Seorang gadis berumur 17 tahun tiba-tiba memasuki ruanganku tanpa permisi. Ia terengah-engah dan sulit mengatur nafasnya.
Aku mencoba menenangkan dan memberinya segelas air. Perlahan ia menenangkan diri dan duduk tepat di hadapanku.
"Apa yang bisa ku bantu dengan kedatanganmu kemari?". Aku menatap wajahnya lekat-lekat dan memahami apa yang sedang terjadi.Gadis tersebut hanya terdiam dan menunduk. Aku yang kebingungan melihat tingkahnya hanya menggigit bibir atasku.
"Ada apa? Katakanlah...". Pertanyaanku hanya dijawab dengan tatapan sendu. Tak lama kemudian, Ia menitiskan air mata yang sepertinya tertahan cukup lama."Dok, jam istirahat akan diperpanjang selama 15 menit. Dan ini bubur yang dokter pesan". Seorang perawat masuk ke ruanganku. Seketika tatapannya menjadi aneh ketika melihat gadis tersebut.
"Dok para medis dilarang keras untuk melayani pasien yang tidak menggunakan perlengkapan sesuai aturan".
"Dia bukan pasien.."
"apapun statusnya tidak diperbolekan dok". Perawat tersebut memotong penjelasanku dan memberi peringatan lagi. Aku memahami apa yang dipikirkan perawat. Virus yang menggemparkan dunialah yang ia khawatirkan. Aku membawa gadis itu keluar ruangan untuk memberinya hand sanitizer dan masker. Tatapannya masih sama, memendam kesedihan yang cukup lama. Aku hanya tersenyum tipis membalas tatapan itu."Aku membutuhkan pertolonganmu anggara. Aku tahu salah bagiku menemuimu disaat seperti ini. Namun,hanya ini yang bisa aku lakukan". Ia berdiri dan membelakangiku. Tatapannya kosong menatap kursi-kursi yang kosong
"Kenapa takdir selalu membawaku yang berujung pada kesedihan? Apalagi harus menghadapi sejuta kerumitan di zaman ini. Sering kali aku menyalahkan sesuatu yang menjadi topik seluruh dunia". Lanjutnya.
"Kenapa begitu? Semua itu takdir. Tuhan yang menetapkan demikian. Manusia tidak bisa berkutik ketika takdir dibiuskan ke dunia".
"Terkadang, diri ini membenci takdir. Ingin bagiku berdiri diatas jembatan yang diapit oleh takdir indah dan takdir yang kubenci".
***Seorang ibu dan anak lari terburu-buru ditengah keramaian kota. Sang anak merasa geli dengan orang-orang di sekitarnya yang terburu-buru sama sepertinya.
"Cepatlah, jika tidak kau akan ketinggalan bus". Sang ibu terus mengomeli anaknya.Sesampainya di halte sang anak menyalami dan mencium pipi sang ibu.
"Hati-hati dijalan nak". Sang anak mengangguk sebagai balasan untuk sang ibu.
"Ibu..". Panggil sang anak ketika ibu hendak meninggalkannya.
"Ada apa nak?". Ibu pun menoleh untuk memenuhi panggilan anaknya, aril.
"Aku ingin sesuatu". Matanya berbinar-binar menginginkan sesuatu. Sang ibu pun telah mengetahui keinginan putrinya itu.
"Kue bolu?". Ibu mengeluarkan sepotong kue bolu dari tas kecilnya. Dengan girang aril mengambil kue bolu tersebut.
"Kau tidak akan menunggu terlalu lama. Sebentar lagi busnya akan segera datang. Ibu akan segera pulang karna adik kecilmu belum sarapan pagi ini". Aril tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban.Aril duduk di halte tempat ia menunggu kedatangan bus. Tak lama kemudian, terdengar suara ledakan dari arah selatan. Orang-orang lari kebingungan. Berbeda dengan aril yang acuh terhadap keadaan.
Suara ledakan tersebut semakin lama semakin mendekat. Orang-orang berhamburan dari arah selatan. Mereka lari dan berdesak-desakan melewati halte. Aril yang tadinya acuh kini ia ikut berlari mengikuti orang-orang yang berlarian.
Tak disangka, aril adalah manusia terakhir dari manusia-manusia yang berlarian. Dibelakangnya terdapat perusuh berkulit hitam yang sengaja membuat kekacauan kota. Aril berusaha lari secepat mungkin. Batinnya ketakutan dan raganya ingin menggapai tangan orang-orang yang ada di depannya.
"Aril...!!!". Teriak sang ibu dari kerumunan orang-orang yang berlarian.
"Ibu..jangan mendekat. Berlarilah! Aku akan berusaha".Salah satu perusuh telah menyiapkan pistol untuk menembak orang-orang yang berlarian. Dan sasaran pertama adalah aril. Ia yang mengetahui bahwa mereka membawa senjata tajam pun segera mempercepat larinya dan menyelinap diantara manusia-manusia.
Perusuh pun telah meluncurkan tembakan pertamanya yang mengenai orang di depan sana. Aril yang berbadan kecil mempercepat larinya untuk menemui ibunya yang berada di barisan depan.
Aril sedikit memperlambat lajunya untuk memperjelas pandangannya. Ia ingin melihat seseorang yang tergeletak di atas aspal akibat tembakan perusuh. Setelah mengetahui siapa yang tertembak, kaki aril menjadi lemas. Ditengah-tengah kerusuhan ia bersimpuh di samping jasad seseorang yang amat ia cintai. Aril tak percaya tapi ini adalah kenyataannya.
"Ibu...". Panggilan itu lirih diucapkan anak berumur 6 tahun tersebut.
"Aril, menyingkirlah dari tempat itu". Seseorang diatas sepeda menarik kerah belakang aril.Kini para perusuh menembak dari segala arah. Dan hampir saja aril tertembak karna berdiam diri.
"Aril! Cepat naik".Wajah aril tampak pucat. Seluruh tubuh menjadi lemas. Ia mulai kehilangan konsentrasinya karna penglihatan yang kabur.
"Aril!! Peganglah pundakku!!".
"Ibu..". Lirih aril memanggil sang ibu, membuat seseorang tersebut memperlambat lajunya dan mulai kehilangan konsentrasi.
"Jangan hilangkan konsentrasimu anggara...jangan hiraukan aku...". Seseorang itu menghembuskan nafas panjang dan mempercepat lajunya.Para tentara dan polisi bersatu melawan perusuh tersebut. Setelah kondisi dirasa aman aril dan anggara pergi ke rumah aril. Sesampainya di rumah aril, suara adik kecilnya terdengar sampai luar ruangan. Dengan segera ia menghampiri sang adik dan menimang dengan menangis tersedak-sedak.
"Tenanglah ril". Ucap anggara untuk menguatkan.
"Bagaimana aku tenang jika kondisi seburuk ini?".Anggara menghela nafas panjang melihat kondisi aril. Laki-laki berusia 12 tahun ini mengusap pundak aril.
"Bersyukurlah karna kau masih memiliki ayah. Sekalipun kau tak tau bagaimana keadaannya setidaknya itu setitik harapan". Aril memandang anggara dengan tatapan bahwa apa yang dikatakan anggara adalah sesuatu yang benar.
"Lebih baik sekarang kita pergi ke rumahku. Disana ada ibu".Anggara adalah teman aril sejak kecil. Mereka sering menghabiskan waktu bersama sejak kecil meski umur mereka terpaut 6 tahun.
Mereka berjalan melewati rumah demi rumah. Tidak ada percakapan diantara ke duanya.
"Bukankah kau ke sekolah bersama ayahmu?". Aril membuka percakapan antara keduanya.
"Jawaban itulah yang aku persiapkan. Jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Apakah aku akan menjawab bahwa ayah tertembak peluru perusuh? Dan akhirnya ibu akan pingsan dan serangan jantungnya akan semakin parah karna mendengar jawabanku? Jika tidak tepat maka jawaban apa?". Anggara mengatakan semua itu dengan tatapan kosong. Aril yang mendengarnya pun terkejut dan ikut bersedih.Dari kejauhan ibu anggara melihat putranya yang menuntun sepeda dan aril yang menggendong adik bayi yang membuatnya bertanya-tanya.
"Ngga...? Apa yang terjadi?". Ibu anggara melihat putranya yang lusuh dengan rambut acak-acakan membuatnya semakin bertanya-tanya.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Dimana ayahmu?". Ibu anggara menepuk-nepuk pipi putra satu-satunya itu agar menjawab pertanyaannya.Aril menatap ke-duanya dengan tatapan sendu. Tak disangka, 1 jam yang lalu baru saja ia menyapa ayah anggara yang mengantar putranya itu. Dan saat ini semuanya berbanding terbalik.
***
Ibu anggara mencoba tabah dan sabar setelah mengatahui semuanya. Sementara anggara memilih untuk menyendiri.
Pikirannya berputar-putar mencari jalan keluar. Ia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur untuk menemui aril. Ia ingin mengutarakan pikirannya akan pekerjaan yang ia pikirkan.
Ia menghampiri aril yang sedang melamun di halaman rumah. Anggara yang sedikit ragu untuk menemui aril yang bersedih, kini memantapkan langkahnya untuk menghampiri gadis berumur 6 tahun tersebut.
"Rill...?". Anggara pun duduk di samping gadis tersebut.
"ya?".
"Keadaan parah ini tidak akan selesai jika kita tidak mencari jalan keluar. Diumur kita yang masih sangat dini ini aku memintamu untuk berfikir dewasa. Aku ingin kau percaya penuh kepada ibuku agar beliau merawat adikmu. Sementara kau dan aku bekerja sebagai pedagang".
