ENAM

4.4K 270 10
                                    

Seiring dengan pertumbuhan Dara, papa dan Arjun juga memikirkan resepsi pernikahan yang atas bujukan papa akan dilangsungkan dua bulan lagi.

Berbagai penolakan memang dilakukan oleh mama bersama dua gadis kembarnya. Tapi papa yang berada di pihak kami selalu berhasil membungkam ketiganya. Bahkan papa tak membiarkan kami menjawab sepatah katapun.

Aku sampai kaget sekaligus merasa bersalah saat suatu ketika papa mengancam akan menceraikan mama jika masih berada pada pendiriannya. Hal yang akhirnya berhasil meruntuhkan mama.

"Jangan terlalu senang dulu. Kamu pikir aku akan membiarkan begitu saja Arjun jatuh dalam pelukanmu?" Kalimat itulah yang seringkali aku terima dari mama mertuaku itu.

Aku hanya bisa mengatakan kalau memang aku dan Arjun berjodoh, maka tidak akan ada yang bisa memisahkan kami kecuali yang Maha Kuasa. Tidak sekalipun aku merasa terganggu dengan segala ancaman yang dia berikan. Aku pernah baca kalau cinta yang akan jadi pemenang.

"Aku pulang, sayang." Sapaan Arjun terdengar dari depan rumah.

Aku yang masih mengganti popok Dara hanya tersenyum. Dan Dara yang seolah mengerti ikut tertawa senang.

"Hei, anak ayah apa kabar?" sapanya pada Dara.

Tangan mungil Dara terangkat untuk menyentuh pipi ayahnya. Membuat Arjun tersenyum senang. "Kangen sama ayah ya?" tanyanya, yang tentu saja tak bisa dijawab oleh Dara dengan kata-kata. Bayi mungil kami hanya bisa menggerak-gerakkan tangannya yang sepertinya geli terkena bekas cukuran di dagu ayahnya.

Secepat kilat, Arjun juga memberikan kecupan di pelipisku.

"Bagaimana hari ini, mas? Apakah semuanya lancar?" tanyaku sambil mengakhiri kegiatanku dengan menutupi tubuh mungil Dara.

"Hm, lancar meski lumayan menguras tenaga." Arjun menjatuhkan dirinya di sebelah Dara. Menatap kosong ke langit-langit kamar berwarna putih.

"Ya sudah, mas mandi dulu sana, biar segar. Aku akan menyiapkan makan malam," kataku seraya bangkit dari dudukku.

Bukannya membiarkanku berlalu, ia malah menarikku. Membuat tubuhku limbung dan berakhir dengan mendarat di atas tubuhnya. Kedua tangannya segera mengikat tubuhku erat.

"Biarkan aku memelukmu sebentar. Lagipula ini juga masih terlalu cepat untuk makan malam," katanya memberi alasan.

Aku mendongak untuk menatap wajahnya. Terlihat cukup lelah. Tapi, apa dengan posisiku yang berada di atas tubuhnya seperti ini tidak membuatnya semakin lelah?

"Biarkan aku di samping mas saja. Kasihan mas sudah cape, aku timpa lagi," kataku mencoba bergerak dalam pelukannya.

Dia mengizinkanku untuk berpindah ke sebelahnya. Tapi tak sedikitpun melepaskan pelukannya.

Tangan kiriku yang bebas bergerak untuk menyentuh rahangnya. Merasakan sensasi geli yang mungkin Dara rasakan tadi. "Apa ada masalah?" tanyaku pelan.

Arjun menggeleng pelan. "Tidak ada, sayang. Aku hanya ingin memelukmu saja. Dengan begini, lelahku sepertinya langsung hilang. I love you." Dikecupnya keningku lembut.

"Ya sudah, kalau lelahnya sudah hilang mas mandi saja."

Arjun tertawa pelan. "Kamu ini, sebentar lagi memangnya kenapa. Mas masih kangen sama kamu." Semakin dieratkannya pelukannya, membuat tubuhku tenggelam dalam kungkungan tubuh atletisnya.

Ya sudahlah. Aku mengalah saja. Seperti ini juga nyaman, selama Dara juga mengizinkan kami untuk melepas rindu sejenak.

~~~

Usai makan malam, aku langsung menuju kamar. Menemani Dara yang bisa saja terbangun dan ingin minum susu. Sementara Arjun masih harus menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa dibawa pulang dari kantor.

Tapi apa yang aku lihat di kamar membuat jantungku berhenti berdetak. "Mas Arjun...!" Aku berteriak sekencang mungkin untuk memanggil suamiku. Air mata sudah berlomba-lomba berjatuhan dari kedua bola mataku.

Kedua kakiku juga sudah tak mampu menopang berat tubuhku. Aku terduduk lemah di lantai yang dingin, sambil memegangi salah satu tiang box bayi Dara.

"Mas Arjun..." Tangisku semakin menjadi.

"Ai, ada apa?" Sosok suamiku akhirnya muncul juga. Dan sepertinya ia juga langsung menyadari apa yang sedang terjadi karena ia langsung menelusuri seisi kamar.

Ya, Dara menghilang. Bayi kami tidak ada di dalam box-nya, padahal hanya kami tinggal untuk makan malam yang hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja.

Tangisanku semakin menyesakkan dada. Otakku tak lagi bisa berpikir. Yang bisa aku lakukan hanya menangis, menangis dan menangis. Bagaimana mungkin Dara bisa menghilang dari box-nya?

Tak menemukan jawaban, Arjun mendekatiku lagi. Membantuku untuk bangun dan berusaha menenangkanku.

"Dara bagaimana, mas? Dia masih terlalu kecil," rengekku. Aku juga tak habis pikir, siapa yang tega menculik Dara yang belum mengerti apa-apa.

"Mas pasti akan menemukannya. Kamu tenangkan diri dulu," bujuknya.

"Kita lapor polisi saja, mas. Ini penculikan namanya. Dara... Ya ampun..." Tubuhku terhempas di atas kasur. Apa yang harus aku lakukan?

"Iya, iya. Apapun yang terjadi, mas pasti akan menemukan Dara kembali."

"Dara... Seharusnya ibu tadi bersama kamu terus. Seharusnya ibu tidak meninggalkanmu sendirian di kamar. Maafin ibu, Dara. Maafin ibu. Apa yang harus ibu lakukan untuk menemukanmu?" Aku terus saja meracau.

Arjun sudah menepi dengan ponsel yang berada dalam genggamannya. Sesekali ditempelkan ditelinga dan berbicara untuk beberapa saat.

"Bagaimana, mas?" Aku tidak sabaran untuk menanyakan kalimat itu saat suamiku mendekat kembali.

"Mas pasti akan menemukannya." Satu tangannya mengelus rambutku.

Aku segera bangkit dari dudukku. "Mas, kita harus mencarinya sekarang juga. Kalau seseorang menculiknya, seharusnya mereka belum jauh dari rumah. Kita harus mencarinya, mas."

"Ai, ini sudah malam. Kita berjalan menyusuri sepanjang jalan pun tidak akan ada gunanya. Mas sudah meminta bantuan dari teman-teman mas. Mereka orang-orang terpercaya dalam hal seperti ini, dan mereka juga sudah bergerak untuk membantu kita."

"Lalu kita harus apa, mas? Bagaimana mungkin kita hanya diam dan menunggu saja di sini? Dara di luar sana sedang terancam, mas." Tangisku semakin kencang lagi membayangkan keadaan Dara yang tak aku ketahui seperti apa. Mungkin saja dia kedinginan di luar sana, atau mungkin ingin minum susu. Atau bisa saja popoknya sudah penuh.

Arjun memelukku erat. Menciumi puncak kepalaku. "Ai, kamu percaya sama mas kan? Mas janji akan menemukan Dara bahkan sebelum matahari terbit besok. Mas janji. Kamu tau, mas juga memikirkan keadaan Dara. Mas juga sayang sama Dara, sangat sayang."

"Dara..." isakku lagi.

"Lebih baik kamu berdoa semoga Dara tidak nakal di luar sana," lanjutnya.

Tbc
Vote & comment

Nah loh, Dara kemana?

The Second Story of Us (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang