"ALEX, yang cepet dong goes sepedanya!" Dengan keringat bercucuran aku menggoes sepedaku dengan kecepatan maksimal. Sesekali aku menengok ke belakang untuk memastikan Alex juga mempercepat goesannya.
"Santuy kali, Bi. Santuy." Sahut Alex yang entah bagaimana kini posisinya sudah berada di sampingku.
"Kita udah hampir telat gara gara kamu, lho, ini. Bukan waktunya bisa santai!"
"Nah justru itu! Karena udah hampir telat itu justru kita harus santai. Ngebut juga bakalnya tetep telat, Bi. Percaya dah sama gue. Daripada udah capek-capek terus telat, ya mending telat tapi ga capek lah. Ye gak?"
"NGGAK!" Aku menyahut garang. Caranya menyahut itu sungguh bikin geleng-geleng kepala.
"Dih, dibilangin kaga cayaan."
Sedikit informasi, Alex adalah temanku sedari kami berdua sama-sama masih menjadi embrio. Kami bertetangga dan orang tua kami pun bersahabat. Kami lahir dan tumbuh bersama. Saking eratnya, persahabatan kami sampai-sampai pantas membuat kami menggantikan pepatah ada gula ada semut menjadi ada aku ada Alex. Tepatnya sih dia yang mengikutiku kemana-mana.
Sebenarnya secara keturunan, Alex adalah orang Timur, kedua orang tuanya asli dari Halmahera. Hal ini jelas terlihat dari iris matanya yang coklat jernih, rambutnya yang kribo, dan kulitnya yang gelap. Namun seperti kacang lupa kulitnya, alih-alih berlogat seperti orang Timur, Alex justru cinta mati pada bahasa dan kebudayaan khas Betawi. Sampai-sampai dulu ia pernah ikut mengamen bersama ondel-ondel, dan berakhir diomeli mamanya karena dianggap berbahaya ikut mengamen dan berkeliling bersama orang tak dikenal. Mungkin bisa jadi jika kamu tanya apa cita-citanya sekarang, ia akan jawab dengan lugas : MENJADI ONDEL-ONDEL.
Satu lagi fakta tentang Alex. Dia adalah hamba dari segala kesantaian dan memerangi segala hal yang menurutnya ribet dan bikin pusing. Mengutip dari kalimatnya, hidup cuma sekali jangan mati gegara pusing sendiri. Begitu katanya.
Ya, sifatnya itu memang ada baiknya juga sih, namun jika dihadapkan di situasi genting seperti ini ingin rasanya aku memutar kepalanya agar tidak santai melulu.
"Eh ini belok kanan apa kiri, dah?"
"Kiri, Lex. Kanan kuburan. Kamu siap dimakamin?"
"Anjer! Serem gile." Dia refleks mengumpat membuat aku terbahak.
Tak butuh waktu lama setelah itu, kami pun sampai di depan gerbang sekolah baruku. Ya, hari ini aku resmi jadi anak SMA, di sekolah serta jurusan yang dipilihkan Mama. Entah bagaimana caranya aku bisa masuk sekolah ini, karena seperti yang diramalkan mama, nilaiku benar-benar pas-pasan. Terutama di nilai matematika, pastinya.
Aku dan Alex segera menuju parkiran siswa untuk memarkirkan sepeda kami.
"Sampe jugaa akhirnya. Capek banget goes." Keluhku saat kami memarkirkan sepeda.
"Ye, pan udah gue kata. Santai aja, santai." Balas Alex yang hanya kutimpali dengan tatapan garang. Dia lupa sepertinya fakta bahwa penyebab kami kesiangan pagi ini adalah dia sendiri.
Bayangkan, di hari pertama masuk sekolah dia baru bangun ketika aku menjemputnya, yaitu pukul 6:15. Tante Martha bilang ia sudah lelah membangunkan anaknya karena bocah itu tidur sudah seperti orang mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rapor Merah
Teen FictionKalau buku raporku selalu kebakaran tiap semesternya, mengapa buku berisi angka-angka menyebalkan itu, tidak hangus saja sekalian?