AKU selalu heran dengan penggolongan stratifikasi sosial antarjurusan yang keberadaannya langgeng berpuluh atau bahkan beratus tahun lamanya di lingkungan sekolah menengah atas.
Jurusan IPA cerdas, masa depan terjamin, tapi kaku dan terlalu ambisius.
Jurusan IPS katanya sekumpulan anak yang pandai bergaul namun biasanya mereka juga termasuk anak-anak nakal. Seringkali dianggap tidak ada masa depan.
Jurusan Bahasa, ah aku tidak tahu apakah di sekolah kalian ada jurusan semacam ini. Di sekolahku ada. Mereka dalam jumlah kecil (hanya terdapat satu kelas) dan tampak minor. Mamaku bahkan tidak melirik eksistensi jurusan ini sama sekali.
Yang aku heran tentu bukan pengelompokkan jurusannya, melainkan stigma yang mengikutinya. Kenapa pula manusia seperti kami, yang katanya menempati hierarki tertinggi di muka bumi ini perlu dikelompokkan dalam kotak-kotak stigma macam hewan ternak saja? Mereka seolah berbicara bahwa di kandang A sapi-sapinya berkualitas tinggi, susunya paling baik. Kandang B, lumayan. Kandang C, opsi terakhir.
Ya semacam itu lah pokoknya. Tidak masuk akal.
Mamaku salah satu orang yang memegang teguh standar sosial semacam itu. Karena itulah aku ada di kelas ini. Mamaku mengusahakan seribu satu cara agar aku berada di sekolah ini dan jurusan ini. Agar masa depanku cerah menurut versinya.
Ketika aku bilang tidak ingin masuk kelas IPA karena terlalu banyak hitungan dan ingin masuk IPS saja karena aku suka ilmu sosial, atau Bahasa karena aku merasa unggul di mata pelajaran yang menggunakan kemampuan linguistik, Mama marah besar.
"Kamu nggak percaya sama Mama? Mama ini tau apa yang terbaik buat kamu. Udah nurut aja. Mama cuma mau kamu sukses." Begitu kira-kira kutipan kalimatnya.
Aku sama sekali tidak menemukan makna yang tepat dari sukses itu sendiri. Kalau sukses itu berarti harus jadi dokter atau jadi insinyur lalu mengapa harus ada profesi lain yang untuk meraihnya sama-sama perlu gelar hasil sekolah tinggi-tinggi? Kalau dari penghasilan, bukankah penghasilan YouTuber seperti Atta Halilintar bisa jadi lebih banyak daripada seorang dokter atau insinyur, jadi YouTuber bahkan tidak perlu sekolah tinggi? Lalu apa sebenarnya tolok ukur sukses itu?
Namun rasanya tentang jurusan dan sukses itu tidak perlu lah aku pusingkan sekarang. Saat ini tugasku yang terpenting ya sekolah saja. Biar Mama tidak mengeluarkan tanduknya lagi.
"Saya dari SMP Negeri 01, alasan saya masuk sekolah ini adalah karena SMA ini adalah sekolah impian saya sedari dulu, saya bertekad harus bersekolah di sini. Cita-cita saya ingin menjadi guru, saya suka sekali anak-anak. Terima kasih, senang bertemu kalian semua, semoga kita bisa saling bekerja sama menjadi teman sekelas yang kompak, ya!"
Omong-omong, ini sudah empat hari setelah peristiwa telat yang mana berarti akhir dari masa pengenalan lingkungan sekolah. OSIS sudah tidak lagi memandu kami, kini giliran para guru satu persatu mulai masuk ke ruang kelas sesuai jadwal sementara dengan tujuan berkenalan dengan siswa-siswi baru. Seperti saat ini.
Pada jam pelajaran ke tiga ini kelasku diisi oleh guru sejarah dan beliau ingin kami memperkenalkan dan mendeskripsikan diri kami di depan kelas satu persatu. Gadis di depan itu namanya Ruth— itupun jika aku tidak salah dengar ketika dia sedikit membubuhkan "h" di akhir namanya.
Gadis yang bernama Ruth itu juga menjadi penutup pengenalan diri hari ini. Sepertinya penutup yang memukau karena dilihat-lihat agaknya dia cerdas dan pandai berbicara, terbukti dari guru sejarah yang tersenyum setelah dia mengakhiri presentasi singkat tentang dirinya. Dia juga duduk di barisan depan, tepat di depan papan tulis. Mengisyaratkan sekolah dan belajar seperti hal yang dia nanti-nantikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rapor Merah
Genç KurguKalau buku raporku selalu kebakaran tiap semesternya, mengapa buku berisi angka-angka menyebalkan itu, tidak hangus saja sekalian?