BAGIAN 3

351 20 0
                                    

Eyang jambala jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terlihat berkelebat sebuah bayangan putih begitu cepat memapak serangan Eyang Baranang. Dan satu benturan yang begitu keras, membuat Eyang Baranang jadi meraung dahsyat dan terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Namun, dia cepat bisa bangkit tegak berdiri lagi, sebelum Eyang Jambala bisa menyadari apa yang terjadi.
"Ghrrr...!"
Eyang Baranang jadi menggeram sengit, melihat seorang pemuda berwajah tampan tahu-tahu sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, tepat di depan Eyang Jambala yang masih terlongong bengong seperti bermimpi. Sungguh, seakan tidak dipercayai apa yang sedang dialaminya sekarang ini. Sementara pemuda yang tiba-tiba saja muncul menyelamatkan nyawa orang tua ini, tetap berdiri tegak membelakanginya. Tampak sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggungnya. Pemuda itu sungguh tegap. Dan urat-uratnya yang tersembul dari balik baju rompi putih yang dikenakannya bisa terlihat jelas.
Sementara itu, Eyang Baranang sudah menggeser kakinya pelahan-lahan ke kanan, sambil menggerung-gerung seperti seekor binatang buas kelaparan. Sorot matanya terlihat begitu tajam dan memerah, menatap langsung ke wajah tampan pemuda berbaju rompi putih yang berada sekitar dua batang tombak di depannya. Perhatiannya kini tidak lagi tertuju pada Eyang Jambala, tapi pada pemuda yang menyelamatkan nyawa Eyang Jambala tadi.
"Ghrrraugkh...!"
Sambil memperdengarkan gerungan yang begitu dahsyat, Eyang Baranang melesat cepat menyerang pemuda berbaju rompi putih ini. Dan Saat itu juga, tangan kanannya mengibas cepat mengarah ke dada.
"Haiiit..!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan tubuh, pemuda berbaju rompi putih yang menyandang pedang di punggung ini mudah sekali menghindarinya. Bahkan langsung memberikan serangan balasan yang begitu cepat, hingga sulit diduga. Dia langsung melepaskan satu tendangan keras menggeledek sambil melompat sedikit. Begitu cepatnya tendangan itu, hingga Eyang Baranang tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih, tubuhnya saat itu sedang doyong ke depan. Maka, tendangan pemuda itu tepat menghantam dadanya.
Diegkh!
"Aaargkh...!"
"Aaargkh...!"
Eyang Baranang menggerung keras sambil melesat cepat. Lalu, dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang begitu dahsyat!
"Hup! Hiyaaa...!" Pemuda berompi putih itu pun menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyambut pukulan Eyang Baranang. Maka...
Glaaarrr...!
Eyang Baranang meraung keras, dan kontan terpental beberapa langkah ke belakang. Tapi, dia cepat bisa menguasai keseimbangan tubuh kembali, dan langsung saja menggerung sambil melesat menyerang. Seketika dilepaskannya, satu pukulan keras menggeledek yang begitu dahsyat luar biasa!
"Hup! Hiyaaa...!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju rompi putih ini malah menghentakkan kedua tangannya ke depan, tanpa ada usaha menghindar sedikit juga. Akibatnya pukulan yang dilepaskan Eyang Baranang tepat menghantam kedua telapak tangan pemuda itu. Maka seketika itu juga...
Glaaar...!
Satu ledakan yang begitu keras seketika terjadi. Tampak kilatan bunga api memercik dari kedua tangan yang beradu keras ini. Dan saat itu juga, Eyang Baranang meraung keras dengan tubuh terpental balik ke belakang. Sementara, pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih bersih ini masih tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun juga. Terlihat dari kedua telapak tangannya yang terbuka menjulur ke depan, asap tipis berwarna agak kemerahan mengepul terbawa angin. Sementara itu, Eyang Baranang jatuh bergulingan beberapa kali di tanah, tapi cepat bisa bangkit berdiri tegak.
"Hm, hebat... Luar biasa sekali tenaganya. Kalau orang biasa, pasti sudah hancur lebur terkena pukulan geledekku ini," gumam pemuda itu pelahan, memuji ketangguhan lawannya.
