BAGIAN 1

615 23 0
                                    

Glaaar...!
Kilatan cahaya membelah angkasa yang diikuti oleh suara guntur menggelegar, menggetarkan alam ini. Awan tebal berawan hitam bergulung-gulung menutupi langit yang semula cerah. Angin berhembus kencang bagai hendak meruntuhkan puncak Gunung Galuring yang berselimut awan hitam. Dan setiap kali kilat menyambar, terlihat sebongkah batu yang sangat besar memancarkan cahaya merah membara bagai terbakar.
Semburat cahaya merah dari batu di atas puncak Gunung Galuring itu sampai terlihat dari Desa Batang yang terletak tidak jauh dari kaki gunung sebelah timur. Alam yang seakan-akan sedang murka, membuat seluruh penduduk desa itu tidak ada yang berani ke luar rumahnya. Tapi pada salah satu rumah kecil yang letaknya agak menyendiri, terlihat dua orang laki-laki lanjut usia telah berdiri di depan beranda. Pandangan mereka lurus ke puncak Gunung Galuring tanpa berkedip sedikit pun. Perhatian mereka tampaknya tertuju pada bongkahan batu yang memancarkan cahaya merah bagai api yang semakin jelas terlihat itu.
"Aku merasakan, ini bukan kejadian alam biasa. Batinku mengatakan, akan terjadi sesuatu ..." gumam salah seorang laki-laki tua yang berjubah panjang warna biru muda.
Tidak henti-hentinya ujung tongkatnya diketuk-ketukkan ke tanah. Sedangkan pandangannya terus tertuju ke arah puncak Gunung Galuring. Sedangkan seorang lagi yang berbaju jubah panjang warna putih, tangannya tampak menggenggam sebilah keris yang tangkainya berbentuk kepala seekor ular. Dan matanya hanya melirik sedikit saja, kemudian kembali tertuju ke puncak Gunung Galuring.
"Kakang Baranang! Aku merasakan hembusan angin yang lain dari biasanya," bisik orang tua yang berjubah putih.
"Hmmm... Jangan pindah dari tempatmu, Adi Jambala " sahut orang tua berjubah biru muda yang dipanggil Eyang Baranang. Suaranya terdengar menggumam dan dalam sekali.
"Sebaiknya kita masuk saja, Kakang," kata orang tua berjubah putih yang dipanggil Eyang Jambala, menyarankan.
Tapi Eyang Baranang hanya diam saja, tanpa sedikit pun menggeser kakinya. Bahkan kepalanya tidak berpaling sama sekali. Sedangkan Eyang Jambala kelihatan begitu gelisah. Beberapa kali matanya melirik orang tua yang berada di sebelah kanannya.
Mereka memang dua orang yang sudah lanjut usia. Dan semua penduduk Desa Batang ini selalu memanggil Eyang Baranang dan Eyang Jambala pada kakak beradik yang memiliki ilmu sangat tinggi ini. Dan walaupun usia mereka sudah lebih dari delapan puluh tahun, kedua orang tua itu tak satu pun mengangkat murid.
Sementara itu titik-titik air sudah mulai turun mengguyur Desa Batang. Tapi kedua orang tua itu masih tetap berdiri tegak di beranda rumahnya, seakan tidak peduli pada air hujan yang turun semakin deras.
"Masuklah ke dalam, Adi Jambala. Aku akan ke puncak Gunung Garuling," ujar Eyang Baranang tanpa berpaling sedikit pun.
"Gila...! Kau jangan edan-edanan, Kakang!" sentak Eyang Jambala terkejut.
Tapi belum juga bentakan Eyang Jambala hilang dari pendengaran, bagaikan kilat Eyang Baranang sudah melesat begitu cepat. Hingga, hanya bayangan jubah yang berwarna biru muda itu saja yang terlihat berkelebat begitu cepat.
"Kakang...!" teriak Eyang Jambala semakin tersentak kaget.
Tapi laki-laki berjubah putih itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena Eyang Baranang sudah tidak terlihat lagi bayangannya yang lenyap tertelan kegelapan dan rintik air hujan deras.
