Thirty Fourth Sound

1.2K 163 72
                                    

Coba, sebelum baca, renungkan dulu apakah butuh tisu atau tidak.

Enjoy the ride :*

(Voice)

Setelah berbagai upaya Taehyung dan Yoongi lakukan untuk membujuk, akhirnya Jimin bersedia untuk datang ke persidangan kedua dari kasus yang menyeret kakek Seokjin.

"Semua dokumen sudah kau siapkan, Namjoon?"

Namjoon memasukkan lembaran kertas ke dalam map berwarna cokelat di atas meja ruangan Taehyung. "Ya, Yoongi. Berkas ini sudah aku copy untuk arsip, dan dokumen asli sudah kuserahkan pada tim penyidik untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan hakim." Ujar Namjoon, menatap bergantian pada Taehyung dan Yoongi yang berada disana bersama Jimin yang duduk termenung di sofa.

Yoongi menatap sekilas pada Jimin, kemudian menoleh pada Taehyung. "Sudah yakin bahwa dia tidak apa-apa menghadapi ini tanpa ayahnya?"

"Aku yang akan bertanggung jawab. Aku yakin dia akan baik-baik saja dan ini akan dimenangkan oleh pihak yang seharusnya menang." Taehyung berkata dengan penuh percaya diri. Yoongi menghela napas lega, namun hatinya masih sedikit khawatir dengan Seokjin yang sebenarnya masih memerlukan istirahat, daripada menghadiri sidang.

Perkataan yang Taehyung lontarkan bukan menjadi bualan belaka. Keputusan akhir dari hakim menerangkan dengan jelas bahwa pemenang dalam semua prahara ini adalah keluarga Han. Tidak ada yang lain. Tidak ada pembelaan yang bisa kakek Seokjin lakukan, apalagi setelah Taehyung menunjukkan bukti yang otentik. Berasal dari ucapan kakek Seokjin sendiri.

Yoongi berkali-kali harus menahan diri untuk tidak menyusul ke tempat Jimin duduk selama menjadi saksi. Ia gemas melihat kondisi Jimin yang menyampaikan semua pernyataan dengan tangan dan suara bergetar. Namun, Jimin menajamkan matanya. Menegakkan punggung dan menatap lurus pada kakek Seokjin. Tidak ada ketakutan sedikitpun, meski kondisinya yang lemah tidak bisa ditutupi.

Pernyataan hukuman yang dijatuhkan pada kakek Seokjin dilontarkan dan dikuatkan dengan pengetukan palu, maka berakhirlah sidang putusan akhir kasus pembantaian keluarga Han. Tidak ada lagi yang bisa melawan keputusan. Ini berakhir, dan Jimin sangat puas dengan hal itu.

Jimin, didampingi oleh Taehyung dan Yoongi di sampingnya, berhadapan dengan kakek Seokjin yang dikelilingi oleh petugas.

"Aku tidak akan pernah menganggap bahwa keluarga Lee berhubungan dengan keluarga Han yang terkutuk. Tidak akan pernah!" kakek Seokjin mengucapkan hal itu dengan penuh amarah. Namun, Jimin tidak tersentak sama sekali.

"Perbuatanmu sudah menghancurkan keluarga Han. Semoga kau menyadarinya dalam masa karantina panjangmu." Ucapan Yoongi ditutup dengan bungkuk hormat, bersamaan dengan Jimin yang melakukan hal sama, lalu mereka melenggang pergi. Tidak ingin lagi menoleh ke belakang.

Penjagaan ketat dikerahkan di seluruh penjuru kantor pengadilan agar kejadian yang Hoseok alami tidak terulang pada Jimin. Bahkan saat Yoongi mengambil mobil, Taehyung menemani Jimin dan Seokjin di depan kantor, sementara Yoongi didampingi beberapa petugas.

Yoongi membawa Seokjin dan Jimin kembali ke rumah sakit. Jimin bergegas menuju kamar rawat sang ayah. Sedangkan Seokjin harus kembali ke kamar rawatnya untuk diperiksa secara berkala oleh dokter.

Jimin duduk di samping sang ayah. Jungkook tidak terganggu dengan kehadiran Jimin dan masih terlelap di sofa sambil mendekap selimut tipis yang disediakan rumah sakit.

"Ayah ...." Jimin memanggil Hoseok dengan nada manja. Berharap sang ayah terkesiap, bangun dan memanjakannya. Jimin terkejut bercampur bahagia saat sang ayah membuka mata. Tersenyum padanya dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya.

"Anak Ayah ...." Suara Hoseok samar.

Jimin memeluk ayahnya, lalu kembali duduk. Menggenggam tangan Hoseok. "Ayah, kita berhasil."

Mata Hoseok menyipit, menandakan dirinya yang tersenyum. "Kau melakukannya dengan baik." Ucap Hoseok dengan suara berbisik. Jimin mengangguk.

"Ayah, sekarang kita bisa bahagia. Tidak perlu memikirkan apapun lagi. Semuanya ...." Jimin mengecup punggung tangan sang ayah. ".... sudah berakhir. Tidak usah dibahas lagi. Lupakan. Kita lupakan semuanya ya, Ayah?"

Hoseok mengangguk pelan. "Jimin-ah ..."

"Ya, Ayah?"

"Ayah mengantuk sekali, Nak."

Jimin mengangguk mantap. "Ayah tidurlah. Aku akan disini. Ada Kakak Jungkook juga. Kami berdua akan menemanimu, Ayah. Kau tidak akan sendirian."

Hoseok menutup matanya. Penuh rasa percaya pada sang anak yang berjanji akan menjaganya. Hatinya terasa begitu tenang, begitu damai. Kali ini, Hoseok bisa memejamkan matanya dengan lebih nyaman dibanding sebelumnya, karena semua ketakutan dan kesakitan sudah berakhir.

***

Seokjin membuka pintu ruang rawat Hoseok dengan kasar. Tidak peduli keributan yang diciptakannya. Ia melemparkan pandangan pada setiap orang yang berdiri dalam diam di dalam ruangan itu.

Seokjin bertemu pandang dengan Yoongi. Polisi muda itu mengalihkan pandangannya. Seokjin beralih pada Jungkook yang sudah sesenggukkan sambil menutup matanya dengan telapak tangan. Ia ingin sekali memukul Jungkook, memaksanya berhenti menangis karena Seokjin benar-benar terganggu akan hal itu. Yang menjadi sasaran tatapan Seokjin selanjutnya adalah Jimin. Jimin yang kini berdiri diam, terpaku sambil menghadap ke tubuh sang ayah yang terbaring. Beberapa suster melepaskan alat-alat medis yang tadinya tersambung di tubuh Hoseok. Kemudian, suster-suster menjauh, seakan memberi ruang pada Jimin atau siapapun yang ingin berinteraksi untuk terakhir kalinya dengan Hoseok.

Seokjin menyentuh pundak Jimin, namun Jimin tak menggubris. Mata Jimin memerah, tak berkedip menatap wajah pucat sang ayah. Mata sang ayah kini berpejam. Tertutup rapat. Tak akan terbuka lagi. Kenyataan itu benar-benar menghujam hati Jimin dengan kejam.

"Jimin, kenapa? Jimin, jawab aku!" Seokjin memegang lengan Jimin, mengguncang tubuh adiknya. Jimin menatap Seokjin. Matanya menyendu.

"Kak .... Ayah ...." Suara Jimin bergetar. Seokjin menggeleng kuat. Ia berpaling pada Hoseok. Menangkup wajah Hoseok yang terasa dingin. "Paman, kau dengar aku? Kenapa kau tertidur terus? Kau tahu, kita sudah menang, Paman. Kita bisa hidup bahagia sekarang. Kakekku sudah mendapatkan balasan dari perbuatannya. Bukankah itu bagus? Bukankah kita harus merayakannya, Paman? Kenapa kau masih tertidur? Ayolah, Paman. Aku sudah sembuh. Kita akan bawa Jimin berlibur. Ya kan?"

Racauan Seokjin membuat hati Jimin semakin sakit. Tubuh Jimin meluruh ke lantai. Tangisnya pecah. Ia tak berhenti menepuk-nepuk dadanya sendiri, membuat Yoongi harus turun tangan untuk menenangkan dirinya.

Seokjin tidak kalah terpukul. Air matanya tumpah, membasahi wajah Hoseok. Ia menempelkan keningnya di kening Hoseok. Menangis sejadi-jadinya. Ia bahkan memukul dada Hoseok, sedikit keras agar Hoseok merasa terganggu dan bangun, untuk memarahi Seokjin. Namun tidak ada tanggapan apapun dari Hoseok. Kini, bahkan Hoseok tidak merasakan apa-apa lagi.

"Maaf .... Maafkan aku, Paman. M-maaf ...." Seokjin menyerah. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk membuat Hoseok bangun. Ia hanya bisa menangis. Menangisi hidupnya yang benar-benar dipenuhi penyesalan. Ia harus menumbuhkan perasaan rela secara paksa.

Ia harus merelakan Hoseok yang kini pergi. Bertemu dengan isteri dan putrinya.

To be continued

(Voice)

Maafin. Chapter ini bikin berderai air mata. Aku bikin chapternya begini tanpa sadar. Sepanjang ngetik, banjir. Maap ya kalo berlebihan.

See you soon

Wella

Love

You

3 Mei 2020

VOICE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang