A

7 2 0
                                    

Tanpa perlu ketukan dan salam, kubuka pintu rumah. Wajahku masih merah padam. Lantas, kembali kubanting untuk menutupnya. Aku menghentakkan kaki kuat-kuat, sengaja benar mencari perhatian penghuni rumah. Bahkan, lupa—untuk tidak dibilang malas— melepas sepatu, yang untungnya tidak terlalu kotor. Terus masuk begitu saja hingga ke kamar. Melepas sepatu, menyisihkannya sembarang dengan kakiku, melepas tas lalu melemparnya dengan sembarang pula. Lantas, kujatuhkan tubuhku ke kasur, membenamkan diri dalam empuknya kasur. Mendinginkan diri, menenangkan hati.

Hanya beberapa menit aku bertahan di posisi itu. Bodohnya aku, yang ada mukaku bertambah panas. Aku membalik badan, mengamati langit-langit ruangan. Mengamati lukisan berwarna-warni di atas sana. Pandanganku lalu berpindah pada telapak tangan, yang masih sedikit bergetar. Kembali mengingatnya membuatku muak. Orang-orang sinting.

"Para pulang!" setengah berteriak, ia buka pintu kamar. Penampilannya berantakan sekali, sudah tidak berbentuk lagi. Ada beberapa lebam biru di wajah dan lengannya. Masih berdiri, sambil mengatur napas tak beraturannya, juga mengelap keringat yang membasahi wajahnya.

Aku bangun. Sedikit kasihan terhadap kondisinya. "Kenapa pulang telat? Pun, apalagi yang terjadi padamu. Hati-hati saja kena marah Ibu." Akhirnya kualokasikan sisa kekesalanku kepada Para, mencoba menggodanya.

"E-eh, Para kan cuma ikut ekskul, masa nggak boleh. Curang banget." Ia duduk di kasur, mengatur napasnya, memasang muka cemberut. "Lagian kan, Para pulangnya nggak larut sore."

Aku berdiri, membereskan barang-barang yang tadi sempat kulempar. "Ekskul apa?" Juga memberikan botol minumku pada Para.

"Silat, keren bukan?" Ia tersenyum lebar, menutup kedua matanya, membuatnya terlihat imut.

Ah, ekspresi itu. Menurutmu, Kakak akan termakan tipu dayamu kali ini?

*

Makan malam berjalan seperti biasanya. Bedanya, untuk hal yang sangat jarang, Ayah ikut dalam makan malam ini, tidak ada lembur untuk malam ini. Semakin meramaikan suasana. Kami pun sudah bersiap di meja makan, bahkan belasan menit sebelum masakan matang. Beberapa kali, aku ikut andil dalam mengolah masakan, atau sekedar menyiapkan bahan-bahan yang dimasak, juga piring dan gelas.

Makan malam berjalan menyenangkan. Bahkan, celotehan terus keluar dari meja makan, tidak henti-hentinya. Kecuali fakta jika aku menyisakan makanan, masih ada beberapa suap yang tersisa di piring. Sebenarnya tidak apa, namun, berhubung kondisiku yang kurang baik, semua perhatian jadi tertuju padaku. Sial bagiku, malah teringat kejadian sore tadi. Wajah terlipatku yang terlihat murung menghentikan percakapan yang ada, malah dijadikan objek tontonan.

"Sayurnya terlalu asin kah?" Ayah masih dengan gurauannya, sedikit kelepasan tawa.

Ibu yang duduk di sampingnya mendengus sebal. "Ssst, diam!" desis Ibu pada Ayah. "Kalau Binar masih nggak enak badan, atau mungkin sedang ingin menyendiri, Binar bisa ke kamar duluan. Biar Ibu yang beres-beres, lalu Para yang akan menggantikan tugasmu mencuci piring. Bagaimana?" Ibu memberikan solusi yang lebih bijak.

Para jelas tidak setuju, tapi sebelum ia sempat mendebat keputusan Ibu, Ibu sudah lebih dulu 'mengusirku'. Ibu juga terus menatap tajam Para, membuat mulutnya tak berkutik. Aku dengan gontai menuju kamar, sedangkan Para masih tidak terima menggantikan tugasku, meski akhirnya, Para mulai melangkah ke dapur dengan terpaksa.

Sambil bersenandung riang, Para membuka pintu kamar. Senandungnya berhenti saat melihatku menangis, wajah riangnya ikut terlipat. "Kakak kenapa? Kalau mau, cerita saja." Ia lalu mencari sesuatu di atas meja, menyetel lagu A3, dengan alunan mendayu; favoritku saat sedang sedih. "Atau mungkin, Kakak ingin sendiri dulu? Kalau iya, Para akan ke ruang tengah saja."

Ras: warna dasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang