41. So, what should i do?
Kursi-kursi terbanting ke segala arah, gadis itu terduduk dengan banjir air mata. Hidupnya terasa hancur lebur, tak dapat lagi ia selamatkan. Semua karena salah pemahamannya. Ia menjadi budak, terinjak-injak hanya di manfaatkan belaka.
"Hidup gue hancur gara-gara lo! Kenapa lo setega ini sama gue? Gue selalu menjadi apa yang lo inginkan, tapi apa balasan lo ke gue? Hah! Gue kira lo baik sama gue selama ini!"
"Gue goblok!"
Ia meraung-raung dengan memeluk tubuhnya sendiri. Mungkin bayang hitam kembali menghantui malam-malamnya.
Di belahan dunia lain, sepasang suami istri itu tengah menikmati masa indahnya.
"Mau jalan-jalan?" ajak Raka dengan tersenyum. Gadis itu mengangguk. Sejak semalam mereka sampai di daratan Perancis. Memutuskan pagi ini untuk jalan-jalan di sekitar Menara Eifel. Paris menjadi kota impian yang masuk daftar keliling dunianya.
"Kamu tahu nggak?"
"Nggak lah, kan belum di kasih tahu."
Raka terkekeh pelan, ia menggenggam tangan Genta erat. Seakan takut jika gadis itu pergi dari sisinya.
"Aku pengen deh segera punya anak," celetuk Raka dengan mengelus puncak rambut Genta. Gadis itu menghentikan langkahnya.
"Ya kita itu tinggal menerima aja, Mas, Allah yang nentuin kapan kita punya anaknya. Kamu pengen punya anak berapa?"
"Aku pengen punya kembar deh, Sayang. Pasti lucu-lucu kan. Bapaknya ganteng ibunya cantik," ucap Raka.
"Anaknya nakal-nakal. Nurun dari kamu, Mas."
Raka menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Nggak mungkin lah! Aku aja kecilnya baik, kalem, sopan, mana ada anaknya nakal."
"Kita itu hanya bisa berdoa, Mas. Aku pengen deh punya anak cowok, terus nurut sama orang tua. Nggak bandel, pandai, sopan santun, ganteng."
"Aamiin! Semoga aja kamu segera hamil ya, aku udah nggak sabar pengen ladenij ngidam kamu. Pengen jadi bapak siaga buat anak-anak kita nanti. Pasti lucu kan, aku masih di kantor kamu telpon minta ini itu. Repotnya," ujar Rak dengan mencium pipi Genta.
Genta mengerutkan keningnya. "Kok kamu pengen gitu sih, Mas? Aneh! Biasanya bapak muda itu nggak pengen di repotin sama istrinya."
"Kan aku beda, Sayang. Aku itu bapak-bapak yang selalu pengen kamu repotin, kamu mau apa aja pasti aku turutin deh. Jadi nggak sabar pengen buat bayi, kita batal jalan-jalan yuk." Genta menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa gitu?"
"Kita olahraga kejar setoran, Sayang. Katanya harus banyak usaha," ucap Raka dengan terkekeh.
"Usaha sih usaha, Mas, tapi jangan ngebet kepengen gitu dong. Anak itu prosesnya lama, nggak kaya buat adonan kue. Praktis dan cepat!"
"Tapi kalau usahanya di lebihkan, pasti hasilnya memuaskan." Genta menggelengkan kepalanya. Ia sejenak memikirkan sesuatu.
"Gimana kamu berubah pikiran?"
"Enggak, disini nggak ada taman bunga, Mas?"
Raka menghentikan langkahnya, ia menatap sekitarnya yang berlalu lalang, tak ramai. "Kamu ke Paris bukannya pengen liat Menara Eifel?"
"Iya sih. Cuman aku pengen liat taman bunga gitu."
"Kita cari ya. Aku juga nggak tahu soalnya," jawabnya dengan terkekeh.
"Kamu tunggu sebentar ya, jangan kemana-mana." Raka mengambil ponselnya, menghubungi anak buahnya yang selalu menjaga dirinya dan istrinya.
Ia berjarak lima meter dari Genta, gadis itu memandang langit yang cerah tanpa noda. Genta berdiri persis di tengah jalan pejalan kaki, banyak orang berlalu lalang di dekatnya. Mata Raka tetap awas dengan keberadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHEMISTRY
Teen Fiction"No! Bu, aku masih kecil! Nggak ada istilah perjodohan! Jaman udah modern, masa masih di jodohin," gadis itu bersedekap dada dengan bibirnya di majukan. "Nduk, ini wasiat dari Almarhum Bapak mu. Ibu hanya menjalankan amanah, pilihan bapak itu pasti...