Mariami adalah namaku. Berkulit hitam dengan badan gendut adalah ciri-ciri utama bagaimana itu diriku. Jujur saja setiap kali aku menatap diriku di depan cermin, sudah menjadi andalan berkacak pinggang sembari menghadap ke kiri ke kanan, lalu menghela napas gusar sebab melihat lemak-lemakku tak kunjung terkuras.
Untuk program diet aku sering kepikiran. Tapi hanya timbul saat aku terbaring menjelang tidur sembari merenungi penampilanku. Namun tiba Aku melepas diri dari dekapan petiduran, perutku menjadi kasihan saat melihat makanan yang belum di habiskan, karena aku paling risih melihat makanan jadi rugi sebab basi. Kalau di pikir-pikir gendutku ini mulia karena sering sayang pada makanan. Ya daripada di buang mending ku santap, kan?.
Untungnya ramadan dua hari lagi. Program dietku akan terlaksanakan secara teratur. Sebenarnya aku tidak pusing pada penampilanku ini. Tapi mama dan Kakak-kakakku sering mempermasalahkannya ketika kami sedang duduk menonton tv atau acara perkumpulan dengan keluarga, Yang otomatis membuat pasukan saudara Mama dan Papa ikut mengomentari.
"Ami, wanita itu harus peduli pada penampilan. Apalagi sudah kerja begini. Pakailah uang sendiri untuk beli perawatan."
"Ami, kurangi lemak!"
"Ami, kalau mau makan bercermin dulu biar makanannya bisa di takar"
"Ami, cobalah olahraga setiap pagi. Jangan cuman tidur!. Gimana bisa dapat pasangan kalau mata terus di tutup!"
Nah! Titah yang satu ini yang membuat aku sedikit kesal dan tertantang hingga membuat aku meniatkan berdiet dengan segenap jiwa dan raga. Aku kesal karena mereka mengomentari salah satu kenikmatan yang tak bisa ku tepis, yaitu tidur dan aku merasa tertantang karena mereka seolah tidak tahu bahwa aku itu punya daya tarik tersendiri. Toh, setiap manusia Allah ciptakan memiliki daya tarik tersendiri. Kalau tidak benar kenapa manusia di janjikan berpasang-pasangan?.
Sejujurnya setiap kali mereka membalut tubuhku dengan hinaan kamu hitam! Kamu gendut! Kamu jelek kayak gitu! Jangan pakai baju itu, jelek! Dan semacamnya, ada secuil rasa kesal menyergap hatiku. Aku tahu itu hanya sebatas candaan belaka. Namun sejatinya manusia memang selalu punya rasa kesal kalau sudah setiap hari di perlakukan seperti itu, dengan kata kasarnya di perolok-olok. Tolong aku bukan nabi yang punya ketabahan yang lapang.
"Nggak dapat libur kerja, Mi?"
Tanganku yang sibuk memperkerjakan sapu di atas lantai keramik terhenti. Aku menoleh pada wanita berkerudung navy yang baru saja mendaratkan diri di atas kursi memanjang yang sudah ku tata dan ku sapu bersih dari debu. Dia ka Fatimah. kakak pertamaku yang tujuh tahun lalu melaksanakan pernikahan dengan orang kota kecamatan. Ka Fatimah sebenarnya ikut suami. Tapi karena katanya rindu sahur bersama dengan kami akhirnya Ka Faruq, suaminya, menyanggupi permintaan ka Fatimah. Dengar-dengar dengan janji insya Allah sisa dua minggu ramadan mereka ke rumah orang tua Ka Faruq untuk puasa di sana. Impas berarti.