Happy Sunday!~(Voice)
Malam itu, bus terakhir menuju Seoul siap berangkat.
Setelah Seokjin memerintahkannya untuk kembali ke kamar, Jimin mengikuti titah itu dan benar-benar masuk ke kamar. Tidak untuk beristirahat, melainkan untuk mengambil tas ransel yang hanya diisi dengan dompet dan selembar baju. Jimin merobek kertas dari buku agendanya. Mengambil pulpen yang tergeletak di atas meja belajarnya. Ia menulis beberapa kalimat dengan cepat sehingga tidak terlihat begitu rapi, tapi masih bisa dibaca dengan jelas. Setelah itu, Jimin keluar dari kamarnya. Mengendap untuk menghindari kebisingan yang mungkin saja akan terdengar jika ia melangkah terlalu cepat. Perlahan, ia membuka pintu depan, membiarkannya tertutup sendiri agar suara pintu tidak terlalu kentara. Pintu rumah Seokjin akan terkunci secara otomatis jika tertutup. Saat Jimin merasa pintu sudah terkunci, Jimin berlari kecil menuju pagar. Mengangkat kakinya saat berlari agar tidak menimbulkan keributan.
Saat kakinya berpijak sempurna di luar area kediaman Seokjin, ia menghela napas panjang. Mempersiapkan dirinya untuk pergi meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempatnya bertumbuh. Jimin bukannya tidak tahu terima kasih, tapi ia benar-benar terlepas dari siksaan batinnya.
Kini, disinilah Jimin berada. Duduk di dalam bus menuju Seoul bersama tujuh orang lainnya. Jalanan sepi dan gelap. Jimin duduk di dekat jendela, membiarkan matanya melanglang buana dalam sisa-sisa cahaya yang masih menerangi pemandangan di jalan.
Hatinya yang berkecamuk dibalut dengan wajahnya yang tampak tenang. Ia merasa sangat bersalah pada Seokjin, tapi ia merasa lega karena merasa mengambil keputusan yang tepat.
Tujuan pertama Jimin sudah terpenuhi. Melepaskan diri dari keluarga Lee dan tidak menjadi beban lagi. Tapi Jimin harus memikirkan tujuannya yang lain, supaya ia memiliki alasan untuk terus melangkah.
Dalam hening, pikiran Jimin melayang. Ia teringat semua perkataan nenek Seokjin saat perdebatan waktu itu. Saat itu, Jimin sudah dekat dengan ruang kerja Seokjin saat ia melihat sang nenek masuk. Ia tetap berada di depan pintu, tapi sengaja menunggu hingga pembicaraan Seokjin dan neneknya selesai. Seokjin dan sang nenek memulai pembicaraan biasa, tentang pekerjaan. Awalnya, Jimin menunggu dengan santai. Tapi, saat namanya terdengar sayup-sayup, Jimin menajamkan pendengarannya. Kebetulan, alat bantu dengarnya bersahabat hari itu. Jimin dapat mendengar dengan jelas semua pembicaraan Seokjin dan neneknya tentang Jimin.
Jimin tahu bahwa dirinya memang hilang ingatan. Jimin tahu bahwa ada yang Seokjin sembunyikan selama ini. Tapi Jimin tidak pernah tahu, apa yang membuat Seokjin tidak ingin mengatakan yang sebenarnya pada Jimin.
Jimin memejamkan matanya sejenak sambil mengembuskan napas lelah. Ia merutuki dirinya sendiri yang terlalu berharap pada Seokjin. Ia menganggap Seokjin adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya di dunia ini. Ia menganggap bahwa tidak ada yang menyayanginya sepenuh hati selain Seokjin. Tapi, Jimin ingin tahu alasan Seokjin bersikap seperti itu padanya. Alasannya merawat dan menyayangi Jimin dengan begitu dalam. Jimin ingin tahu. Tapi tidak pernah diberitahu.
Satu hal yang Jimin dapatkan dari kegiatannya menguping pembicaraan antara Seokjin dan sang nenek. Jimin memiliki seorang ayah, yang mungkin masih hidup. Besar kemungkinan bahwa Jimin dulu tinggal di Seoul.
Jimin membuka matanya kembali. Otaknya yang sedari tadi berpikir dalam gelap akhirnya menemukan titik terang.
Berbekal nama yang sang nenek sebutkan waktu itu, ia akan menjelajahi Seoul. Mencari sang ayah, meski ia tak pernah tahu bagaimana parasnya.
###
Dengan setelan kaos dan celana jeans, Seokjin meraih kunci mobil dan buru-buru menyalakan mesin. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia akan ke Seoul dan harus sampai di sana sebelum siang hari. Seokjin akan mengejar Jimin. Jika perkiraan Seokjin benar, Jimin akan berada tidak jauh dari terminal bus. Jimin tidak paham arah jalan dan pasti ia akan berhenti di suatu tempat dalam waktu yang lama untuk mencari jalan. Setidaknya, itulah yang Seokjin pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VOICE ✔️
Fiksi PenggemarIa ingin mengenang, tapi ia tidak memiliki kenangan. Ia ingin mencari, tapi ia tidak tahu apa yang hilang. (Jimin) June 2019