"Binar, menunduk!!" teriak Ayah kencang, membuatku reflek menunduk. "Bukankah sudah Ayah bilang untuk tidak ke sini?" katanya dipenuhi dengan amarah. Ayah terduduk beberapa langkah dari penyekat ruang, juga Ibu, yang terlihat kesakitan, meski sudah mati-matian menahan rasa.
"Jangan salahkan Para, Kak. Padahal kan, Para hanya meminta keluar baik-baik, tapi kedua orang tua itu? Jadi terpaksa kulumpuhkan, hanya sementara kok Kak, nanti malam efeknya juga akan hilang," Para yang hendak keluar lewat pintu dapur mengurungkan niatnya, menunggu sebentar hanya untuk 'mengobrol' denganku. Bahkan, duduk dengan santai di atas meja, lukanya kemarin sudah tidak terlihat sama sekali.
Aku berdiri, tidak peduli dengan perintah Ayah, menantang Para. "Orang tua? Ke mana perginya sopan santunmu selama ini hah?" Aku tahu jika aku bodoh. Selain, tidak ada yang bisa kulakukan, aku juga tidak tahu apa yang akan Para lakukan; bukankah benar-benar sebuah kenekatan?
Para tertawa keras, sedikit bahak. "Apakah di antara orang tua ini ada yang hendak menjelaskan pada Kak Binar? Ayolah, kalian berdua hanya tidak bisa berpindah tempat, bukan? Apa susahnya memberitahukan padanya, menjelaskan hal sekecil itu?" terdengar mengkal, bahkan tangannya menghancurkan ganggang pintu yang digengamnya, membuatku berpikir sekali lagi. "Tidak ada? Baiklah, biar kujelaskan pada Kak Binar." Ia arahkan tangannya padaku, jarinya membentuk pistol-pistolan, yang sering ia mainkan waktu kecil; ia menyeringai lebar.
Sesuatu yang sangat kecil keluar dari ujung jari telunjuknya. Bergerak cepat sekali, menyasar ke arahku. Aku sempat tertegun, apakah ini mimpi? Hanya sekian detik, sadar berkat teriakan kencang Ayah. Aku juga menyeringai; aku memang tidak menyasar sesuatu, melainkan sebaliknya. Mudah sekali tubuhku meliuk, menghindarinya dalam jarak beberapa ruasan jari.
Para tidak merubah reaksinya, masih menikmati momentum ini, untuk bersenang-senang tentunya, meski gagal menyasarku. Kembali menembakkan dua kali, yang juga berhasil kuhindari. Sudah bosan, ia melambaikan tangannya, mengabaikanku dengan bimbang akan menentukan langkah. Tapi nahasnya, tidak akan semudah itu. Para meninju pintu belakang, membuatnya hancur berkeping-keping; mengkal atas lapisan di baliknya, yang tidak bisa ia tembus.
"Aku masih berbaik hati terhadap kalian, tapi apa balasannya?" Para berbalik badan, mengarahkan kedua tangannya pada Ayah dan Ibu sekaligus, membuka telapak tangannya. Bersiap.
Aku berteriak kesal, "Hentikan Para, cukup sudah!" Kuambil beberapa langkah, menjadi perisai jika Para melepas tembakan.
"Kenapa tidak Kakak hentikan wanita itu dulu, sebelum menghentikanku?"
Eh? Aku sedikit celingukan, tidak sadar apa yang Para maksud. Pintas melewatkan sesuatu hal yang krusial, tidak jauh beda dengan Para. Ibu memang tidak bisa bergerak, tapi itu hanya kakinya yang tersimpuh; bukan tangannya. Tangannya bebas bergerak, yang sudah sejak kapan menggurat lantai dengan spidol permanen; membuat sebuah pola yang mengesankan. Ada aura kebiruan menguar dari pola tersebut, yang juga melingkupi seisi rumah.
"Tidak akan semudah itu nak!" desah Ibu pelan, yang meski menatap tajam masih menyisakan getar.
"Sekarang lihat ibumu Kak! Bukankah dia yang meminta?" Para berteriak jengkel, melepas beruntun kedua amunisinya.
"Ayah, sekarang!!" teriak Ibu sengau.
Ayah tidak tertahan di tempatnya, itu hanyalah pengalian. Tubuh besarnya masih bisa digerakkan, melompat ke depan, melindungiku. Mata hijaunya meyala terang, terang sekali, mengulum senyum padaku. Ia terima semua amunisinya sekaligus, telak mengenai dirinya. Aku menahan napas. Hening.
"Menurutmu, aku akan mengeluarkan amunisi yang sama? Bodoh sekali."
Ayah terkapar di atas lantai, merintih kesakitan. Tubuhnya memerah, ada banyak sekali bintik tonjolan kecil di sekujur tubuhnya. Tahanan napasku terlepas, pun dengan air mataku, tumpah ruah. Aku bersimpuh di dekatnya, hendak memeluknya. Tapi ia melarangku pelan, bilang bahwa efeknya bisa menular. Aku hanya bisa menangis terisak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ras: warna dasar
FantasyAku benci mengakuinya, tapi aku iri pada semua orang. Pada status mereka, pada kondisi mereka, terutama pada penampilan mereka. Pada wajah-wajah yang menawan, pada iris mata yang bersinar terang, berwarna-warni. Bahkan, di antara lima pilihan warna...