Pagi itu, Nadira melangkahkan kaki rampingnya menyusuri trotoar Sudirman dengan langkah kaki tergesa. Gerimis kecil yang turun tanpa diundang memaksanya harus berjalan lebih cepat sambil berusaha menarik keluar payung lipat dari dalam totebagnya.
Hari ini Nadira sengaja tidak membawa mobilnya dan memilih berangkat naik bus transjakarta karena sedang malas berkutat dengan kemacetan Jakarta. Nadira juga sedang tidak punya 'supir pribadi' yang bisa mengantar jemputnya karena gadis itu baru saja memutuskan hubungannya dengan Kino dua hari lalu. Mereka tidak officially dating, hanya saling flirting dan jalan bareng—plus make out—tetapi kemudian Nadira memilih untuk menjauh ketika Kino mengajaknya pacaran. Nadira masih malas terikat, masih ingin bebas jalan dengan siapa saja tanpa merasa bersalah. Meski Nadira dekat dengan banyak orang, saat punya pacar gadis itu tidak flirting dengan yang lain. Playgirl juga harus punya rules.
Gerimis semakin deras, orang-orang yang semula berjalan santai mulai panik karena serangan basah mendadak, beberapa orang sibuk berlarian mencari perlindungan tetapi ada juga yang tidak peduli dan tetap berjalan tanpa masalah. Nadira bersyukur ada gunanya ia membawa payung lipat kecilnya itu di dalam tas.
Derap langkah kaki bersahutan dengan suara becek terdengar dari arah belakang Nadira, disusul dengan kemunculan seorang pria bertubuh tinggi yang tiba-tiba saja merunduk dan masuk ke bentangan payung abu-abu miliknya. Hal itu membuat Nadira tersentak sehingga menghentikan langkahnya.
"Maaf, apa saya boleh ikut payungan? Kantornya di Life Care, kan?" tanya lelaki itu sambil menunduk menatap Nadira. Nadira hanya memakai flatshoes ruby hari itu sehingga membuat tubuhnya cukup pendek di sebelah lelaki tersebut.
"Hah?" Merasa tidak enak untuk menolak, tetapi Nadira juga ragu untuk mengizinkan. Bagaimana kalau lelaki ini punya niat jahat? Lagipula bagaimana dia bisa tahu di mana kantor Nadira? Creepy.
"Saya nggak sengaja lihat tulisan di tas kamu." Lelaki itu menunjuk ke totebag putih yang disandang Nadira. Tas berbahan canvas itu memang Nadira dapatkan dari acara kantornya, lengkap dengan lambang dan nama kantor. "Tapi kalau nggak boleh, it's okay," lanjut lelaki itu sambil mundur keluar dari payung Nadira karena gadis itu masih juga belum memberi izin.
"Mas kerja di Life Care juga?" Nadira menatap lelaki itu lebih seksama. Wajah lelaki itu tidak bisa dikatakan luar biasa, jika hanya menatapnya sekilas. Tetapi jika diperhatikan lebih seksama, mungkin siapapun tidak akan bisa mengalihkan pandangan. Karena dilihat beberapa kalipun tidak membosankan.
Lelaki itu tersenyum sebagai jawaban. Satu kata yang langsung menggambarkan senyum lelaki ini adalah manis. Nadira juga tidak tahu bagaimana cara mendefinisikan kata manis itu sendiri tetapi hanya kata itu yang bisa Nadira asosiasikan dengan senyuman lelaki itu. Dan kalau benar lelaki manis ini kerja di kantornya, bagaimana bisa Nadira melewatkannya?
Tetapi meski Nadira merasa tidak pernah bertemu dengan lelaki itu sebelumnya, anehnya Nadira juga merasa wajah itu agak familiar.
"Jadi saya boleh bareng?" Lelaki itu memecah lamunan Nadira. Membuat gadis itu sedikit tergagap sebelum mengangguk dan memberikan ruang untuk lelaki itu berdiri di sebelahnya. "Biar saya yang pegang payungnya." Lelaki itu pun mengambil alih gagang payung itu dari tangan Nadira sebelum gadis itu sempat protes.
Mereka berjalan bersisian menyusuri trotoar hingga mulai memasuki kawasan kantor tanpa bicara. Benar-benar hanya berjalan di bawah payung dengan ditemani bunyi hujan yang membentur pavling di bawah mereka hingga mereka sampai di lobi gedung Life Care.
"Terima kasih." Lelaki itu mengucapkan terima kasih dan tersenyum kecil sebelum berlalu meninggalkan Nadira tanpa bicara apa-apa lagi.
Baru kali ini Nadira mendapatkan perlakuan yang agak... cuek? Memang sih Nadira tidak merasa dirinya sewow itu untuk selalu diperlakukan istimewa oleh lawan jenis. Tetapi setidaknya, Nadira tidak pernah ditatap sedatar itu seolah Nadira hanya sebatang pohon di pinggir jalan yang tidak menarik. Nadira tidak pernah merasa dirinya adalah wanita tercantik di Life Care, tetapi Nadira cukup percaya diri kalau wajahnya tidak mungkin cukup untuk dilihat dalam sekali lirik saja. Bahkan sesama perempuan pasti akan melirik Nadira dua kali karena parasnya.
"Gue harus tahu cowok itu dari lantai berapa dan divisi mana!" Nadira mempercepat langkahnya menuju ke dalam gedung kantor. Lelaki itu ternyata baru akan mengetap id card pegawainya di gate. Sayangnya, langkah Nadira kalah cepat karena lelaki itu lebih dulu mencapai lift saat Nadira baru menempelkan kartu miliknya agar gate terbuka.
Satu yang Nadira sadari tentang lelaki itu, he's one of executive. Terlihat jelas ketika lelaki itu masuk ke dalam lift yang hanya diperuntukkan untuk para anggota direksi alias pejabat kantor. "Tapi... emangnya anggota direksi ada yang semuda itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss the Boss [SUDAH TAMAT di DREAME]
Любовные романыI kiss the boss and I like it. Nadira Almeera telah lama dikenal sebagai predator laki-laki tampan nomor satu di kantor. Tidak ada satupun pria tampan di Life Care yang lolos dari pesonanya. Mulai dari jadi pacar, teman jalan, supir, ATM berjalan, t...