"Edan...! Mau apa dia ke sana...?" dengus Eyang Jambala tidak mengerti.
Sementara dia masih tetap berdiri mematung memandangi arah kepergian kakaknya. Namun hujan yang semakin deras, membuatnya harus bergegas melangkah masuk ke dalam gubuknya. Saat itu, hujan pun turun bagaikan ditumpahkan dari langit. Suaranya mengguruh seperti hendak menghancurkan seluruh isi alam ini. Sementara Eyang Jambala berdiri mematung di ambang pintu yang setengah tertutup. Dan pandangannya terus tertuju lurus ke arah puncak Gunung Garuling.

***

Sementara itu, Eyang Baranang sudah tiba di tengah-tengah lereng Gunung Garuling. Laki-laki tua berjubah biru itu terus berjalan cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepat ayunan langkahnya. Sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan jubah biru muda, yang menembus gelapnya malam dan lebatnya pepohonan di sekitar Lereng Gunung Garuling.
Tepat di saat terlihat kilatan cahaya membelah angkasa, Eyang Baranang tiba di puncak Gunung Garuling. Dia berhenti tepat di depan sebongkah batu yang memancarkan cahaya merah bagai terbakar. Tingginya batu itu sama dengan tinggi manusia yang sedang duduk. Bentuknya juga seperti seseorang yang sedang duduk bersila. Dengan kelopak mata tidak berkedip, Eyang Baranang memperhatikan batu yang berbentuk seperti patung manusia yang memancarkan cahaya merah bagai terbakar itu.
Clark!
Glaaar...!
Seleret cahaya kilat tiba-tiba menyambar dari angkasa, tepat di atas bongkahan batu bercahaya merah itu. Bahkan ujung lidah kilat menyambar bongkahan batu itu tepat di bagian atasnya, menimbulkan satu ledakan keras menggelegar yang terdengar bagai hendak menghancurkan puncak gunung ini. Malah, Eyang Baranang sampai terlompat beberapa langkah ke belakang, disertai rasa kaget.
"Heh...?!"
Glaaar...!
Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, Eyang Baranang kembali terbeliak dan terlompat ke belakang beberapa langkah. Karena tiba-tiba kembali terdengar ledakan dahsyat yang menggelegar, bersamaan dengan sambaran kilat di angkasa. Mulutnya jadi ternganga lebar. Malah kedua bola matanya terbuka bagai melihat hantu yang begitu menyeramkan.
"Dewata Yang Agung...! Apa itu...?" desis Eyang Baranang dengan kedua bola mata masih terbeliak lebar.
Hampir laki-laki berjubah biru muda itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bongkahan batu yang membara, bagai terbakar itu, tiba-tiba saja bergerak-gerak seperti hidup! Dan belum juga Eyang Baranang bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja batu merah membara yang kini sudah berwajah manusia berwarna merah itu melesat cepat bagai kilat ke arahnya.
"Oh...?! Haiiit...!"
Hanya sesaat saja Eyang Baranang terkesiap, namun cepat melesat ke samping. Dan seketika tubuhnya dilempar ke tanah bergulingan, menghindari terjangan makhluk berwarna merah bagai api yang berbentuk manusia itu.
"Hap!"
Eyang Baranang cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, makhluk merah itu sudah bergerak cepat. Dan saat itu juga, melesat kilatan cahaya merah bagai lidah api yang meluruk deras ke arah orang tua berjubah biru muda ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat Eyang Baranang melenting ke udara, dan berputaran dua kali menghindari serangan makhluk aneh berwarna merah itu. Dan kilatan cahaya merah bagai lidah api itu terus meluruk deras di bawah kaki orang tua ini. Dan begitu menyambar sebatang pohon, seketika terdengar ledakan keras yang begitu dahsyat menggelegar. Sesaat Eyang Baranang jadi terkesiap, begitu melihat pohon itu menghitam hangus bagai terbakar. Dan tidak berapa lama kemudian, pohon itu hancur jadi debu.
"Edan...!" dengus Eyang Baranang, kagum.
Tapi laki-laki tua berjubah biru muda itu tidak bisa berlarut-larut dalam kekaguman. Masalahnya makhluk merah itu sudah kembali melesat menyerang cepat bagai kilat. Terpaksa Eyang Baranang harus berjumpalitan di udara menghindari serangan dahsyat makhluk yang seluruh tubuhnya merah menyala bagai terdiri dari gumpalan api itu. Dan suara-suara ledakan pun terdengar saling susul. Kibasan-kibasan tangan makhluk itu selalu memancarkan kilatan api yang menghanguskan pepohonan di sekitarnya, hingga hancur jadi debu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Eyang Baranang cepat-cepat melenting menjauhi tempat itu ketika memiliki kesempatan yang hanya sedikit sekali. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi laki-laki tua itu bisa menjaga jarak hingga sejauh dua batang tombak. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya cepat kembali melesat hendak meninggalkan makhluk aneh berwarna merah menyala ini.
"Hap!"
Namun begitu kakinya menjejak tanah, mendadak saja dari arah belakang terasa ada desir angin mengandung hawa panas membara. Eyang Baranang jadi terkesiap juga. Cepat-cepat tubuhnya meliuk. Dan saat itu juga, terlihat kilatan cahaya merah melesat begitu cepat di sampingnya. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, Eyang Baranang kembali terbeliak! Ternyata tiba-tiba saja di depannya sudah berdiri sosok tubuh yang memancarkan cahaya merah menyala bagai gumpalan api!
Slap!
"Ikh...?!"
Eyang Baranang jadi terpekik, begitu tiba-tiba tangan makhluk aneh ini mengibas ke depan. Dan belum juga bisa menyadari apa yang terjadi, tangan makhluk itu sudah mencengkeram batang lehernya!
"Akh...!"
Eyang Baranang jadi terpekik, begitu tubuhnya terasa terangkat naik. Dan saat itu juga, tubuh orang tua itu terbanting keras sekali ke tanah, sehingga, membuatnya kembali terpekik di tanah. Dan begitu gelimpangan tubuhnya terhenti saat menghantam sebatang pohon tumbang, makhluk merah itu terlihat sudah melesat cepat sekali. Dan tahu-tahu, kedua kakinya siap mendarat tepat di dada orang tua ini. Hingga...
"Hegkh! Aaaakh...!"
Jeritan melengking tinggi pun seketika terdengar menyayat, memecah kesunyiah malam di puncak Gunung Garuling ini. Tampak Eyang Baranang menggeliat-geliat di bawah injakan kaki makhluk berwarna merah menyala bagai gumpalan api ini. Dan tidak berapa lama kemudian tubuhnya mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Tampak asap berwarna kemerahan mengepul dan dadanya, begitu makhluk merah ini mengangkat kakinya dari dada Eyang Baranang. Dan pelahan-lahan, tubuh orang tua itu jadi menghitam hangus seperti terbakar. Lalu tidak berapa lama saja seluruh tubuh orang tua ini hancur jadi debu.
"Ghragkh! Ha ha ha...!"
Suara tawa keras menggelegar terdengar memecah kebisuan malam yang dingin dan berselimut awan tebal menghitam ini. Suara tawa yang begitu keras, seakan-akan hendak meruntuhkan seluruh Gunung Garuling. Bahkan suara tawa itu bagai tidak akan pernah terhenti.
Sementara itu, Eyang Baranang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi di puncak gunung yang dingin dan berselimut kabut tebal ini. Dan tidak jauh dari tubuhnya, terlihat berdiri sesosok makhluk berbentuk manusia yang seluruh tubuhnya membara seperti terbakar. Dan tawa yang menggelegar itu datangnya dari makhluk bertubuh bagai api ini.
Tampak kedua bola matanya yang memerah bagai sepasang bola api, menatap nyalang pada tubuh Eyang Baranang yang menggeletak tidak bernyawa lagi, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Pelahan di hampirinya tubuh orang tua yang tidak bergerak-gerak itu. Sebentar dipandangi. Dan suara tawanya pun sudah terhenti saat kedua bola matanya yang merah membara memandangi tubuh Eyang Baranang.
"Ghrrrm...! Kau akan menjadi pengikutku yang pertama, Orang Tua...," terdengar berat dan dingin sekali suara makhluk yang tubuhnya seperti terselubung api itu.
Pelahan makhluk itu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Kemudian, dari mulutnya terdengar geraman kecil, namun begitu dahsyat bagai guntur. Dan tidak berapa lama, tampak kedua tangannya dihentakkan ke tubuh Eyang Baranang yang tergeletak tidak jauh di depannya. Saat itu juga, dari kedua telapak tangan makhluk bertubuh api itu memancar cahaya merah membara yang mengepulkan asap kemerahan. Cahaya merah itu langsung menerpa tubuh Eyang Baranang, dan menyelimuti seluruh tubuhnya!
"Ghrrrr...!"
Tampak tubuh Eyang Baranang mulai bergerak menggeletar. Semakin lama, getaran di tubuhnya semakin terlihat kencang. Hingga akhirnya, tubuh laki-laki tua berjubah biru tua itu mengambang, tidak menyentuh tanah sedikit pun juga. Tapi tubuhnya masih terus menggeletak seperti orang kedinginan. Dan begitu kedua tangan makhluk bertubuh api ini terhentak ke belakang, tubuh Eyang Baranang kembali mengeletak di tanah.
"Bangkit kau, Orang Tua! Ghrrr...!" bentak makhluk bertubuh api itu lantang.
Belum juga bentakan itu, hilang tiba-tiba saja kelopak mata Eyang Baranang terbuka. Namun sedikit pun tidak terlihat adanya cahaya kehidupan pada kedua bola matanya. Dan dengan gerakan yang sangat kaku, Eyang Baranang langsung bangkit berdiri tegak di depan makhluk bertubuh api ini. Sedikit pun tubuhnya tak bergeming, berdiri tegak dengan pandangan lurus dan kosong ke depan.
"Ha ha ha...!"
Makhluk bertubuh api ini tertawa terbahak-bahak, melihat Eyang Baranang yang sudah tidak bernyawa bisa bangkit berdiri lagi. Tapi sedikit pun Eyang Baranang tidak menggerakkan tubuhnya. Bahkan raut wajahnya begitu datar, sedangkan pandangan matanya kosong, tertuju lurus ke depan.
"Orang tua! Siapa namamu..?" tanya makhluk bertubuh api itu.
"Baranang," sahut Eyang Baranang.
Suara orang tua itu terdengar sangat datar. Bahkan sedikit pun tak terdengar adanya tekanan pada nada suaranya, malah saat bicara tadi pun, hanya sedikit saja bergerak bibirnya. Dan dia terus memandang kosong ke depan. Sama sekali hdak terlihat adanya napas kehidupan, walaupun Eyang Baranang tegak pada kedua kakinya.
"Dari mana kau berasal?" tanya makhluk bertubuh api itu lagi.
"Desa Batang," sahut Eyang Baranang masih dengan suara yang datar, tanpa tekanan sedikit pun.
"Bagus! Sekarang, kau kembali ke desa asalmu. Kau buat desa itu menjadi neraka," perintah makhluk bertubuh api itu.
"Baik..."
"Pergilah sekarang juga. Dan aku ingin kau membawa manusia-manusia tangguh sepertimu. Tapi! Kau harus membawanya dalam keadaan sudah mati. Aku akan menjadikan mereka pengikutku yang paling setia sepertimu. Dan seluruh jagat ini akan kukuasai. Ha ha ha....!"
Eyang Baranang hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun. Sementara suara tawa makhluk bertubuh api itu masih terus terdengar beberapa saat.
"Berangkatlah kau sekarang, Baranang," perintah makhluk bertubuh api itu tegas.
"Baik...," sahut Eyang Baranang datar.
Tanpa diperintah dua kali lagi, Eyang Baranang segera berbalik, dan melangkah pergi menuruni puncak Gunung Garuling ini. Sementara makhluk bertubuh api itu memandangi sampai orang tua itu lenyap dari pandangan mata. Dan dia kembali tertawa keras dan menggelegar, bagai halilintar membelah angkasa.
"Ha ha ha...!"

***

Matahari baru saja menampakkan wujudnya. Cahayanya yang terang, hangat menyirami seluruh permukaan bumi Desa Batang. Dua hari penuh, desa itu bagaikan mati dari segala kegiatan. Baru hari ketiga ini penduduk desa itu keluar dari dalam rumahnya, setelah terdengar kokok ayam jantan, dan pancaran sinar sang surya untuk menghangatkan bumi yang selama dua hari ini terus-menerus diselimuti kegelapan serta hembusan angin kencang yang membawa titik air hujan.
Dari sebuah rumah kecil dan sederhana yang agak terpencil letaknya, terlihat Eyang Jambala melangkah keluar dari dalam. Orang tua itu berialan pelahan-lahan dengan bantuan sebatang tongkat kayu di tangan kanannya. Dia berhenti melangkah tepat di tengah-tengah halaman depan yang tidak begitu luas. Dan pandangan matanya langsung tertuju lurus ke arah puncak Gunung Garuling yang kini tampak bening tanpa sedikit pun terlihat kabut menggantung menyelimutinya.
"Hhh...! Sudah tiga hari ini Kakang Baranang tidak kembali. Apa yang terjadi padanya di sana...?" desah Eyang Jambala pelahan. Bicara pada diri sendiri.
Namun perhatian Eyang Jambala teralih, saat dua orang pemuda melintas di depan halaman rumahnya. Kedua pemuda itu menyapanya ramah. Dan Eyang Jambala membalas hanya dengan anggukkan kepala dan senyum tipis tersungging di bibir. Kedua pemuda itu menghentikan ayunan langkah kakinya, melihat raut wajah Eyang Jambala terlihat terselimut mendung.
"Aku tidak apa-apa. Pergilah kalian," kata Eyang Jambala, sebelum kedua pemuda itu bisa membuka suara.
"Maaf, Eyang...," ucap salah seorang seraya membungkuk sedikit memberi hormat.
"Hm.. "
Eyang Jambala hanya menggumam kecil saja, seraya menganggukkan kepala sedikit. Dan kedua anak muda Desa Batang itu melangkah pergi meninggalkannya sendirian. Kembali perhatian Eyang Jambala tercurah ke puncak Gunung Garuling yang siang ini puncaknya terlihat begitu indah. Namun tiba-tiba saja...
"Oh...?!"
Eyang Jambala jadi tersentak kaget. Kelopak mata orang tua itu jadi terlihat agak menyipit, mulutnya ternganga. Dan pandangannya tertuju ke arah puncak Gunung Garuling. Raut wajahnya terlihat agak memucat, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang tengah disaksikannya sekarang ini.
"Bagaimana mungkin...? Oh, Dewata Yang Agung Bencana apa yang akan melanda jagat ini...?" desah Eyang Jambala agak tersendak nada suaranya.
Tanpa sadar orang tua berjubah putih itu melangkah beberapa tindak ke depan. Dan raut wajahnya kini memancarkan kesungguhan yang amat sangat, memperhatikan satu tempat di puncak Gunung Garuling. Sorot matanya terlihat begitu tajam seakan-akan ingin menegaskan penglihatannya.
"Kakang Baranang.... Oh, tidak..! Ini tidak boleh terjadi, aku harus segera mencarinya ke sana. Mudah-mudahan saja belum terlambat," desah Eyang Jambala lagi.
Setelah berkata demikian pada dirinya sendiri, dengan kecepatan bagai kilat Eyang Jambala yang membawa sebatang tongkat kayu melesat bagaikan angin. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan baju jubah yang dikenakannya sudah tak terlihat lagi. Dan lesatan yang begitu cepat, membuat debu serta daun-daun kering berterbangan ke angkasa, bagaikan dihempas tiupan angin kencang.

***

111. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Si Raja ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang