4. Ending

12 2 1
                                    

By : Catrella2

Berdiri di lorong tempat menunggu kereta, seorang gadis sedang asyik menyenandungkan musik dari earphonenya.

Surai sewarna tanah itu tertiup angin, maniknya tersembunyi di balik kelopak mata. Wajahnya terkena sinar cahaya matahari siang. Suara bising dari kereta yang mendekat tak mengalihkan fokusnya. Semuanya berjalan seperti itu sebelum tepukan halus mendarat di pundak kanannya. Matanya terbuka, ia menoleh ke arah kanan. Senyumnya terkembang. Ia tepat waktu rupanya.

“Maaf, aku terlambat,” ucap pemuda itu sembari mengatur napasnya. Gadis itu menggeleng, menyatakan bahwa ia tak terlambat.

“Ayo, kita pergi sekarang,” ajaknya saat kereta berhenti di depan mereka. Sang pemuda mengikuti gadis itu masuk ke dalam kereta. Kereta penuh memori, kereta yang selalu menjadi pengingat hubungan mereka. Namun kini, mereka hanya bisa menaikinya untuk yang terakhir kali.

***

“Ingat saat kita baru saja memulai hubungan?” sang gadis angkat suara. Ia memandang pemuda yang memasang senyum tipis itu. Ah, bagaimana dia bisa melupakan momen seperti itu?

“Tentu saja, aku ingat,” ujarnya sembari memandang ke arah jendela kereta di hadapannya. Menerawang semua momen yang sempat mereka alami.

Mereka menaiki kereta ini untuk kencan beberapa waktu lalu. Kebanyakan pasangan memilih tempat kencan seperti restoran dengan makanan terbaik, atau taman hiburan. Akan tetapi, mereka memilih menaiki kereta hingga sampai ke tujuan akhir.

Pemandangan laut menyambut pandangan mereka, sewaktu harus turun dari kereta. Biru cerah yang memanjakan mata. Gadis di sampingnya itu langsung melangkahkan kaki dengan cepat, berlari dengan hati yang riang gembira. Tawa pecah di antara mereka. Sang gadis melepas sepatu yang dia gunakan dan kembali berlari kecil menuju pasir putih di pesisir pantai.

Gaun selutut yang memiliki warna seindah laut mengembang karena angin yang berembus. Memang tidak kuat, tetapi, cukup untuk menaikkan gaunnya.

Sang pemuda yang berjalan di belakangnya tersenyum tipis, senang jika sang gadis merasakan kebahagiaan walau hanya sebatas melihat laut.

“Waaah, ini pertama kalinya aku melihat laut.” Manik segelap arang sang gadis itu memandang dengan semangat, klise. Namun hal sederhana itu membuat sang pemuda semakin melebarkan senyumnya.

“Bagaimana jika setiap tahun kita ke sini lagi?” pemuda bersurai arang itu bertanya dengan nada lembut. Sang gadis yang mendengarnya mengangguk semangat.

“Tentu saja!” tapi, senyumnya tak bertahan lama kala anak rambutnya menghalangi penglihatan. Ia berusaha menyingkirkannya, tapi angin laut seakan tak mengizinkan ia berlaku demikian.

Sebuah tangan dengan warna sedikit kecokelatan menyentuh pipinya, menyingkirkan anak rambut nakal itu, menyelipkannya di balik daun telinga sang gadis. Sebuah rona merah muncul di pipi putih gadis itu, malu. Ah, ini tampak seperti adegan di salah satu game otomenya.

“Te-terima kasih ....” ujarnya lirih, tapi masih bisa di tangkap oleh pendengaran pemuda itu.

“Sama-sama.” Ia tersenyum lebar, hal itu membuat rona merah makin tercetak jelas. Sang pemuda yang melihat rona itu tiba-tiba meletakkan telapak tangannya di dahi sang gadis.

“Tidak panas kok ....” gumamnya kemudian menarik tangan dari posisi yang sebelumnya. “Apa mau pulang sekarang saja?” Ia bertanya setelah ada jeda di antara mereka. Perasaan tak enak mulai melingkupinya kala melihat rona merah di pipi gadisnya itu. Takut, jika ia terserang demam akibat udara laut.

April Project - RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang