BAGIAN 3

383 17 0
                                    

Pendekar Rajawali Sakti kini sudah melangkah pergi, meninggalkan padepokan Ki Patungga. Rangga terus berjalan, semakin jauh. Sedangkan Pandan Wangi terus membuntuti sambil menuntun kudanya. Dan di belakang kuda putihnya berjalan kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga baru berhenti melangkah, setelah tiba di tepi sungai kecil yang berair jernih. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghempaskan tubuhnya duduk di tepian sungai sambil menghembuskan napas panjang.
Sementara Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dari belakang. Dibiarkannya kuda-kuda itu melepas dahaga di sungai ini. Rangga berpaling sedikit ke belakang, lalu meminta Pandan Wangi mendekat lewat egosan kepalanya. Pandan Wangi bergegas mendekati, dan langsung duduk di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Kembalilah ke sana, Pandan. Jaga Ki Patungga...," ujar Rangga perlahan.
"Lalu, Kakang sendiri...?" tanya Pandan Wangi.
"Biar aku coba menyelidikinya sendiri," sahut Rangga seraya berusaha memberi senyum.
"Kau kelihatannya seperti tak bersemangat, Kakang."
"Tidak. Aku hanya berusaha memikirkan bagaimana cara yang terbaik untuk memecahkan masalah ini."
Pandan Wangi terdiam, memandangi wajah tampan yang kelihatan sedikit kusut itu. Sedangkan, Rangga sudah duduk bersila menghadap ke arah sungai kecil yang mengalir di depannya. Kini Pendekar Rajawali Sakti sudah mengambil sikap bersemadi. Dan ini biasa dilakukan untuk menjaga kelancaran aliran darahnya.
"Pergilah, Pandan. Kembalilah ke sana," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi masih diam sebentar, kemudian bangkit berdiri untuk menghampiri kudanya. Sebentar dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mulai bersemadi. Kemudian melompat naik ke punggung kuda putih tunggangannya.
"Hiyaaa...!" Pandan Wangi langsung cepat menggebah kuda putihnya. Debu seketika mengepul membumbung tinggi tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat itu.
Sementara, Rangga terus duduk bersila dengan sikap bersemadi. Dan matanya sudah terpejam rapat. Sementara tidak jauh, kuda hitam Dewa Bayu menungguinya. Sedangkan di angkasa, terlihat Rajawali Putih melayang-layang menjaga pemuda ini. Kesunyian pun terasa melanda tepian sungai ini. Tidak lagi terdengar suara apa-apa. Bahkan angin pun seakan berhenti berhembus. Dan Rangga terus bersemadi untuk melancarkan aliran darahnya.
Seharian penuh Rangga bersemadi di tepi sungai. Dan saat matahari mulai menenggelamkan diri di ufuk barat, Pendekar Rajawali Sakti baru bangkit dari semadinya. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu masih duduk bersila, kemudian bergerak bangkit berdiri. Wajahnya yang tadi kelihatan kusut, kini sudah kembali segar. Dan tubuhnya juga sudah kelihatan pulih seperti semula, setelah aliran darahnya terasa lancar Rangga menggeliatkan tubuhnya beberapa kali, lalu menghembuskan napas panjang.
Dicobanya untuk mengusir rasa penat akibat seharian penuh duduk bersila tanpa bergeming sedikit pun juga. Dan bibirnya lalu tersenyum melihat Dewa Bayu masih berada tidak jauh darinya. Kuda hitam itu menghampiri setelah Rangga memanggil dengan isyarat tangan.
"Kita akan menghadapi persoalan rumit yang tidak kecil, Dewa Bayu," ujar Rangga seraya membelai kepala kuda hitam itu.
Dewa Bayu hanya mendengus sedikit sambil mengangguk-anggukkan kepala, seakan bisa mengerti semua yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak tahu, benda apa yang dimaksudkan Ki Patungga. Tapi pengaruhnya dahsyat luar biasa. Kita harus bisa menemukan benda itu kembali, sebelum digunakan untuk menghancurkan dunia ini, Dewa Bayu," kata Rangga lagi.
Dewa Bayu kembali mendengus kecil. Kaki depannya langsung dihentakkan beberapa kali ke tanah. Rangga tersenyum melihat tingkah kuda tunggangannya, kemudian mengambil tali kekangnya. Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat naik dengan gerakan indah dan ringan sekali. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti belum juga menghentakkan tali kekang kuda ini. Dan pandangannya segera beredar ke sekeliling. Tampak pemandangan di sekitarnya begitu indah, dengan bias-bias sang mentari yang hampir tenggelam menjadi latar belakangnya. Begitu indah warnanya yang memerah jingga, dan terasa lembut membelai kulit.
"Ayo, Dewa Bayu. Kita cari makanan dulu di desa Bahar Arum," ujar Rangga. "Yeaaah...!"
Sekali gebah saja, kuda hitam bernama Dewa Bayu itu sudah melesat kencang membawa Pendekar Rajawali Sakti di punggungnya. Memang sungguh luar biasa kecepatan lari kuda ini. Bahkan tidak ada bandingannya di dunia ini. Begitu cepatnya, sehingga melesat bagaikan angin saja. Debu tampak berhamburan dan beterbangan tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat sangat luar biasa.
Sebentar saja mereka sudah tiba di perbatasan Desa Bahar Arum yang terletak tidak seberapa jauh dari pinggiran pantai. Angin yang bertiup di desa ini membawa aroma laut yang tidak akan ditemui di daerah lain. Rangga memperlambat laju kudanya setelah mulai memasuki mulut desa yang tidak begitu besar ini. Dan rumah-rumahnya pun terlihat agak berjauhan, antara yang satu dengan yang lainnya.
Beberapa penduduk yang melihat kedatangan Pendekar Rajawali Sakti hanya memandangi sekilas saja. Tapi, cukup terasa kalau pandangan mereka mengandung kecurigaan. Rangga merasakan adanya sesuatu yang ganjil di desa ini. Dan perasaan yang berkembang menjadi dugaan itu, tidak bertahan lama dalam benaknya. Begitu berada di tengah-tengah desa ini, terlihat sekitar lima orang berjajar di tengah jalan. Sikap mereka seolah-olah menghadang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...," Rangga jadi menggumam sedikit. Pendekar Rajawali Sakti semakin memperlambat jalan kudanya. Sedangkan matanya terus memperhatikan lima orang yang berdiri jelas menghadang jalannya.
Tampak orang yang berada paling tengah, berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih. Sementara empat orang yang mendampinginya masih muda-muda. Dan mungkin berusia belum mencapai tiga puluh tahun. Gagang golok tampak bersembulan di balik ikat pinggang masing-masing. Hanya orang tua itu saja yang tidak kelihatan membawa golok, kecuali sebatang tongkat kayu yang tergenggam di tangan kanannya. Seakan, tongkat itu cukup membantunya untuk bisa berdiri tegak.
Rangga, segera menghentikan langkah kudanya setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi. Sementara, penduduk yang tadi hilir-mudik di jalan ini, tampak bergegas menyingkir seperti sudah bisa mengerti apa yang akan terjadi.
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan dengan tangan kiri masih menggenggam tali kekang, sehingga kuda hitamnya mengikuti dari belakang. Sebentar langkahnya berhenti, kemudian kembali bergerak lagi. Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah dari lima orang laki-laki yang menghadangnya di tengah jalan ini.
"Maaf, boleh aku lewat...?" sapa Rangga dengan senyum ramah terkembang di bibir.
"Siapa kau? Dan, apa maksud kedatanganmu ke desa ini...?" laki-laki tua yang berada paling tengah malah melontarkan pertanyaan dengan nada ketus.
"Aku pengembara yang kebetulan lewat. Aku hanya mencari tempat beristirahat," sahut Rangga, tetap bersikap ramah.
"Ketahuilah, Anak Muda. Desa ini sudah tertutup bagi orang asing sepertimu. Dan tidak ada tempat untuk beristirahat di sini. Sebaiknya, cepat pergi sebelum penduduk desa ini merajammu!"
"Oh...?!" Rangga agak terkejut juga mendengar kata-kata yang sangat ketus dan tidak bersahabat itu. Dipandanginya orang tua berjubah putih di depannya ini. Sungguh tidak disangka akan seperti ini sambutan yang diperoleh di Desa Bahar Arum. Sambutan yang sama sekali tidak menyenangkan bagi siapa pun juga.
Saat itu, empat orang anak muda yang mendampingi orang tua itu sudah mencabut golok masing-masing. Rangga hanya melirik sedikit saja, tanpa memberi tindakan apa-apa. Pandangan matanya kembali tertuju pada orang tua yang berada tepat di depannya ini.
"Maaf, Ki. Kedatanganku ke sini tidak ada niat jahat sedikit pun juga. Aku hanya ingin bermalam. Dan besok pagi sudah pergi lagi dari sini," kata Rangga, mencoba menjelaskan.
"Kau tidak perlu banyak bicara, Anak Muda. Siapa pun kau adanya, cepat tinggalkan desa ini!" sentak orang tua itu kasar.
"Hm.... Kalau boleh tahu, kenapa desa ini tertutup bagi pendatang, Ki...?" tanya Rangga ingin tahu.
"Semua orang yang datang ke sini, hanya membuat kesengsaraan saja. Dan kedatanganmu, pasti sama dengan yang lainnya. Cepatlah pergi, sebelum murid-muridku kuperintahkan mengusirmu secara kasar!"
"Aku tidak pernah membuat keributan, Ki. Apalagi menyengsarakan orang lain."
"Sudah, jangan banyak omong! Cepat pergi kataku...!" bentak orang tua itu dengan mata mendelik.
Rangga tidak bisa lagi memaksa, dan hanya mengangkat pundaknya sedikit. Kemudian tubuhnya berbalik, dan kembali melompat naik ke punggung kudanya. Tanpa mengeluarkan satu kata pun juga, Pendekar Rajawali Sakti menarik tali kekang kudanya. Segera saja ditinggalkannya jalan desa itu, dan kembali ke arah semula. Sementara orang tua dan empat orang muridnya itu terus memandangi kepergian pemuda berbaju rompi putih ini.
Rangga menghentikan langkah kudanya setelah melewati perbatasan Desa Bahar Arum. Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan ringan sekali. Dipandanginya Desa Bahar Arum yang sudah mulai bermandikan cahaya pelita. Dan memang, malam sudah datang menyelimuti sebagian permukaan bumi ini. Rangga benar-benar tidak mengerti melihat keadaan di desa itu, sehingga para penduduknya tidak menginginkan ada seorang pun pendatang yang memasukinya. Berbagai macam pertanyaan langsung berkecamuk dalam kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa terjawab sampai saat ini.
"Hhh...! Aneh.... Kenapa mereka menutup desanya dari orang luar...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri sambil menghembuskan napas panjang.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati sebuah pohon yang cukup besar, kemudian duduk bersila di bawahnya. Sedangkan Dewa Bayu berada tidak jauh dari pemuda ini. Tampak pandangan Rangga tidak berkedip, terus tertuju ke arah Desa Bahar Arum. Namun tiba-tiba saja kelopak matanya jadi menyipit, begitu melihat seseorang berjalan tergesa-gesa menuju ke arahnya.
Rangga tetap diam menunggu dan terus memperhatikan. Agak terkejut juga kening Pendekar Rajawali Sakti setelah mengetahui kalau orang yang datang menghampirinya ini ternyata seorang gadis muda. Di bawah siraman cahaya rembulan, jelas sekali terlihat kalau gadis itu masih sangat muda. Paling-paling usianya baru sekitar tujuh belas tahun. Pakaiannya serba hitam dan cukup ketat, sebagaimana layaknya orang-orang dari kalangan persilatan. Tampak sebuah pedang berukuran pendek tergantung di pinggangnya yang ramping. Gadis itu berhenti melangkah, setelah jaraknya sudah dekat di depan Rangga yang masih tetap duduk bersila di bawah pohon.
"Maaf, apakah kedatanganku mengganggu istirahatmu...?" ucap gadis itu lembut.
"Tidak," sahut Rangga tetap duduk di bawah pohon ini.
"Kau yang tadi datang ke Desa Bahar Arum?" tanya gadis itu, seperti ingin memastikan.
"Benar," sahut Rangga seraya mengangguk sedikit.
"Boleh aku duduk di sini?"
"Silakan."
Gadis itu mengambil tempat tidak jauh di depan Pendekar Rajawali Sakti. Malah, seperti dibiarkan saja kedua bola mata pemuda itu merayapi wajah dan tubuhnya. Dan memang, Rangga sedang mengamati gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menduga kalau gadis ini memiliki kepandaian. Hanya saja, sukar untuk mengukur tingkatannya. Tapi dari sikapnya yang lembut dan sopan, Rangga tidak mau menduga buruk padanya.
"Maaf, ada apa menemuiku di sini, Nisanak...?" tanya Rangga, juga dengan sikap dan tutur kata ramah.
"Aku tahu, kedatanganmu ke Desa Bahar Arum membawa maksud baik. Tapi memang sangat disayangkan, Ki Jarokamin memandang lain pada semua orang yang datang ke sana," tutur gadis itu dengan suara tetap lembut.
"Oh, ya. Namaku Rukmini."
"Rangga," sambut Rangga juga memperkenalkan diri.
Sesaat mereka terdiam dan saling melontarkan senyum, setelah sama-sama memperkenalkan diri masing-masing.
"Boleh aku memanggilmu, Kakang...? Aku yakin kau lebih tua dariku," pinta gadis berwajah cukup cantik yang tadi memperkenalkan diri bernama Rukmini.
"Dengan senang hati," sambut Rangga diiringi senyum cukup lebar.
"Begini, Kakang. Sejak kau datang ke desa tadi, aku memang sudah ingin menemuimu. Tapi, rupanya Ki Jarokamin sudah lebih dulu menghadangmu, sehingga aku tidak bisa langsung menemuimu. Dan aku harus mencari saat yang tepat," kata Rukmini.
"Kenapa kau ingin menemuiku?" tanya Rangga.
"Ayahku yang menyuruh."
"Ayahmu...?"
"Ya, ayahku kepala desa di Desa Bahar Arum."
"Hmmm...."
"Kau pasti merasa aneh. Memang, meskipun menjadi kepala desa, tapi ayahku tidak punya kuasa apa-apa di sana. Semuanya sudah dipegang Ki Jarokamin. Dia bukan saja orang yang tertua di Desa Bahar Arum, tapi juga menguasai desa itu dengan murid-muridnya. Tidak ada seorang pun yang berani membantah semua yang diperintahkan. Semua penduduk Desa Bahar Arum takut padanya. Tapi, Ki Jarokamin tidak pernah angkuh dan merasa dirinya paling ditakuti. Entah kenapa dalam beberapa hari ini dia jadi berubah. Dan...," Rukmini tidak melanjutkan.
"Kenapa, Rukmini?" tanya Rangga, meminta diteruskan.
"Semua sikapnya jadi berubah garang, setelah menghilang sekitar satu purnama. Baru beberapa hari ini dia kelihatan lagi di desa. Tapi, semua sikapnya sudah sangat jauh berubah. Bahkan sepertinya bukan lagi Ki Jarokamin, tapi kepala perampok yang sudah bisa menguasai Desa Bahar Arum,' sambung Rukmini.
"Hmmm...," kembali Rangga menggumam dengan kepala terangguk-angguk.

***

115. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Pantai SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang