Bab 2

36 5 6
                                    


           Kampung tepi pantai adalah sebuah desa yang amat makmur. Hasil panen ikan dan hasil sawah merupakan sumber kehidupan yang dijalani oleh warganya. Desa tersebut terkenal dengan kedamaian dan kemakmuran yang luar biasa. Setiap warganya saling gotong royong untuk membantu satu sama lain.

          Suatu hari yang cerah, mereka mengalami mimpi buruk yang sangat panjang. Desa yang tenang dan damai tersebut mengalami peristiwa yang menyakitkan. Kelompok perompak yang terkenal kejam menjajah desa. Hasil panen yang melimpah dirampas paksa. Seluruh warga desa tidak ada yang berani melawan perompak tersebut.

          Senja mulai menampakkan diri. Kelompok perompak itu kembali ke kapal megahnya. Hanya saja, kekacauan tiba-tiba terjadi. Anak bungsu dari pemimpin perompak menghilang. Mereka langsung menyerang kembali desa Kampung tepi pantai. "HEH, KALIAN WARGA KAMPUNG TEPI PANTAI. KELUAR KALIAN SEMUA. KALIAN MAU BALAS DENDAM DENGAN MENCULIK ANAK KAMI?", teriak Medd. " Maaf kami tidak mengetahui apapun. Kami tidak mengerti yang kau maksud tuan perompak." Ucap salah satu warga. "KALIAN JANGAN BERBOHONG. ANAK KAMI TIDAK MUNGKIN TIBA-TIBA MENGHILANG. KATAKAN PADA KAMI DIMANA KALIAN MENYEMBUNYIKANNYA? SUDAH BAIK KALIAN TIDAK KAMI BUNUH." Teriak Mond. "Seluruh warga memang tidak tahu anak bungsu tuan berada di mana. Sudah cukup tuan merampas harta kami, jadi jangan menuduh hal lain yang tidak kami lakukan. Saya mohon ampun tuan."

          Perdebatan perompak dan warga malam itu berangsur sengit. Beberapa warga ditahan sebagai ganti anak bungsunya yang hilang. Warga tersebut ditahan hingga anak bungsunya ditemukan. Medd memerintahkan seluruh warga untuk mencari anak bungsunya. Medd mengancam, jika anak bungsunya tidak ditemukan hingga 2 minggu ke depan maka warga yang ditahan akan dibunuh. Warga sangat gelisah mendengar ancaman sang perompak. Mereka berharap jika warga yang ditahan selamat 2 minggu lagi.

         Pada pagi harinya, sang perompak kembali berlayar meninggalkan Kampung tepi pantai.  Suasana desa tetap dipenuhi rasa gelisah dan ketakutan. Kebingungan melanda warga desa. "Bapak tetua, bagaimana caranya kami menemukan anak sang perompak? Padahal kami tidak mengetahui bagaimana rupa dari anaknya." Tanya salah satu warga kepada tetua desa. "Mari kita mencari di seluruh desa. Ciri-ciri yang disampaikan perompak itu tentang anaknya, dapat membantu kita. Kita berjuang bersama dan berdoa agar tidak terjadi sesuatu yang buruk. Tetaplah tenang dan menjalankan aktivitas seperti semula. Kita akan membagi kelompok untuk bergantian mencarinya." Ucap sang tetua dengan bijaksana. "Baiklah tetua kami akan melaksanakan sesuai perintah. Kami hanya ingin hidup tenang seperti semula." Ucap salah satu warga. "Kalian bisa kembali beraktivitas. Tenanglah pasti akan ada kebaikkan dibalik kekacauan ini." Ucap sang tetua dengan lembut.

          Pagi itu kembali seperti semula. Warga beraktivitas seperti sediakala. Ada yang mencari ikan, ada yang membajak sawah, ada yang berkebun dan berternak. Mereka sedikit menutupi kegelisahan dengan melakukan kegiatannya. Sore harinya, warga melakukan pencarian anak bungsu sang perompak.

***

           Kekacauan yang melanda Kampung tepi pantai ini sudah menyebar ke berbagai wilayah. Termasuk wilayah hutan lebat di puncak gunung tertinggi. Wilayah puncak gunung tertinggi tidak banyak dihuni oleh warga. Hanya ada seorang tabib dan keluarganya. Sang tabib bernama Syech Qun. Ia memiliki seorang istri yang bernama bubuy dan 2 orang anak yang bernama Manty dan Putri. Mereka hidup bahagia walaupun di puncak gunung. Anak-anak dari sang tabib memiliki sifat yang lembut dan sangat keibuan. Mereka rajin membantu sang tabib untuk mengolah obat-obatan yang dibutuhkan warga tepi pantai. Setiap hari Manty sebagai anak tertua meracik dan mengirimkan obat-obatan ke wilayah rendah jauh dari puncak gunung. Sedangkan putri bertugas mencari bahan di sekitar gunung dan membantu meracik obat-obatan.

            Pagi itu sang tabib mendapatkan kabar dari Manty tentang kekacauan di Wilayah rendah. Kebingungan dan kegelisahan nampak diraut wajah Manty. "Syech, bagaimana jika perompak itu menghancurkan wilayah puncak juga? Saya takut dengan keselamatan keluarga kita. Apa yang harus kita lakukan?" tanya bubuy. "Tenanglah ibunya anak-anakku. Mereka tidak akan berani menuju puncak gunung ini. Berdoalah kepada Tuhan agar kita dilindungi. Percayalah selama kita semua bersama, tidak akan terjadi hal buruk." Ucap Syech kepada istrinya. "Ayah, apakah kita menghentikan membuat obat-obatan selama kekacauan ini berlangsung? Ini demi keselamatan keluarga kita ayah." tanya Manty. "Tidak perlu anakku. Kita tetap membuat obat-obatan ini. Obat-obatan ini sangat dibutuhkan seluruh warga. Jangan karena kekacauan satu hal membuat kita menghentikannya." Ucap sang tabib. "Baiklah ayah, aku akan tetap mendengarkan semua perintah ayah." "Iya, Syech. Aku juga akan mematuhimu. Aku percaya kau akan melindungi kami semua." ucap bubuy. " Oh ya ayah, apakah Putri belum juga kembali? aku tidak bertemu dengannya di hutan. Dia harus mengetahui kabar ini." ucap Manty. "Belum anakku. Dia pasti mengunjungi air terjun dekat hutan. Adikmu kan suka sekali melihat air yang gemericik. Entah syair apalagi yang ia tulis sekarang." ucap sang tabib. Bubuy dan anaknya hanya tertawa mendengar perkataan sang tabib. Setelah perbincangan hangat keluarga sang tabib, Bubuy dan Manty kembali ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Sedangkan Sang tabib kembali meracik obat-obatan yang akan dikirimkan malam nanti.

Sang Pengelana dan Sang PenyairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang