Masih nungguin ini nggak? :')
(Voice)
Persidangan dimulai hari itu dengan suasana menegangkan. Semua saksi dihadirkan. Hoseok duduk di barisan paling depan, bersama Seokjin di sampingnya. Sementara itu, Jimin berada di meja saksi. Hoseok sebenarnya ingin sekali duduk di sampingnya, memegang tangan anaknya. Jimin menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Wajahnya mengeras setiap kali bertemu pandang dengan Kakek Seokjin. Tidak menyangka bahwa seseorang yang ia kira pernah akan menjadi keluarganya, malah harus menjadi orang yang bertarung dengannya.
Jimin menjawab pertanyaan yang diajukan hakim dengan jelas. Tidak ada yang dikarang bebas. Semua ingatan itu tergambar jelas. Bagaimana beberapa penyusup masuk ke dalam rumahnya, menembak kakak dan ibunya. Bagaimana sang ayah menggendongnya dalam panik, mencoba membawanya kabur dari rumah yang terbakar seluruhnya. Jimin mengingat semuanya. Jimin ingat jelas sosok siapa yang tertangkap matanya di tengah kejadian tragis itu.
Hakim mengangguk mengerti, mendengar penjelasan Jimin dengan saksama tanpa memotongnya. Kakek Seokjin sudah membara dengan semua penjelasan yang Jimin berikan.
Sang hakim berdeham. Membuka lembar-lembar kertas yang ada di hadapannya.
"Baiklah. Sesuai dengan hasil penyelidikan, bukti-bukti dan keterangan saksi yang ..."
Hakim melanjutkan penjelasan hingga keputusan sidang hari itu didapatkan. "Sidang kedua akan dilanjutkan pekan depan untuk mendengarkan keterangan terdakwa dan korban." Palu diketuk, pertanda sidang ditutup.
Semua hadirin mengembuskan napas lega karena sidang pertama sudah berakhir. Kakek Seokjin langsung digiring oleh petugas. Ia melirik ke arah Seokjin, Hoseok dan Jimin. Hoseok menarik tangan Jimin, menyembunyikan tubuh mungil putranya di balik punggungnya yang bidang. Tanpa rasa takut, ia menatap Kakek Seokjin dengan lebih tajam. Kakek Seokjin tidak berkata apapun, lalu menoleh pada Seokjin yang masih duduk diam, menyadari kehadiran sang kakek yang sempat menghentikan langkah. Namun Seokjin tidak berminat memandang sang kakek. Ia malah menatap lurus ke depan. Menelan ludah dengan susah payah karena hatinya yang sebenarnya sakit, lebih sakit daripada tubuhnya yang masih duduk di kursi roda saat ini.
Kakek Seokjin melanjutkan langkah, meninggalkan mereka.
Hoseok berbalik, menghadap Jimin yang tertunduk. Ia menangkup pipi Jimin agar Jimin menatap matanya. Tatapan Hoseok melembut. "Jimin, kau hebat. Kau sudah melakukannya dengan baik." Hoseok memberikan pelukan singkat, sambil menepuk punggung Jimin.Jungkook mendorong pelan kursi roda Seokjin keluar, diiringi dengan Hoseok dan Jimin yang berjalan sejajar dengan Yoongi dan Taehyung. Dua anggota kepolisian itu menjelaskan beberapa hal pada Hoseok.
"Ah iya, aku akan mengantar kalian." Ujar Yoongi.
"Tapi, aku membawa mobil Seokjin. Tidak apa-apa, kami akan kembali ke rumah sakit." Sahut Hoseok. Yoongi menggeleng.
"Kalian harus dibawah pengawasan kepolisian. Kalian adalah kunci dalam kasus ini. Jadi, aku harus melindungi kalian."
Taehyung mengangguk pula, menyetujui alasan Yoongi. Hoseok mengiyakan, namun meminta untuk diikuti saja dari belakang, karen Hoseok akan tetap menyetir. Ia perlu bertanggung jawab atas mobil Seokjin. Tidak boleh ditinggalkan begitu saja di kantor pengadilan.
Parkiran di kantor pengadilan tidak begitu jauh. Yoongi diminta Hoseok untuk menjaga Jungkook, Jimin dan Seokjin sebentar. Hoseok berjalan cepat, menekan kunci mobil dari kejauhan untuk mengetahui letak mobil yang ia parkirkan sebelumnya.
Tangannya baru saja memegang handle pintu mobil saat tiba-tiba ia mematung di tempat dengan mata membulat. Ia melihat dari kaca mobil, ada seseorang dengan pakaian hitam, menutup wajah dengan masker hitam pula di belakangnya. Hoseok berbalik dengan cepat, namun ia terlambat untuk menepis tangan pria misterius itu yang sudah menancapkan senjata tajam ke perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VOICE ✔️
FanfictionIa ingin mengenang, tapi ia tidak memiliki kenangan. Ia ingin mencari, tapi ia tidak tahu apa yang hilang. (Jimin) June 2019