NENEKKU pernah berkata bahwa semua manusia di dunia ini lahir dengan keadaan nasib dan takdir yang telah ditentukan. Singkatnya, manusia telah menandatangani kontrak tinggal di dunia dan telah menyetujui segala bentuk syarat dan ketentuannya.
Takdir-takdir itu meliputi segala aspek kehidupan. Mulai dari siapa ayah ibunya, lahir dalam keluarga miskin atau kaya kah dia, bagaimana rezekinya, siapa jodohnya, bahkan bagaimana dia matinya. Semuanya telah Tuhan tentukan sedemikian rupa, dan sebagai umat beragama yang memegang teguh sila pertama Pancasila, aku harus memercayai dan ikhlas dengan segala ketentuan-ketentuan yang telah aku dan Dia sepakati bersama.
Oh iya, Nenekku juga berkata bahwa aku harus sangat berterima kasih kepada-Nya karena sejak aku ditetapkan menjadi manusia pada 15 tahun silam, Dia sudah sangat bermurah hati dengan menjadikanku sebaik-baiknya makhluk tanpa kurang suatu apapun. Ya, setidaknya aku memiliki mata yang dapat melihat, telinga yang berfungsi dengan baik, lidah dengan perasa sempurna juga bagian-bagian lain yang berkontribusi seimbang.
Namun, di antara berjuta-juta syukurku kepada-Nya, aku tetap saja ingin sedikit protes. Sebenarnya bukan sedikit, sih. Tapi setiap manusia pasti pernah kan berada dalam situasi di mana tidak ada yang bisa disalahkan kecuali nasib. Masalahnya dalam situasi seperti itu, tak ada yang bisa diprotes kecuali Tuhan. Contohnya saja aku, aku protes hampir setiap hari. Aku protes saat ingin hidungku lebih mancung. Aku juga protes setiap pagi karena Dia membuat rambutku ikal dan sulit disisir. Dan satu hal yang paling sering kuprotes adalah, mengapa harus ada matematika di dunia ini sedangkan aku adalah manusia bebal yang sulit memahami angka-angka, Tuhaaaaaan?
Ya, tapi mau bagaimana lagi kan? Sebanyak apapun protes, hidup memanglah sesulit ujian kenaikan kelas. Ah, dalam kasusku, lebih tepatnya hidupku selalu jadi lebih sulit dikarenakan ujian kenaikan kelas. Seperti hari ini contohnya.
"Abi, Abi. Mama udah pusing banget ya sama kamu. Nilai matematika selalu saja di bawah rata-rata. Ini ilmu penting lho, Nak. Lihat ini! Nilai kamu semester ini turun semua. Mama heran, apa aja sih yang kamu kerjakan selama ini di sekolah? Nggak pernah tuh Mama lihat ada hasilnya. Kalau begini terus nilai Ujian Nasional kamu pun bisa Mama prediksi nanti hasilnya akan bagaimana. Nilai tangga nada do re mi mana ada SMA favorit yang mau terima, Abi?"
Nah, inilah kicauan merdu Kanjeng Ratu Rosa Andita Nugraha yang terhormat. Dokter kandungan yang memiliki obsesi serta keyakinan hakiki bahwa aku—putra bungsunya—akan pandai berhitung seperti kedua kakaknya suatu hari nanti. Dan sudah sangat bisa dipastikan, khotbahnya ini akan berlangsung sepanjang hari ini bahkan seminggu ke depan jika menurutnya masih kurang.
Aku menggaruk tengkukku, bingung berkata-kata. Suara Mama mulai seperti dengingan lebah di telingaku. Aku pun melirik Kak Alfan meminta pertolongan. Namun kakak sulungku itu memanglah tidak bisa diajak kerjasama. Terbukti dari dia yang hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
Sungguh situasi yang sangat, sangat, sangat menjengkelkan. Sialnya harus terulang setiap semester. Ah, mendadak aku ingin hidup sebagai kucing saja.
Ini sudah hampir satu jam dan Kanjeng Ratu belum lelah mengamuk. Menurutku ia hanya mengulang-ulang apa yang sudah ia bicarakan. Padahal jika pidatonya diringkas hanya akan menghasilkan satu kalimat : perbaiki nilaimu, bodoh!
"Mama jangan liat matematika doang, dong! Nilai Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggrisku 8 tuh. Seni musik juga tinggi. Ga merah semua, Ma!" Bantahku pada vonis mama akan masa depan nilai Ujian Nasionalku.
"Bahasa Indonesia kamu banggain? Siapa coba orang Indonesia yang enggak bisa Bahasa Indonesia? Enggak ada kerennya sama sekali!" Wah, tidak bisa dibiarkan ini! Mama itu kenapa sih, hobi banget mengolok-olok mata pelajaran kesukaanku.
"Matematika juga enggak keren, Ma. Aku nggak tau tuh apa gunanya belajar matematika. Aku beli bakso Pak Kumis juga pake Bahasa Indonesia, nggak pake rumus trigonometri." Dengan gagah dan nyali berani mati, aku pun mencoba membalas argumen mama.
"Berani jawab. Songong kamu. Itu hasil belajar Bahasa Indonesiamu dipake buat jawab omongan Mama, hah?" Skakmat! Mama dan segala kuasanya memang tidak bisa terkalahkan. Dasar Mama otoriter, setiap bersuara dan membela diri aku selalu dibuat terintimidasi dan merasa seolah aku anak durhaka. Pak presiden, aku menuntut kebebasan bersuaraku!
Mama mendelik tajam membuat aku habis kata-kata. Yasudahlah aku diam saja sambil menatap horror Mama yang masih saja sibuk membolak-balik buku raporku. Padahal mau seribu kali dibolak-balik pun angkanya tidak akan berubah juga, kan?
"Kendala kamu selama belajar tuh apa sih? Nggak suka guru di sekolah? Atau guru bimbelnya? Mau ganti?" Tanya mama padaku, mulai merendahkan nada suara.
"Percuma Ma, percuma," ucapku dalam hati. Bimbel tidak serta merta membuatku jatuh cinta pada angka dan operasi hitung yang makin lama makin membingungkan itu. Gurunya juga galak.
"Aku itu nggak suka matematika, Mama. nggak suka bimbel juga!" Kali ini aku juga tidak berani menyuarakannya langsung. Belajar dari pengalaman beberapa menit sebelumnya membuatku hanya berani menjawab dari dalam hati saja. Semoga ini semacam telepati yang bisa langsung melunakkan Mama karena melalu mediasi dari hati ke hati.
Oh Tuhan, Inilah yang menjadi salah satu subtema protesku pada-Mu kali ini. Mengapa pula Kau menempatkan aku yang bebal ini di tengah-tengah anggota keluarga yang luar biasa seperti ini? Sedari kecil aku telah diramal akan secerdas kedua kakakku, dan kini aku dipaksa mewujudkan ramalan mereka. Aku merasa sangat tertekan jika harus menyamai langkah mereka. Ibarat berlari, aku ini sudah sesak napas, kaki sakit, tidak ada hasilnya pula. Tetap saja aku tertinggal bermeter-meter jauhnya. Ditambah diomeli pula karena tidak bisa jadi juara.
"Kamu tuh selalu begini. Orang tua tanya tuh dijawab. Punya mulut buat apa?" Rutukkan batinku disentak oleh suara ketus dan pelototan mama yang protes karena aku tak kunjung buka suara.
Baik.
Baiklah.
BAIKLAH.
AKU YANG SALAH.
IYA AKU!
Rasanya problematika umum seorang anak memang begini, kan? Serba salah.
"Iya Ma, aku minta maaf. nggak perlu ganti bimbel, aku udah nyaman di sana. Aku janji deh bakal berusaha lebih baik lagi biar bisa dapet nilai 80 semester depan."
Dan tepat seperti yang sudah kuperkirakan, jawaban Mama tidak lain dan tidak bukan adalah,
"Lho, kok targetmu kecil banget?100 dong. Kakak-kakakmu aja bisa kok."
NAHKANNN.
Perkenalkan kawan, aku Abhigail Putra Nugraha dan aku benci matematika. Eh, sepertinya aku benci sekolah juga.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Rapor Merah
Fiksi RemajaKalau buku raporku selalu kebakaran tiap semesternya, mengapa buku berisi angka-angka menyebalkan itu, tidak hangus saja sekalian?