BAGIAN 5

363 19 0
                                    

Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan cahaya di ufuk timur, Rangga dan Rukmini sudah berada di Desa Bahar Arum. Hanya beberapa orang saja yang terlihat sudah keluar dari dalam rumahnya. Dan mereka seakan tidak peduli terhadap dua anak muda yang menyusuri, jalan tanah berdebu membelah desa ini. Mereka berjalan bersisian tanpa bicara sedikit pun juga. Dan Rangga membiarkan Dewa Bayu mengikuti dari belakang.
Dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar, berhalaman sangat luas, dan berpagar bambu. Mereka langsung saja menyeberangi halaman rumah itu. Dan Rukmini juga langsung masuk ke dalam beranda depan. Dibukanya pintu yang tidak terkunci itu. Sementara, Rangga menunggu di depan beranda. Hanya sebentar saja Rukmini menghilang di dalam rumah ini, tak lama sudah kembali lagi bersama seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Bajunya warna biru berkilat dan agak ketat, hingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
"Mari silakan masuk. Aku Baruka, orangtua Rukmini," laki-laki separo baya itu langsung mempersilakan Rangga dengan ramah.
"Terima kasih," ucap Rangga.
"Biarkan saja kudamu, Anak Muda. Nanti ada yang mengurus."
Rangga hanya tersenyum saja, lalu melangkah menaiki anak-anak tangga yang berjumlah tujuh undakan ini. Kemudian mereka semua masuk ke dalam. Cukup luas juga ruangan depan rumah kepala desa ini. Kini mereka duduk di kursi kayu, melingkari sebuah meja bundar yang kosong. Ki Baruka membesarkan pelita, karena jendela rumah ini belum ada yang terbuka. Dan matahari juga belum sepenuhnya menampakkan diri. Hanya cahayanya saja yang membias di kaki langit sebelah timur. Dari pintu yang sedikit terbuka, Rangga melihat seorang laki-laki tua mengambil Dewa Bayu dan membawanya ke samping rumah.
"Sejak semalam, aku menunggu. Kupikir, Rukmini gagal membawamu ke sini," kata Ki Baruka.
"Oh, ya. Siapa namamu, Anak Muda?"
"Rangga," jawab Rangga singkat.
"Semalaman kalian bersama-sama. Tentu Rukmini sudah banyak cerita padamu," kata Ki Baruka lagi.
"Begitulah," sahut Rangga tetap singkat.
"Tapi aku yakin, pasti ada satu yang belum dia diceritakan Rukmini padamu, Rangga."
"Hm..., apa itu?" tanya Rangga, agak menggumam.
"Tentang perubahan Ki Jarokamin," sahut Ki Baruka.
"Rukmini hanya mengatakannya sedikit," ujar Rangga.
"Yang pasti, anakku ini tidak mengatakan sebab-sebabnya, bukan...?" Rangga mengangguk saja.
"Ki Jarokamin bisa berubah begitu, setelah pergi selama satu purnama. Tidak ada seorang pun yang tahu, ke mana perginya, kecuali aku," jelas Ki Baruka.
"Boleh aku tahu, ke mana perginya, Ki...?" pinta Rangga.
"Tentu saja, Anak Muda. Justru aku memintamu datang ke sini karena persoalan itu," sahut Ki Baruka.
Orang itu melirik sedikit pada anak gadisnya ini. Dan Rukmini langsung bisa mengerti. Gadis itu segera berdiri dan meninggalkan ruangan ini, setelah memberi senyum sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka sebentar saja tubuhnya sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan depan dengan ruangan tengah rumah ini.
"Sebenarnya, Ki Jarokamin tidak pergi jauh. Dia pergi ke Bukit Batu sebelah selatan desa ini," Jelas Ki Baruka lagi. Rangga jadi tertegun mendengarnya.
"Kau tahu letak bukit itu, Rangga...?"
Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Tentu Pendekar Rajawali Sakti tahu, karena di balik bukit itu letak pertapaan Ki Patungga yang juga menjadi tempat tinggal serta untuk menempa murid-muridnya. Dan di sana juga Pandan Wangi sekarang ditinggalkannya untuk menjaga Ki Patungga yang kini sudah menjadi lemah tanpa daya lagi. Dari sana juga awalnya, hingga sekarang ini, Pendekar Rajawali Sakti berada di Desa Bahar Arum.
"Aku tidak tahu, apa yang dilakukannya di sana. Tapi sepulangnya dari sana, dia menunjukkan sesuatu padaku. Sebuah benda yang sama sekali tidak menarik bagiku. Tapi, Ki Jarokamin tampaknya begitu bangga memilikinya," sambung Ki Baruka.
"Benda...?!" Rangga agak terperanjat mendengarnya. "Benda apa itu, Ki?"
"Hanya sebuah batu karang yang tidak ada artinya sama sekali bagi orang lain. Dan semula, memang aku juga mengira begitu. Tapi setelah melihat dengan mata kepalaku sendiri keanehan benda itu, aku jadi...," Ki Baruka tidak melanjutkan.
Saat itu, Rukmini datang lagi sambil membawa sebuah baki berisi dua gelas bambu yang mengepulkan uap hangat, ditambah singkong rebus yang ditumpuk di atas piring kayu. Gadis itu menyediakannya di atas meja yang ada di depan Rangga dan Ki Baruka. Dan Rukmini kembali masuk ke dalam, setelah melihat lirikan mata ayahnya.
"Batu karang itu berada dalam kotak kayu yang sudah usang dan lapuk, Rangga," sambung Ki Baruka, setelah mereka sama-sama menghirup kopi hangat yang disediakan Rukmini.
"Keanehan apa yang kau lihat, Ki?" tanya Rangga.
"Batu itu mengeluarkan cahaya jika malam hari. Dan cahayanya bisa membuat kekuatan Ki Jarokamin jadi berlipat ganda. Demikian pula murid-muridnya yang masih muda-muda itu. Mereka jadi seperti pendekar tangguh yang kepandaiannya sudah tinggi. Aku sendiri tidak mengerti. Dalam beberapa hari saja, kepandaian Ki Jarokamin dan murid-muridnya jadi sepuluh kali lipat. Sepertinya mereka sudah memperdalam sebuah ilmu, selama tiga puluh tahun," tutur Ki Baruka.
"Lalu, apa yang membuatmu jadi cemas, Ki?" tanya Rangga memancing.
"Setelah memperoleh benda ajaib itu, sikap dan tindakan Ki Jarokamin jadi berubah. Ini yang membuatku cemas, Rangga. Terlebih lagi, dia telah sesumbar akan menguasai jagat ini. Bahkan akan menyingkirkan siapa saja yang mencoba menghalanginya. Malah aku sendiri yang sudah seperti adiknya, hampir tidak dipedulikan sama sekali. Terlebih lagi, aku dan seluruh keluargaku diancam akan dibunuh bila coba-coba menghalangi keinginannya yang gila itu. Terus terang, aku jadi cemas seandainya dia sampai terlalu jauh, Rangga. Harus ada yang bisa menghentikannya sebelum semakin angkuh dan merasa paling hebat di jagat ini," kata Ki Baruka panjang lebar.
Rangga jadi terdiam membisu. "Ki, apa Ki Jarokamin pernah mengatakan dari mana batu itu diperolehnya?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Tidak," sahut Ki Baruka.
Rangga kembali terdiam. Kini dia tahu, persoalan apa yang sedang dihadapinya sekarang. Dan dia juga tahu, seperti apa yang akan dihadapinya. Seeorang yang memiliki kekuatan berlipat, akibat terpengaruh oleh kekuatan dari batu karang yang menjadi pusaka yang dititipkan di rumah Ki Patungga. Kekuatan aneh yang entah bagaimana cara menghadapinya.
"Rangga, aku tahu kau seorang pendekar digdaya yang sangat hebat. Aku juga tahu, kau dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Untuk itulah aku minta semua kegilaan Ki Jarokamin dihentikan, tanpa harus melukainya. Dia tidak sejahat seperti apa yang kau duga. Cukup pisahkan saja dia dari benda celaka itu," pinta Ki Baruka memohon.
"Hhh.... Sulit untuk memenuhi keinginanmu, Ki. Aku tidak bisa menjamin apa-apa," sahut Rangga mendesah berat.
"Aku bisa mengerti, Rangga. Tapi usahakanlah..."
"Aku akan berusaha, Ki. Tapi, entah apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak bisa mengatakannya padamu."
"Aku sudah siap menghadapi segala apa pun yang akan terjadi, Rangga. Bahkan yang terburuk sekali pun."
Rangga jadi tersenyum kecut. Ki Baruka juga tersenyum. Ditepuknya pelan pundak Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan untuk beberapa saat mereka membisu, sehingga suasana jadi hening.
"Aku pergi dulu, Ki. Secepatnya aku akan kembali lagi ke sini untuk menyelesaikan persoalan di sini," ujar Rangga berpamitan seraya bangkit berdiri.
"Baiklah, Rangga. Kunantikan kedatanganmu," sahut Ki Baruka.
Setelah berpamitan, Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke luar diiringi Ki Baruka. Saat itu, matahari sudah naik cukup tinggi. Cahayanya yang bersinar menerangi seluruh mayapada ini sudah terasa cukup terik menyengat. Sebentar kemudian seorang laki-laki tua datang menghampiri menuntun Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Ditinggalkannya kuda itu di ujung bawah tangga beranda, setelah tubuhnya membungkuk sedikit memberi hormat pada Ki Baruka.
"Sampaikan salamku pada Rukmini," ucap Rangga.
"Maafkan kalau putriku sempat merepotkanmu," ucap Ki Baruka.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melompat naik ke punggung kuda Dewa Bayu. Sebentar ditatapnya Ki Baruka yang berdiri di undakan beranda depan rumahnya. Sedikit kepalanya mengangguk lalu menggebah kudanya perlahan. Kuda hitam itu berlari tidak terlalu kencang meninggalkan rumah kepala desa ini. Sementara itu, Ki Baruka terus memandangi sampai Pendekar Rajawali Sakti lenyap di tikungan jalan yang langsung menuju arah selatan.

115. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Pantai SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang