1

819 31 28
                                    

Sinar matahari masuk ke dalam kamar Alanda dengan leluasa. Burung-burung berkicauan dan hinggap di pohon yang dekat dari jendela. Angin pagi yang sejuk berlarian ke sana ke mari, namun tidak tertawa.

Alanda masih tertidur dengan cantik saat sahabatnya sudah datang untuk mengajaknya berangkat sekolah bersama.

"Alanda! Bangun! Cepetttt!! Nanti telatttt!" Seru Dinda.

"Alandaaa!!!" Kali ini Dinda menggoyang goyangkan badan Alanda. Alanda memang type orang yang susah sekali dibangunkan. Siapa nih yang kaya Alanda?

"Iyaaaa. Ini gw bangun...." Ucap Alanda masih menutup mata. Alanda berusaha untuk mengulet, meregangkan ototnya ototnya.

"Mata lu, buka!" Ucap Dinda yang mulai geram, untung saja dia menjemput Alanda satu jam sebelum waktu biasa mereka berangkat.

"Iya ini udah bangun ish, berisik banget." Alanda membuka paksa matanya menggunakan jarinya. Hal itu membuat Dinda tertawa, melihat tingkah sahabatnya, selalu saja begitu.

"Ya udah cepet mandi!"

"Iya ini... jdkfjjdkdjldk," ucap Alanda tak jelas, mengigau rupanya.

"Hah? Ngomong apaan dah."

Alanda bangun sembari tersenyum melihatkan gigi-giginya yang rapih. Walau tak ada gingsul dan lesung pipi,  tak membuat kemanisannya berkurang.

"Yee malah cengar-cengir bocah." Dinda menjitak pelan kepala Alanda saking geramnya. Raut wajah Alanda berubah menjadi kesal, sudah sadar sepertinya. Ampuh juga jitakan Dinda.

"Ihhhh! Sakit Dinda!" Alanda mengelus-elus kepalanya.

"Cepet mandi ga! Gw jitak lagi nih!" Dinda bersiap-siap untuk menjitak Alanda lagi.

"Iya-iya, ini mandi! Udah sana!" Usir Alanda. Yang diusir menurut saja.

Dinda pergi menuju dapur, yang di sana sudah ada Isabel sedang menyiapkan sarapan.

"Udah bangun?" Tanya Isabel saat Dinda sudah duduk di meja makan.

"Udah tante. Walaupun harus perang dulu sampai titik darah penghabisan." Dinda mengepal tangannya dan mendramatisir suaranya, seolah olah memperagakan bahwa yang dilakukannya tadi adalah suatu perjuangan yang sangat berat.

Isabel hanya tertawa melihat tingkah laku Dinda. Ia sedikit merasa tenang karna Alanda punya sahabat seperti dia, yang baik dan menghibur. Isabel berharap, hari hari Alanda akan baik-baik saja.

"Dinda." Isabel menggenggam tangan Dinda, "Bantu Alanda yah." Terlihat air matanya berlinang. Tentu saja, ibu mana yang tak khawatir bila anaknya sedang di posisi seperti ini?

"Tante tenang aja, Alanda akan baik-baik saja. Dinda akan selalu temenin Alanda, apapun yang terjadi."

Isabel pun mengusap air matanya, menenangkan diri, takut Alanda lihat dan malah membuatnya khawatir. Mereka hanya perlu merahasiakannya, maka hidup Alanda akan tenang-tenang saja.

Alanda yang sudah siap dengan seragam dan urusan lainnya, turun menuju meja makan.

"Papah mana mah?" Tanya Alanda sembari mengambil sepiring nasi goreng yang sudah disiapkan Isabel.

"Sudah berangkat duluan, katanya ada meeting mendadak, cepet makannya udah setengah 8 tuh."

Sekolah Alanda masuk jam 8, mungkin karna swasta jadi beda dari yang lainnya. Setelah selesai sarapan, mereka pun pamit kepada Isabel. Isabel mencium kening Alanda.

"Semua akan baik-baik saja sayang." Isabel memeluk anaknya itu. Meyakinkan bahwa tak akan terjadi apa-apa.

"Iya mah." Sebenarnya Alanda tak terlalu takut, karna keluarganya dan Dinda selalu mensupportnya. Bahkan semenjak kejadian itu pun tak ada yang berubah, semuanya tetap memperlakukannya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

KORBANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang