"You're my first love Dad."
•••"KAKAAK CEPET KELUAR WAKTUNYA MAKAN! BACA BUKU MULUU!" Teriakan membahana milik adikku mulai berkumandang. Beginilah keluargaku jika weekend tiba, kami selalu sempatkan waktu untuk berkumpul bersama, bersenda gurau dan bercerita bersama.
Disaat yang lain memiliki keluarga yang kurang harmonis, aku dan Lily beruntung karena memiliki keluarga hangat juga harmonis. Jika ada masalah antara Ayah atau Ibu, mereka lebih memilih membicarakan masalah baik-baik didalam kamar daripada diruang keluarga yang seharusnya diperuntukan untuk berkumpul bukan untuk bertengkar.
Aku menyukai cara Ayah dalam menyikapi masalah dengan Ibu, tidak ada emosi hingga terhindar dari abusive relationship baik lisan ataupun fisik. Bagi Ayah, ia harus menjaga ucapan dan juga tangan agar tidak kasar pada Ibu, sebab anak-anak Ayah keduanya perempuan. Ayah tidak ingin sebuah karma berbalik pada kedua anak perempuannya hingga akhirnya sebuah penyiksaan didapatkan baik lisan ataupun fisik.
Beliau adalah Ayahku dan Lily. Cinta pertama kami saat kami lahir ke dunia.
Ah Ayah.. Adakah sosok laki-laki lain yang seperti dirimu?
Akupun menyelipkan pembatas novel di halaman 237, kemudian menutupnya dan kutaruh diatas nakas, tak lupa pula sebelum makan bersama aku menaruh kacamata bacaku.
Saat membaca buku ataupun novel, aku selalu memakai kacamata baca milikku yang kubeli tepat saat gaji pertamaku keluar. Kalian tau bagaimana rasanya? Itu sangat mengagumkan, karena akhirnya aku bisa membeli sesuatu dengan hasil kerja sendiri, bukan hasil meminta dengan orangtua.
Dengan ringan ku langkahkan kaki menuju tempat dimana yang lain berkumpul sambil bersenandung pelan, My heart will go on lagu yang saat ini ku senandungkan dengan pelan. Aku menyukai lagu itu, sangat.
Di tikar berwarna cokelat, keluargaku sudah berkumpul, disana ada Ayah, Ibu, dan adikku---Lily.
Rumah kami sederhana, hanya berlantai satu. Ayah membeli rumah ini setelah lima tahun pernikahannya dengan Ibu. Rumah sederhana namun didalamnya terdapat banyak kehangatan, hingga aku dan Lily tidak merasa kurang sedikitpun.
Aku lebih memilih hidup sederhana tapi aman, nyaman, tentram, damai, dan hangat daripada hidup bergelimang harta tetapi sesama anggota keluarga saling acuh, tak peduli, tak ada kedamaian ataupun kenyamanan didalamnya.
Di rumah ini tidak ada banyak ruangan, disini hanya ada dua kamar tidur dengan masing-masing kamar mandi didalamnya. Kamar utama milik Ayah dan Ibu, dan yang satunya kamarku dan Lily.
Ada ruang tamu dekat pintu masuk, ukurannya tidak besar tapi cukup untuk menerima tamu sekitar empat sampai lima orang. Ada ruang keluarga untuk kami bersantai tiap ada waktu senggang. Disini kami hanya punya satu TV dan itu ada di ruang keluarga. Kalau ada pertandingan sepak bola, Ayah, Ibu, Aku, dan Lily pasti kumpul bersama untuk menonton. Kami penggemar sepak bola.
Ayahku benar-benar merancangnya dengan sebaik mungkin, benar kan?
Ruang makan memang dibuat Ayah dan Ibu agar duduk lesehan, tidak memakai meja ataupun kursi makan, selain harganya mahal, ruangannya pun tidak cukup untuk menampung meja dan kursi. Jadi selain menghemat uang, juga menghemat ruang hehe.
Aku duduk disebelah Lily, sedangkan Ayah dan Ibu duduk di seberangku dan Lily.
Sayur asem, ikan bandeng, ikan kembung, ikan asin, tahu, tempe, pete, dan jangan lupa juga ada sambel terasi yang masih bertengger manis di atas cobek. Ya Allah, nikmat banget sih ini, enggak ada tandingannya! Chef Juna juga kalah sama masakan Ibuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAISY
Teen FictionFrom: Alvina Daisy Quinta. To; Bali, Indonesia. Aku ucapkan terimakasih, Awal mula yang ku tolak pergi ke Bali karena segan, kini menjadi ungkapan beribu terimakasih. Awal mula hanya ingin berlibur, tetapi hatiku ikut melebur, bersama suka, bersama...