Part 2. Menggapai Mimpi

281 154 33
                                    

Insyaa Allah kisah Selom bisa kalian baca selama 30 hari berturut-turut, dalam rangka event menulis marathon. Sebagai respon ucapan terima kasih pada penulis. Jika berkenan diharap meninggalkan vote. Satu vote sangat berharga. Terima kasih.

🍁🍁🍁

Sudah dua hari Selom meninggalkan rumah. Hari ini adalah hari di mana dia akan pergi menuju negara impiannya. Tanpa sepengetahuan sang ayah. Tanpa restunya. Bukan tak ingin. Hanya saja Selom tak mau terus hidup menderita tanpa bisa mengubahnya. Bukankah Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga mereka mengubah diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d:11)

Satu jam sudah Selom dan Tian berada di bandara Adi Soemarmo. Pesawat yang ditumpangi Selom, akan berangkat pukul 07.40 dan tiba pukul 09.15 WIB atau satu jam lebih lama waktu Seoul.

Dengan hati berdebar Selom memantapkan niat. Melangkah ke depan. Meraih mimpinya setinggi dia bisa. Dia melangkah memasuki kabin pesawat. Merebahkan tubuhnya. Hingga pesawat akhirnya terbang meninggalkan langit Solo.

“Lom.” Tian menepuk pundak Selom.

“Ya.” Selom mengambil buku yang menutupi wajahnya dan menatap Tian.

“Sudah sampai. Ayo turun.”

Selom tersenyum. Dia berjalan sejajar dengan Tian seraya menggeret koper. Sinar matahari begitu terik hingga menembus tulang. Kebetulan bulan September merupakan musim gugur di Seoul. Namun, panasnya musim panas sepertinya masih bersisa di bulan ini.

“Sudah siap meraih mimpimu?” tanya Tian seraya memandang Selom. Selom mengangguk. Bersama Tian kakak sepupunya dia akan berjuang mengubah jalan hidupnya.

☘☘☘

September 2015

Sepasang kakak beradik tiba di kota Seoul, Korea Selatan. Sesampai di bandara, Tian segera memesan taxi dan meminta mengantar mereka ke tempat tujuan. Beruntung Selom dan Tian tidak menemui berbagai kendala. Tempat tinggal dan uang saku mereka dapat satu paket dengan beasiswa di universitas.

Suasana kota Seoul berbeda sekali dengan Indonesia. Kebetulan bulan ini kota Seoul sedang musim gugur. Jalanan kota dipenuhi oleh daun-daun berserak. Hingga tanpa sengaja mata bulat Selom menangkap pemandangan yang sangat indah.

“An, lihat deh di luar. Walau banyak daun jatuh, tapi jalanan yang teratur terlihat indah saat mata memandang. Kendaraan tak sepadat kota Solo, banyak di antara mereka memilih untuk berjalan kaki. Coba kalau di Solo apalagi Jakarta seperti ini. Udara yang kita hirup pasti terasa segar, nggak berdebu banyak polusi. Ini benar-benar berbeda dengan kota kita.” Selom menatap kaca mobil seraya berdecak berkali-kali.

“Oh, ya?” ucap Tian cuek.

Melihat respons sang kakak membuat Selom jengkel. Tanpa sadar bibirnya sudah mengerucut. Tian gemas dan langsung menoyor kepala Selom.

“Hoi, ya jelas bedalah. Udah nggak usah dibandingi. Kita ke sini untuk belajar. Ngejar cita-cita yang bener jangan sampai sia-sia.”

“Siap, Pak.” Jari Selom membentuk simbol ok.

“His!”

“Sorry, we have arrived,” ucap sang sopir.

“Oke, thank you,” jawab Tian seraya menyerahkan beberapa lembar Won.

Oppa I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang