dengan begini percakapan akan segera usai, ikut duduk di samping Ayah. Baru saja menyentuh kursi, bus ini sudah melaju saja. Membuatku sedikit gelagapan, langsung mencengkeram benda terdekat, yang mana ialah lengan Ayah. Ayah meringis kecil, membuatku meminta maaf. Rasanya sungguh memalukan, terlebih ada iringan tawa dari kursi seberang. Siapa lagi kalau bukan Para. Tapi untungnya, kami tidak ketinggalan bus, setelah belasan menit mencari topi biru Para, aku akhirnya menyerah. Nihil, kami tidak bisa menemukannya. Aku lebih memilih menghabiskan sarapan dengan tergesa-gesa, yang kemudian diteladani oleh Para. Masih dengan muka pasainya, ia ambil beberapa lembar roti, lantas hendak mencari ke kamar lagi, sebelum benar-benar dihentikan oleh Ibu. Ibu yang sedang memasang senyum terlebarnya, sambil membawa topi biru Para dari jemuran baju. Antiklimaks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ras: warna dasar
FantasyAku benci mengakuinya, tapi aku iri pada semua orang. Pada status mereka, pada kondisi mereka, terutama pada penampilan mereka. Pada wajah-wajah yang menawan, pada iris mata yang bersinar terang, berwarna-warni. Bahkan, di antara lima pilihan warna...