Hujan deras membungkus lapangan sekolah. Satu-persatu tetes hujan turun, namun terlihat seperti turun bersamaan. Kilat dan gemuruh guntur ikut muncul, menambah suasana suram lapangan sekolah.
Cewek berkulit sawo matang dan rambut dikuncir kuda sedang berdiri dengan wajah tertekuk. Meira Shasla namanya, dari kelas IPA 4. Dia membenci hujan. Hujan selalu membuatnya sedih.
Meira menghela napas pelan. Dia beranjak pergi dari tempatnya, menuju kelasnya yang berada hampir di ujung lorong sekolah. Sambil melangkahkan kaki lesu, ia menatap murung setiap tetes hujan yang turun menuju ke tanah.
Dikelasnya, Meira menemukan gerombolan manusia sedang berbincang sambil sesekali tertawa keras. Yeva, Dirga, dan Rasya namanya. Mereka adalah sahabat Meira.
"Meira! Sedih banget. Mantan udah selangkah lebih maju, ya?" ujar Yeva bercanda. Yeva menunjukkan mimik muka ceria, berusaha menghibur Meira.
"Hm. Gue tahu apa yang bisa buat lo bahagia," Yeva merogoh kolong meja Meira, yang membuat Meira menaikkan alis kanannya.
"Ini, ada paket dari abang 'pergi-makan'."
Meira sontak ikut merogoh kolong mejanya. Ia menemukannya lagi."Gak. lo jangan sedih, langit jadi ikutan sedih,"
Meira memperhatikan secarik kertas yang ditaruh seseorang di kolong mejanya, ditemani nasi bungkus dan susu stroberi kesukaannya. Meira kemudian tersenyum lebar. Suasana suram di wajahnya berubah 180 derajat.
"Ceilah, dapet kalimat penyemangat lagi. Selamat, ya," Rasya berjabat tangan dengan Meira main-main, yang dibalas Meira dengan hanya berdiri kaku. Wajahnya merah padam, tanda bahwa ia sedang tersipu malu.
"BUAT YANG NGIRIMIN MEIRA MAKANAN, MAKASIH!" tanpa tahu malu, Dirga berteriak hingga suaranya terdengar di seluruh penjuru kelas. Hal itu tentu saja membuat Meira lebih malu lagi. Namun malu yang ini berbeda, malu dikarenakan sahabat gilanya ini.
Meira kembali menatap lamat secarik kertas itu. Akhir-akhir ini, kertas putih itu selalu berdatangan. Entah saat ia bersedih, marah, ataupun penat. Kertas itu juga biasanya berisi ucapan selamat pagi, ataupun ungkapan cinta. Anehnya, kertas itu tidak ditulisi nama sang pengirim.
Meira mengambil pulpen yang tergeletak begitu saja di atas mejanya. Meira membalikkan kertas yang tadinya ia genggam erat."Makasih, siapapun lo."
Meira tersenyum singkat saat membaca ulang tulisannya. Kenapa ia bisa merasa senang hanya dengan membaca kalimat pendek itu?
--^---^--
"Ra, Ryan akhir-akhir ini sering ke kelas kita, loh,"
Meira membalasnya dengan menaikkan salah satu alisnya.
"Jangan-jangan, dia yang sering ngasih lo makanan, atau kertas aneh itu?"
"Uhuk!" ucapan asal dari Rasya membuat Meira tersedak. Dengan cepat, ia meminum air mineral yang dipesannya tadi.
"Mulut dijaga, woi," ujar Yeva. Salah satu tangannya menepuk punggung Meira.
Rasya dengan acuh hanya menghendikkan bahu. "Kan, gue cuman nebak-nebak aja,"
Meira sibuk dengan pikirannya sendiri."Ryan? Ketua klub basket dari kelas IPA 2, ya? Berarti, dia sekelas dengan Dirga?"
Oke. Sepertinya dia harus mencari info tentang Ryan lebih dalam lagi.-^---^-
Hari berganti. Meira sudah mendapat banyak informasi tentang Ryan. Sepertinya, ia sudah jatuh pada Ryan.
"Guys, lihat sana, gih. Yeva dekat ya, sama Ryan." Dirga menunjuk ke arah pintu kelas. Yeva dan Ryan sedang bercengkrama. Yang membuatnya aneh adalah, bagaimana bisa mereka bercengkrama sesantai itu?