Sementara itu di tempat lain, terlihat Eyang Jambala berdiri agak jauh di tempat yang cukup aman. Diperhatikannya semua pertarungan yang terjadi. Hatinya sungguh mengagumi ketangguhan pemuda berbaju rompi putih yang sama sekali belum dikenalnya ini, dan tiba-tiba saja muncul menyelamatkan nyawanya. Dan baru saja, beberapa kali pemuda itu berhasil membuat Eyang Baranang jatuh bangun.
"Kau pasti bukan lagi manusia, Orang tua. Siapa yang ada di dalam dirimu...?" terdengar dingin dan lantang sekali suara pemuda itu.
"Ghraaagkh...!"
Tapi Eyang Baranang hanya menjawab pertanyaan itu dengan gerungan panjang menggetarkan, begitu kerasnya, hingga seluruh lereng Gunung Garuling terasa bergetar. Sementara, pemuda berbaju rompi putih tetap berdiri tegak denga sorot mata begitu tajam menusuk, memperhatikan orang tua yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.
"Kau kelihatan berbahaya sekali bagi orang banyak, Orang Tua. Terpaksa kau harus kuredam sebelum membuat neraka di jagat ini," kata pemuda berbaju rompi putih itu lagi, masih dengan nada suara terdengar dingin menggetarkan.
Setelah berkata begitu, cepat pemuda itu merapatkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Dan pelahan-lahan tubuhnya bergerak doyong ke kanan, lalu pelahan lahan pula ditarik hingga doyong ke kiri. Dan begitu tubuhnya kembali tegak, telah tampak semburat cahaya biru pada kedua telapak tangan yang merapat di depan dada. Sementara, sorot matanya masih terlihat tajam, memperhatikan Eyang Baranang yang tetap berdiri agak membungkuk di depannya. Sedangkan kaki pemuda berbaju rompi putih ini sudah terpentang cukup lebar, dan agak tertekuk ke depan lututnya. Saat itu mendadak saja...
Slap!
Wusss...!
Tiba-tiba saja terlihat kilatan cahaya merah bagai api melesat di angkasa, diikuti hembusan angin kencang yang membuat debu serta daun-daun kering berterbangan bagai terlanda badai. Bahkan pepohonan langsung berguguran daun-daunnya. Kejadian yang begitu cepat ini, membuat Eyang Jambala dan pemuda berbaju rompi putih itu jadi tersentak. Namun belum juga hilang rasa keterkejutan mereka, mendadak saja tubuh Eyang Bararang melesat cepat bagai kilat. Hingga dalam sekejap saja bagaikan tertelan bumi.
"Hhh...!"
Pemuda berbaju rompi putih ini melepaskan telapak tangannya yang menyatu pelahan-lahan setelah tubuhnya tegak kembali. Dan saat itu, cahaya biru yang menyemburat dari kedua telapaknya lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Eyang Jambala bergegas berlari-lari menghampiri.
"Anak muda, terimalah salam hormatku...," ucap Eyang Jambala seraya membungkuk sedikit dengan kedua telapak tangan menyatu di depan dada.
"Sudahlah, Ki. Tidak perlu bersikap begitu padaku," sambut pemuda ini diiringi senyum ramah sekali.
"Maaf, Anak Muda. Siapakah kau sebenarnya? Kepandaian yang kau miliki sungguh mengagumkan. Kalau kau tidak muncul tadi, mungkin sekarang ini tubuhku sudah menjadi santapan cacing-cacing tanah," kata Eyang Jambala. "Oh, ya... Aku Eyang Jambala, dari Desa Batang. Tidak jauh dari lereng Gunung Garuling ini. Ada di sebelah sana..."
"Namaku Rangga, Eyang," sahut pemuda tampan berbaju rompi putih itu terus tersenyum ramah.
Pemuda tampan itu memang Rangga, yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Eyang Jambala yang memang tidak pernah mengikuti perkembangan dunia persilatan, sama sekali tidak tahu kalau sekarang sedang berhadapan dengan seorang pendekar muda dan digdaya yang namanya selalu menjadi buah bibir orang-orang persilatan. Baik mereka yang beraliran putih, maupun hitam.
"Rangga, aku benar-benar berterima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau tidak keberatan, aku senang sekali bila kau sudi mampir ke gubukku di Desa Batang barang sejenak," ujar Eyang Jambala langsung mengundang.
"Aku berada di sini tidak seorang diri, Eyang."
"Oh, berapa orang temanmu?"
"Satu. Tidak lama lagi dia pasti datang. Terpaksa tadi kutinggalkan, begitu aku mendengar suara pertarungan. Dia harus menuntun kudaku yang mendadak saja jadi rewel."
Belum juga selesai kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu, sudah terdengar hentakan-hentakan langkah kaki kuda mendekati. Dan tidak berapa lama kemudian, muncul seorang gadis cantik berbaju biru menunggang kuda putih. Di belakangnya berjalan seekor kuda hitam yang kelihatannya begitu gelisah. Binatang itu mendengus-dengus sambil menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Dan, gadis itu langsung melompat turun dari punggung kudanya, setelah dekat dengan kedua orang laki-laki ini.
Langsung dihampirinya Rangga yang berdiri di depan Eyang Jambala sambil memandangi dengan bibir terus menyunggingkan senyum. Dari sebuah kipas yang terselip di pinggangnya, jelas sekali kalau gadis ini adalah Pandan Wangi. Dan di kalangan rimba persilatan, dia dikenal sebagai Si Kipas Maut. Walaupun, di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala naga yang berwarna hitam berkilat.
"Kakang, Dewa Bayu tidak mau diam. Dia malah hampir membuatku terjatuh dari kuda. Sepertinya, dia tidak mau diajak ke sini," kata Pandan Wangi mengomel sambil merengut.
Rangga hanya tersenyum saja, dan langsung memperkenalkan si Kipas Maut pada Eyang Jambala tanpa mempedulikan gerutunya. Pandan Wangi buru-buru menjura memberi salam penghormatan. Eyang Jambala segera membalasnya dengan tubuh membungkuk sedikit.
"Pandan, Eyang Jambala mengajak kita mampir ke rumahnya. Kau mau...?" ujar Rangga, mengutarakan maksud orang tua itu.
"Terserah kau saja, Kakang. Tapi...," sahut Pandan Wangi terputus.
"Tapi apa, Nisanak?" tanya Eyang Jambala.
"Jauh tempatnya?" Pandan Wangi malah balik bertanya.
"Tidak...," sahut Eyang Jambala sedikit tersenyum. "Kenapa kau tanyakan itu, Nisanak?"
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Dan matanya melirik sedikit pada kuda hitam Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatan begitu gelisah, seakan-akan tidak senang berada di tempat ini. Rangga dan Eyang Jambala juga menatap ke arah kuda hitam yang terus mendengus berat sambil menghentak hentakkan kedua kaki depannya ke tanah.
"Aku kira Dewa Bayu akan berubah kalau sudah sampai di Desa Batang. Biasanya, perasaan yang dimiliki binatang lebih peka dari manusia. Aku yakin, dia mengetahui sesuatu yang tidak bisa kita ketahui di sini," kata Eyang Jambala. Seakan-akan bisa mengerti kegelisahan Dewa Bayu.
"Kau benar, Eyang. Sejak memasuki daerah Gunung Garuling ini, Dewa Bayu sudah kelihatan gelisah. Bahkan sempat mengamuk kira-kira dua atau tiga hari yang lalu, saat seluruh daerah Gunung Garuling tertutup awan tebal," sambut Rangga membenarkan pendapat orang tua itu.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat pergi, Anak Muda. Tempat ini memang tidak baik untuk ditinggali. Ayo, kita akan lebih leluasa lagi berbicara di gubukku nanti," ajak Eyang Jambala.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas melangkah meninggalkan lereng Gunung Garuling ini. Rangga dan Pandan Wangi berjalan di belakang Eyang Jambala, sambil menuntun kuda masing-masing. Mereka terus berjalan agak cepat, tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi, kening Rangga sedikit agak berkerut melihat Eyang Jambala berjalan cepat, seakan-akan memang ingin segera meninggalkan gunung yang kelihatan angker dan menyeramkan ini. Entah, apa yang ada dalam benak Pendekar Rajawali Sakti saat ini.

111. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Si Raja ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang