D

6 1 1
                                    

Aku siap.

Lagu laga dari film favoritku kuputar terus-menerus. Hingga menggema di dalam telinga, terdengar berulang-ulang. Sambil terus menghentakkan kaki, kupatut diri di depan cermin, pakaian gelap kombinasi hitam dan abu-abu terlihat sepadan dengan mata hitamku. Juga tas serutku yang terlihat menyatu denganku. Kucoba memasang seringai, yang kurasa amat cocok.

Tas serut itu berisi banyak hal, terutama pusaka dari Ibu. Ibu meminjamkan kedua pusakanya, yang terus diturunkan dari generasi ke generasi. Pertama, ialah pusaka yang berbentuk buku saku, kecil dengan sampul berwarna biru langit, mirip dengan mata Ibu. Itu merupakan buku sihir; berisi penjelasan mengenai sihir, baik fungsi, prosedur, maupun bahan serta harga yang harus dibayar. Yang kedua ialah jepit rambut dari kayu, yang tidak kuketahui kegunaannya, pun terlihat menyangsikan.

Lima menit yang lalu, aku masih merebahkan diri di kasur, memeras otak. Sadar bahwa sama sekali tidak tahu ke mana perginya Para, pun tidak ada ide bagiamana cara menemukannya. Satu-satunya harapan ialah Klub Abstrak, atau mungkin Aloe, itu pun kalau mereka bersedia dan mampu membantu. Namun yang pasti, keduanya dapat kutemui secepatnya di festival malam ini. Nada pemberitahuan ponsel menyadarkanku. Jemariku kembali sibuk menekan-nekan layar ponsel, berbalas pesan dengan Fera. Setelah mendapat izin dari Ibu, serta dikatalisasi oleh Fera, untuk pertama kalinya, kuputuskan untuk mengikuti festival tersebut. Festival termegah tiap tahunnya, di sepanjang Kali Putih.

Aku mencium tangan Ibu, yang mencoba tersenyum, meski masih terlihat sisa kesedihan di wajahnya. Hal yang sama berlaku bagi Ayah, yang sedang mengerjakan sesuatu di kamarnya. Aku memasang sepatu hitamku sebelum keluar, masih Ibu perhatikan. Juga, untuk pertama kalinya, aku bisa melihat kubah ini. Selaput tipis, berwarna biru pudar melingkupi rumah kami. Aku menutup mata, mencoba menembusnya. Tidak ada efeknya, aku menembus keluar begitu saja, mungkin perlindungan satu arah?

Kulambaikan tangan ke arah Ibu, yang menyungging senyum lebarnya. Terlihat berbeda jika dipandang dari luar, kubah tersebut berwarna biru, pun mengeluarkan semburat tipis cahaya. Meniru bentuk kepala kucing, yang sedang membuka mulutnya lebar, menampakkan taring-taringnya, memberi peringatan. Menakjubkan.

Jarak halte dari rumah tidaklah jauh, kurang dari lima menit berjalan kaki. Kabut putih yang membungkus sangatlah tebal, dingin juga sedikit menyesakkan, mengingatkanku untuk mengenakan masker. Itu juga membatasi pandanganku, hanya radius belasan meter saja, memaksaku untuk melangkahkan kaki dengan hati-hati, mengurangi potensi kecelakaan (terpeleset).

Sayangnya, bus selanjutnya masih sekitar tujuh menit lagi, membuatku harus menunggu di halte sendirian. Hening. Sudah ada kabut tebal, pun ditambah remang lampu halte, suasana benar terasa mencekam. Satu-satunya pengalih perhatian ialah ponsel, yang bahkan jauh lebih terang dari cahaya yang ada. Kutenggelamkan diriku ke dalamnya, menetralisir rasa takutku.

Langkah ringannya terdengar berirama, seseorang datang, ikut menunggu di halte, duduk di sampingku. "Halo, Puan Annona," sapanya bersahabat.

"Siapa Annona? Mungkin anda salah orang." Kuperhatikan senyum di wajahnya, yang ikut membuatku melakukan hal yang sama.

Ia terlihat kebingungan. "Bukan ya? Tapi tak apa." Mencengkeram erat tanganku. "Bukan Annona pun tak apa." Ia menyeringai lebar, matmenarikku kuat.

Tck. Baru juga sebentar keluar rumah, sudah seperti ini. Panik. Aku menggigit bibirku keras, persetan akan sakit yang akan kudapat nantinya. Aku mangatur deru napasku, mencoba untuk lebih tenang; berpikir. Apa yang tadi Ayah sempat bilang? Ada tiga cara: berteriak minta bantuan, lawan dan menang, atau lawan dan lari. Cara pertama jelas tidak mungkin, kecil kemungkinannya ada orang yang segabut itu menyempatkan waktunya berjalan-jalan di sekitar sini. Sisanya, harus dimulai dengan sebuah perlawanan; mau tidak mau. Aku berjalan tertatih di belakangnya.

Ras: warna dasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang