B

4 0 0
                                    

Sore yang melelahkan, tapi impas. Aku tiba di rumah saat matahari mulai bersembunyi di balik perbukitan. Yang malu-malu memancarkan sinar jingganya, menyisakan berkas cahaya yang disaring oleh rimbunnya pepohonan di atas sana. Berkasnya jatuh di atas putihnya lantai keramik, yang kemudian dipantulkan ke langit-langit ruangan. Tidak lupa tertinggal, siluet jingga yang ikut mewarnai guratan awan yang ada. Indah memukau mata.

Aku melepas sepatuku, mengetuk pintu pelan sambil mengucap salam. Jauh lebih beradab dibandingkan hari kemarin. Melangkah sembari bersenandung riang, menyapa boneka yang berjaga di ruang tamu, juga figur dalam lukisan yang sedang memandang langit. Aku terus melangkah menuju ke kamar, yang masih kosong ditinggal empunya kamar. Para, ke mana lagi perginya anak itu?

"Binar tahu nggak, Para ada di mana? Ini sudah hampir malam, kok belum balik juga?" Ibu berteriak dari dapur, sedang memasak makan malam.

Aku sedang di kamar mandi. Masih mematut diri di depan kaca, setelah memastikan diri bersih dari atas hingga ke bawah. Lelah sudah terangkat dari tubuh, kini sudah kembali segar. Untuk yang terakhir kalinya, kuperhatikan baik-baik bola mataku. Menyungging senyum, kuharap aku bisa melihat betapa indah warnanya.

"Hmm, Binar juga tidak tahu, kemarin Para tidak kesorean kok pulangnya. Atau mungkin dia ada masalah?" responku terhadap Ibu setelah keluar dari kamar mandi.

Bukan jawaban yang baik. Itu malah membuat muka Ibu sedikit terlipat, terlihat khawatir. Membuatku merasa bersalah, menjadikan atmosfer ruangan terasa aneh. Ah, tapi untungnya, ketukan pintu dan ucapan salam dari Para mengakhiri semuanya. Aku segera berlari kecil ke depan, menyambut kepulangannya. Bukan sambutan, melainkan rasa kaget dan getar ketakutan.

Para melangkah tertatih, sedikit terhuyung. Tidak tinggal diam, aku segera menuntunnya menuju kamar. Mengabaikan betapa kotor pakaiannya saat ini. Sekujur tubuhnya dipenuhi lebam kebiruan, juga beberapa bagian lecet-lecet, bahkan masih mengeluarkan darah segar. Aku berteriak memanggil Ibu, suaraku sedikit parau.

"Binar, segera ambil kain, baskom berisi air dingin, juga obat merah. Cepat!" perintah Ibu, dengan suara bergetar cemas, yang bersimpuh di lantai; terus memandang Para yang duduk menahan sakit di atas kursi.

Aku segera berlari, meletakkan handuk yang memeluk leher di sembarang tempat. Menuju ke tiap-tiap ruang, segera mencari dan menyiapkan semua yang diperlukan Ibu, sambil terus mengikuti percakapan mereka, yang terdengar jelas.

"Bisakah kau jelaskan pada Ibu, nak, apa yang terjadi padamu? Apakah lukanya masih terasa sakit?" Tanpa melihatnya sekalipun, aku yakin bahwa Ibu sudah meneteskan air mata.

"Sudah agak mendingan." Juga dengan Para, ikut tertular kesedihan Ibu.

"Para belum menjawab pertanyaan Ibu yang pertama, apa yang terjadi padamu?"

"Berkelahi, Para berkelahi. Maafkan Para, bu. Bukan Para yang memulai, melainkan teman di ekskul silat." Para terisak, susah payah menjelaskan ke Ibu.

Aku hati-hati membawa pesanan Ibu. Baru juga sampai di kamar, Ibu segera terburu keluar, kembali ke dapur untuk mengecek masakannya. Setelah memberiku sebuah tugas kecil. Pelan-pelan, kubersihkan luka disekujur tubuh Para, mulai dari kakinya.

"Kenapa kamu berbohong?" pelan sekali aku bertanya, agar tidak terdengar dari luar.

Mata Para membulat besar, dengan suara pelan ia berkata, "Tidak ada yang berbohong kak. Itu yang terjadi pada Para." Suaranya masih didominasi oleh isak tangis.

Aku tersenyum simpul. "Kamu mungkin bisa mengelabuhi Ibu, tapi tidak denganku. Menurutmu, apa fungsinya tinggal sekamar denganmu selama 14 tahun ini? Aku tahu kapan kamu berkata jujur, kapan kamu berbohong. Intonasi, mimik wajah, juga gerak tubuhmu terlihat jelas di mataku. Apa ada sanggahan?" jelasku, sambil terus hati-hati membersihkan lukanya.

Ras: warna dasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang