SEPULUH

2.5K 128 0
                                    

Siapa yang sangka, kalau ternyata pusing yang kualami akhir-akhir ini adalah tanda-tanda kalau seorang bayi mungil telah tumbuh di rahimku. Aku sendiri pun tidak menyangka akan seperti ini. Walau sebenarnya aku sendiri pun tidak menggunakan alat kontrasespsi saat berhubungan dengan suamiku.

Tapi yang menjadi beban pikiranku adalah Dara. Dia masih sangat kecil, untuk segera mempunyai adik. Walau kenyataannya dia memang bukan anak kandungku. Tapi dia sudah kuanggap sebagai anak kandung.

Dan dalam keadaan terpaksa, kami harus mencarikan seorang pengasuh untuknya. Keadaanku yang sedikit lemah selama ngidam ini yang memaksanya. Aku tidak cukup kuat untuk mengasuh Dara di saat yang bersamaan.

Nasha, wanita yang kami pilihkan untuk mengasuh Dara. Sejauh yang kami lihat, dia cukup telaten. Usianya memang sudah cukup dewasa. Kurasa, dia pun sudah mempunyai pengalaman mengasuh bayi sebelumnya.

Kurebahkan tubuh lemahku di atas kasur setelah memastikan Dara terlelap di pangkuan Nasha. Rasanya belum bisa melepaskan Dara sepenuhnya, padahal mereka tidaklah kemana-mana. Sesekali aku masih mengangkatnya ke pangkuanku, ingin bermain bersama padahal tubuhku lemah.

Sementara Arjun sudah berangkat kerja sedari tadi. Walau tadinya ia merasa berat hati, tapi aku berhasil meyakinkannya kalau aku baik-baik saja. Lagi pula, bukan hanya aku seorang yang tinggal di rumah. Ada Nasha dan juga asisten rumah tangga, Sera.

Belum lama berbaring, ponselku berdering. Nomor telefon rumah papa. Darahku berdesir hebat. Tidak biasanya mereka menggunakan telefon rumah.

Aku mematung. Suaraku bahkan terasa habis. Tidak ada kalimat yang bisa kukeluarkan. Suara seseorang di seberang sana, yang adalah milik salah seorang pembantu, memberitahukan kabar yang begitu buruk. Tidak, tidak hanya buruk. Itu adalah kabar duka.

Tak lama kemudian, benda pipih di tanganku kembali berdering. Nama suamiku yang muncul di sana. Segera kujawab, walau aku tahu kalau dia pasti akan memberitahukan hal yang sama.

"Mama sudah pergi. Cepatlah bersiap, kita akan ke sana." Benar sekali dugaanku.

Tak menunggu waktu lama, aku bangun dari posisiku. Memaksakan tubuh lemahku untuk menyiapkan keperluan kami. Setidaknya dua atau tiga malam pasti akan tinggal bersama papa. Demikian juga dengan Nasha dan bi Sera.

Hanya beberapa menit hingga bunyi mobil suamiku terdengar di depan rumah. Dia telah sampai. Dengan terburu, dia mengangkat barang-barang bawaan kami. Dibantu oleh bi Sera. Sementara Nasha masih menggendong Dara.

Aku yang sudah lebih dulu masuk ke mobil, terlarut dalam lamunanku sendiri. Sosok mama mertuaku itu melintas dalam bayangan. Tidak menyangka kalau waktunya di dunia ini sudah habis. Dia telah pergi untuk selamanya. Kebenciannya terhadapku nyatanya tidak mampu membuatku untuk benci juga padanya. Apalagi belakangan ini dia telah berubah. Dia telah menjadi seorang mama mertua yang baik. Walau dia masih berusaha.

Air mataku jatuh tanpa permisi. Pada akhirnya, aku akan kehilangan dia. Dia tidak akan pernah lagi marah terhadapku. Semuanya telah berlalu, bahkan dalam waktu yang sangat singkat. Terlebih mengingat wanita itu tidak pernah mengeluhkan sakit. Ini terlalu mengejutkan. Di luar dugaan.

Kulihat wanita itu telah terbujur kaku di tengah ruangan. Wajahnya putih pucat. Seisi rumah duduk mengelilinginya. Bahkan para tetangga pun turut serta. Ikut berduka akan kepergian wanita yang bagi mereka pun terkenal cerewet dan sedikit usil.

Aku tertunduk lemah dalam dudukku. Kondisi badanku yang memang masih kurang fit, ditambah dengan menghadapi kenyataan menyedihkan ini. Air mataku lagi-lagi harus tumpah, tanpa mengeluarkan suara. Kupandangi wajah mama, yang pasti tidak akan bisa kulihat lagi esok hari.

The Second Story of Us (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang