5. Terimakasih

16 3 1
                                    

"Ayah tau tidak, besok aku udah masuk sekolah, "

"Anak ayah udah besar ternyata, besok ayah anterin yah,"

Rani memeluk Ayahnya begitu erat, rasanya ia sudah tidak sabar menanti hari esok.

"Ya udah, bobok yuk. " Ayah mengelus lembut kepala Rani.
~~
"Aargghh!" Rani berteriak frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan brutal.

Ting tong

00.00

Jam antik berukuran besar itu berbunyi begitu nyaring, memenuhi segala penjuru rumah. Memecah keheningan ditengah malam.

Cklek!

Suara pintu terbuka, disambut dengan teriakan menggelegar Rani.

"Shut! Ini ayah nak," Ayah perlahan mendekati ranjang Rani--Rani duduk di atasnya.

"Ayah?" Rani berusaha memfokuskan pandangannya, beruntung lampu kamar Rani tidak pernah dimatikan.

"Ia sayang, ini ayah," Ayah memandang penampilan Rani dari atas ke bawah "kamu belum tidur? Ini udah malam loh, kan besok sekolah," Dahi itu berkerut, tidak biasanya Rani seperti ini.

Bukannya mendapat tanggapan, yang ada malah air mengalir dari mata Rani. Semakin lama semakin deras, diiringi dengan isakan. Dengan sigap Ayah mendekap tubuh ramping Rani.

"Kok nangis, kenapa? Cerita sama ayah,"
Rani menghentikan isakannya sejenak, "nggak tau, dari tadi perasaan nggak enak terus. Belum lagi pas liat ayah, pengen nangis,"

"Lah? Muka ayah ngeremin ya?" Ada kekehan diakhir kalimat.

Rani menggeleng.

"Ya sudah, ayah temani," Ayah merapikan tempat tidur Rani, kemudian merebahkan tubuhnya disusul oleh Rani.
~~
"Ran. Bangun nak,"

"Bentar bun. Masih ngantuk,"

"Udah jam 6.30 loh, nanti telat."

"Biarin,"

"Ayah, rani ngak mau bangun!" Sepertinya bakat suara menggelegar Rani diwariskan dari sang Bunda.

Tak lama kemudian Ayah datang, dengan pakaian santai rumahan.

"Biar ayah aja, bunda ke bawah gih siapin makan," Bunda hanya menggangguk.

"Hey, bangun. Anak ayah yang cantik, manis," ayah mengelus lembut kepala Rani.

Rani menarik selimutnya--menutupi seluruh tubuhnya.

"Tumben banget susah dibagunin, biasanya juga bangun sendiri. Lah ini, hp dari tadi geter mulu, ibu, ayah juga udah bangunin malah nggak bangun-bangun,"
Rani menurunkan selimutnya perlahan, "Ayah, hari ini aku ngak usah masuk aja yah, nggak papa kok. Baru hari pertama, paling cuma perkenalan,"

Ayah menggeleng "Ngak boleh gitu, nanti jadi kebiasaan,"

"Sekali doang, yaaaa," Rani mengeluarkan jurus andalannya.

"No!, Ranivia Maharani!"
Rani menghela nafas panjang, jika sang Ayah sudah menyebut nama lengkapnya itu berarti keputusannya tidak bisa dirubah. Ia sendiri heran, banyak hal aneh yang terjadi padanya dalam waktu semalam.
~~
Sudah berbagai cara dilakukan, tapi tetap saja Rani murung. Ini adalah rayuan terakhir, biasanya ini selalu berhasil.

"Nanti ayah belikan ice cream, kesukaan Rani,"

Rani menggeleng, "maunya pulang, besok aja sekolahnya,"

Hening

Mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah Rani, "Udah sampai, turun gih. Itu Pak Satpam mau tutup gerbang,"
Rani menatap Ayah dengan tatapan memohon, namun dibalas senyuman. Rani menghela nafas, sebelum turun ia mencium tangan sang Ayah serta mengucapkan salam. Rani turun dari mobil dengan berat hati, entahlah rasanya ada hal yang membuatnya gelisah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

April Project - RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang