Part 16. Ayah

92 46 10
                                    

Assalamu'alaikum. Hallo Kakak-kakak Oppa I Love You sudah update ya. Semoga masih berkenan membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak ⭐ pada bagian kiri bawah. Happy reading.

🌻🌻🌻

Sudah puluhan purnama, Selom tak menjejakkan kakinya di rumah yang kini terlihat semakin lapuk dimakan usia. Taman kecil di depan rumah yang Selom cipta pun tak tampak lagi indahnya. Semua hilang tak lagi sama.

Namun, ada yang tidak berubah. Sayangnya pada ayah yang telah lama tak dijumpa. Setelah menuruni becak dan menurunkan semua barang-barangnya, Selom menyerahkan selembar uang berwarna biru. Lalu mengucap terima kasih, dia berjalan mendekati pagar yang terbuat dari pohon bambu.

Pagar yang dipenuhi lumut-lumut menandakan bahwa dia telah berumur. Selom mendorong pintu pagar perlahan, hingga menimbulkan suara derit kayu tua. Sekilas Selom memandang rumah masa kecilnya. Rumah di mana ada kasih sayang ayah dan ibunya. Tapi, dulu. Sebelum semua masa-masa mengerikan itu hadir dan membuat luka menganga dihatinya.

Saat sedang memandang teras rumahnya, tanpa terasa air matanya jatuh menetes. Semakin lama semakin tak terbendung. Selom terisak-isak, saking nelangsanya dia meratap pilu masa lalu yang penuh cobaan dan lika-liku. Lamanya dia menangis membuat kedua netranya sembab, hidungnya bengap. Lintasan kejadian-kejadian tentang dirinya yang dipukuli sang ayah tepat di sana di teras rumahnya.

Dengan bahu berguncang-guncang, Selom berjalan pelan seraya menggeret koper menuju pintu rumah. Diayunkan tangan kanannya demi mengetuk pintu coklat yang tak lagi coklat karena memudar warnanya. Namun, tiba-tiba ragu hadir menyergap relung jiwa. Tangannya bergetar kala kejadian itu terlintas kembali di kepala. Beribu tanya masih belum terjawab dengan fakta. Apakah sang ayah benar-benar sudah berubah atau masih sama.

Selom menarik tangannya kembali. Dia urungkan niat mengetuk pintu rumah. Berjalan berbalik hendak menunggu sang ayah. Berharap ayahnyalah yang menemui dan menyambut kedatangannya. Mungkinkah? Selom terduduk di teras seraya menjulurkan kedua kakinya. Tersenyum kecut akan mimpinya yang tak mungkin terwujud. Lelah menjalari tubuhnya. Rasanya segera ingin merebahkan diri di dipan kayu tua yang setia menerimanya dalam suka maupun duka. Meletakan resah agar saat matanya kembali terbuka lara itu telah enyah.

Lama Selom menunggu sang ayah ke luar dari balik pintu tua itu. Sempat terlintas dari pikirannya apakah sang ayah sedang berada di pos tempatnya mereguk haram dunia. Meminum air yang tak dibolehkan dalam agama. Sebab akan hilang akal lupa dunia. Apakah dia harus tinggal kembali bersama keluarga ayahnya. Sebab sang bude menerimanya dengan tangan terbuka. Tidak-tidak tak selamanya dia menghindar dari masalah yang mengejar. Selom harus menghadapi dan membuat ayahnya kembali. Kembali ke jalan yang Allah ridoi. Selom beranjak kembali, memantapkan diri bertemu sang ayah keluarga satu-satunya yang dia miliki.

Namun, baru saja tangannya hendak mengetuk pintu, benda itu tiba-tiba terbuka perlahan. Menampakkan sosok orang yang ditakuti sekaligus disayangi. Selom mematung. Hanya matanya yang berkabut karena terhalang air mata. Pun begitu dengan netra tua lelaki di depannya. Tak ada percakapan. Tiba-tiba lelaki tua itu merengkuh mendekap sang putri dalam pelukannya. Tak henti sang ayah meracau kata maaf. Mengingat dirinya penuh kilap.

“Maafkan, Bapakmu ini, Lom. Maafkan. Bapak janji nggak akan ngulangi sifat kasar Bapak.”

Air mata yang tak pernah ke luar sejak kematian sang istri tercinta itu, kini kembali menetes hingga mampu menembus jilbab merah muda yang Selom kenakan. Diusapnya lembut puncak kepala sang putri hingga ke punggung. Memberi keyakinan bahwa kini dia aman tak lagi terancam.

“Ayo, masuk, Lom.” Dituntunnya sang putri memasuki rumah menuju ruang tamu.
“Duduk. Wes diam aja. Kamu pasti capai. Bapak ke dapur bikinin kamu teh hangat,” ucap sang ayah lembut.

Selom menarik tangan sang ayah berusaha menolak karena tak enak.

“Biar Selom aja, Pak. Bapak yang duduk. Selom yang buatin teh buat Bapak dan Selom,” pinta Selom.

Sang ayah menggeleng dan kembali berkata, “Biar Bapak lakukan berbuat baik sama putri Bapak yang selama ini tak pernah Bapak lakukan. Toh soal teh buat Bapak. Besok-besok Selom masih bisa buatkan. Kamu ‘kan nggak bakal pergi lagi ‘kan?”

Selom mengangguk dengan netra berkaca-kaca. Hatinya terharu melihat perubahan sifat sang ayah. Doanya telah terjawab. Kasih sayang orang yang dia harapkan akhirnya dapat dia rasakan. Begitu menentramkan seperti mimpinya.

Selang tak berapa lama, sang ayah kembali membawa nampan dengan dua cangkir teh di atasnya. Aroma daun teh dan melati menyeruak hingga menusuk indra penciuman. Wangi, segar, dan menenangkan. Ayahnya meletakan nampan di meja. Menaruh satu cangkir di hadapan Selom dan satu dipegangnya. Mereka menyeruput dan saling melempar senyum.

“Segar, Pak,” ucap Selom dengan binar di mata bulatnya.

“Yang benar? Kemarin-kemarin Bapak gagal lo buat teh yang sedap. Mungkin karena Bapak buatnya dengan cinta jadi terasa begitu nikmat. Besok Bapak buatin lagi kalau Selom suka.”

Selom mengangguk. Mereka saling tertawa renyah.

“Ayok makan. Bapak sudah masak tumis kangkung dan goreng tempe. Masakan kesukaan Selom.”

“Yang benar, Pak? Pasti masakan Bapak enak. Kebetulan perut Selom udah berbunyi minta diisi.”

Sang ayah tersenyum dan mereka berjalan bersama menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur. Letaknya tepat berada di ujung paling belakang sebelum kamar mandi. Tiba di dapur. Kursi perlahan di geser pelan oleh sang ayah.

“Silakan duduk tuan putriku,” ucap sang ayah seraya menggerakkan tangan kanan mempersilakan.

Mendengar kata-kata ayahnya wajah Selom bersemu merah. Tanpa terasa santap makan telah usai. Selom beranjak merapikan piring dan meletakkan di bak kecil penuh air. Piring-piring itu dia letakkan untuk dicuci.

“Udah biar Bapak aja yang beresin,” ucap sang ayah seraya meraih kedua tangan Selom.

Dielusnya tangan itu perlahan. Kembali netra tua itu berkaca. Entah kali ini apa yang membuat ayahnya bermuram durja.

“Pak, kok nangis lagi. Kenapa?” tanya Selom diliputi rasa penasaran.

“Maafkan Bapakmu ini, Lom.” Jatuh sudah air mata sang ayah.
“Harusnya Bapak bisa jaga kamu. Tapi ... justru Bapak yang mencelakai kamu. Lihat tangan ini penuh luka dan kasar. Banyak jejak kesedihan di sana. Ini yang terlihat bagaimana dengan tubuhmu? Apa banyak luka yang Bapak ciptakan?” tanyanya sendu dengan suara serak parau.

“Cuma ini kok, Pak. Dulu di punggung Selom ada hanya beberapa. Tapi semua sudah hilang,” tawa Selom berusaha menenangkan sang ayah walau dia harus berbohong.

Luka-luka itu masih membekas di sana. Banyak keloid yang ditimbulkan olehnya. Namun, baginya luka itu telah sembuh kala sang ayah sudah kembali merengkuh dirinya. Tak ada kebahagiaan lain selain kasih sayang ayahnya keluarga satu-satunya di dunia.

Hari ini Selom begitu bahagia. Setidaknya kesedihan yang lalu kini telah berganti kesenangan yang tak pernah Selom bayangkan sebelumnya. Impian yang dia kira semu ternyata Allah kabulkan berkat doanya yang tak pernah putus menembus bumantara.

‘Allah memang benar jika kita menggantung dan berharap pada-Mu tak ada yang sia-sia. Semoga bahagia ini nyata dan bukan semu belaka. Aku bahagia Allah, Engkau telah melembutkan hati Bapak. Terima kasih, Allah.’ Selom mengelus kembali tangan ayahnya dan tersenyum.

“Selom bahagia, Pak. Bahagia. Terima kasih.” Selom beranjak menuju kamarnya.

Dipan kayu ini, kini menjadi saksi senyum bocah manusia yang kembali menemukan tempat perlindungan diri. Perlahan mata bulatnya memejam beralih ke alam mimpi.


Bersambung ....

Oppa I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang