Lengkap sudah. 4 serangkai dari kelas X IPS 3 sudah berkumpul dalam ruangan sejuk ber-AC itu.
Bu Sri yang sedari tadi menatap mereka bergantian dengan tatapan tajam. Mencoba mengintimidasi. Namun kenyataannya?
Adit yang menatap balik Bu Sri dengan tatapan yang entah polos atau pura-pura polos, Reno yang sedari tadi menyenderkan tubuhnya di badan sofa ruang BK yang membuat rasa kantuk menyerangnya, Aldi masih memegangi telinganya yang memerah karena jeweran maha nikmat dari Pak Supri, serta Nendra yang menepuk pelan seragamnya yang basah.
Bu Sri menghela napas.
"Baru saja beberapa bulan kalian sekolah di sini, sudah berani membuat masalah," ujar Bu Sri menggelengkan kepala.
Reno berdecak. "Ck, Bu. Kita gak nyari masalah. Ya kali kita nyariin masalah, sepenting dan seterkenal itukah yang namanya masalah?"
"Ya kalau kalian nggak nyari masalah, kalian nggak akan ada di sini, mengerti?!" ujar Bu Sri dengan intonasi tinggi.
"Bu, jangan kenceng-kenceng ngomongnya. Nggak enak didengar tetangga." Reno menggeplak kencang kepala Adit.
"Telinga saya masih sakit, Bu. Jangan buat gendang telinga saya bermasalah sama bentakan Bu Sri. Masa ganteng-ganteng budek? Turun pasaran saya, Bu."
"Percaya dirimu terlalu tinggi, Aldi. Gadis mana yang mau sama kamu yang urakan itu? Seminggu sekali kamu selalu menemani saya di ruang BK karena aksi selengakan-mu itu." Bu Sri menatap nyalang Aldi yang memberenggut.
"Yee, Bu. Kayak saya apaan aja dibilang nemenin Ibu tiap minggu? Nanti beredar gosip saya jadi berondongnya Bu Sri, kan nggak lucu." Bu Sri memelototkan matanya mendengar ucapan salah satu muridnya itu.
'Bocah edan!' Batin Bu Sri merasa panas.
"Lagian itu bukan aksi selengekan, itu tuh aksi heroik namanya. Membela nama baik sekolah, nih. Mempertahankan dan membela harga diri sekolah. Harusnya saya dapet penghargaan, Bu." Ketiga sahabatnya hanya memutar bola matanya malas mendengar ucapan Aldi.
"Stress emang ini anak."
"Bukan temen gue."
"Minim iman, tapi gobloknya ngalahin banyaknya kekayaan Bill Gates, ya gini."
Wajah Aldi semakin di tekuk mendengar serangkaian kata pujian yang diberikan para sahabatnya.
"Sudah, sudah." Bu Sri mengibaskan tangannya beberapa kali. Mengisyaratkan untuk diam.
"Saya mau nanya ke kalian--"
"Jangan, Bu. Kita belum belajar. Ada remidinya nggak?" Pertanyaan Adit yang sungguh unfaedah sekali.
"Kenapa kalian keluar saat KBM masih berlangsung?" ujar Bu Sri melanjutkan pertanyaannya.
"Anjir, gue di kacangin," gerutu Adit pelan yang dihadiahi tawa keras Aldi dan dengusan Reno. Sedangkan Nendra masih sibuk dengan seragamnya.
"Jawab! Kenapa kalian di--"
"Aduh, Bu. Bisa naikin gak suhu AC-nya? Saya kedinginan ini, Bu. Nanti saya masuk angin, Bu Sri mau tanggung jawab keluarin anginnya? Kalo bersedia sih tinggal siap-siap baunya."
Bu Sri sudah sangat panas sekarang. Menanyakan alasan mereka tak ada dalam kelas saat kegiatan belajar mengajar di mulai saja memakan waktu yang lumayan lama.
"Keluar!" Sentak Bu Sri dengan nada frustasi.
Keempatnya sontak menoleh memfokuskan perhatian mereka ke arah guru BK mereka.
"Serius, Bu?" ujar Aldi dengan mata binarnya.
"Keluar dan cepat isi buku poin di ruang kesiswaan. Segera temui Pak Bahrul dan buat surat pernyataan kesalahan kalian!"
Melongo. Hanya itu yang bisa dilakukan keempat pemuda itu. Mengisi buku poin di ruang kesiswaan bukan masalahnya, yang menjadi masalah adalah kenyataan bahwa mereka di haruskan bertemu dengan Pak Bahrul.
Seringkali yang dimengerti beberapa orang, sekolah akan memberikan hukuman berupa membersihkan toilet, mengepel lantai, atau membersihkan taman sekolah. Tapi itu tak berlaku di sekolah ini. Para siswa akan dihadapkan dengan sebuah buku yang mana akan menjadi penentu mereka kedepannya.
Hanya sebuah buku. Buku yang berisikan seberapa banyak poin pelanggaran yang dilakukan para peserta didik itu cukup untuk menjadi hukuman mereka.
Semakin banyak poin, semakin besar juga peluang mereka keluar dari sekolah, bukan?
Keempatnya keluar dari ruang BK. Menghela napas berat dan mempersiapkan telinga dan mental mereka untuk menghadapi pak Bahrul.
"Gue rasa sebentar lagi kita dapat kajian ceramah walaupun belum puasa."
***
Niat hati ingin memperbaiki kualitas diri di SMA sepertinya akan sulit dilakukan Aditya. Pasalnya, baru beberapa bulan berada di sekolah, dia sudah menjadi sangat populer dengan predikat pembuat onar.
Masa SMA adalah masa dimana pergaulan bertambah bebas. Masa remaja yang berada pada titik tertinggi kelabilan dan emosional yang menggebu membuat masa SMA dijuluki masa rawan pada siklus kehidupan. Pemikiran yang akan beranjak dewasa, namun masih susah menentukan jati diri. Masih dalam pencarian jati diri.
Yang dipikirkannya adalah bagaimana tanggapan orang tuanya. Sudah berkali-kali ibu dan bapaknya memberi wejangan karena kelakuannya di sekolah. Tapi tetap saja, ia melakukan hal yang sama.
Jika di kira masa SMA akan semenyenangkan itu, maka lebih baik pikirkan bagaimana masa SMA mu menjadi menyenangkan bagimu. Karena masa SMA penuh dengan godaan. Selain memikirkan kompetisi akademik, masa SMA membuat beberapa pilihan seperti gaya pertemanan yang cenderung lebih bebas, walau tak sebebas saat memasuki rana perguruan tinggi.
Masa SMA dinilai lebih rawan karena mereka masih mencari jati diri mereka. Mudah terpengaruh dan memiliki rasa empati tinggi terhadap sesuatu sehingga menumbuhkan hasrat "ingin seperti" orang yang dianggapnya berpengaruh. Contohnya saja, jika mereka sudah nyaman dengan teman mereka, walaupun teman mereka terjerumus, mereka tidak akan mempermasalahkannya.
Itu bukan sebuah bualan belaka. Sudah banyak sekali kasus yang melibatkan anak yang duduk si bangku SMA. Pergaulan bebas, tindak kriminal, bahkan sampai perkumpulan radikal. Meski tak menutup kemungkinan pada jenjang selanjutnya lah yang paling mempengaruhi. Tapi masa SMA merupakan gerbangnya. Intinya, mereka harus lebih berhati-hati.
Yang patut di syukurkan sekarang adalah, Adit dan ketiga sahabatnya masih bisa dikatakan dalam tingkat kenakalan wajar. Tidak sampai terjerumus dalam dunia gelap. Hanya saja memang tingkah mereka yang kelewat membuat gerah hati dan body. Bahkan *tiiiiiittt salah satu merk minuman teh saja tidak bisa meredakan rasa gerah itu. (Maaf, bukan endors)
"Telinga gue pengang."
Adit, Reno dan Nendra hanya menatap Aldi sekilas.
"Gue juga. Tapi masalahnya ini gimana sama nasib gue? Ibu sama Bapak pasti marah," desah Adit frustasi.
Ah, diingatkan lagi.
🍃🍃🍃
Tanpa Revisi. Maaf kalo typo.
Gimana puasanya? Masih dengan #dirumahaja
Pasuruan, 25 April 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Di Sekolah?
RandomEmpat remaja dengan segala ceritanya. Mencari jati diri di masa putih abu-abu. Berbagai problematika masa SMA, tak luput dirasakan mereka. Yang dipikirkan sedari SMP, bagaimana kehidupan masa SMA? Apakah seindah novel teenfict? Mari kita masuki dun...