Seungcheol menatap lekat punggung seorang pemuda manis di depannya yang kini sedang sibuk memeriksa seorang anak di bed sebuah klinik sederhana. Entah pikirannya begitu kosong menatap pemuda cantik yang telah mengisi hatinya selama delapan tahun itu. Iya, tentu saja delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi dirinya untuk mengenal lebih jauh tentang pemuda kucing itu yang sebentar lagi akan ia persunting.
Hong Jisoo. Pemuda semanis kucing yang telah berhasil merebut keyakinan hatinya hanya dengan melalui pertemuan sederhana di sebuah konser jazz delapan tahun lalu. Saat itu mereka masih sama-sama duduk di bangku kuliah.
Waktu memang berjalan begitu cepat. Berpacaran selama tujuh tahun lamanya akhirnya membuat seungcheol mantab melamar kekasih cantiknya untuk mengajaknya hidup bersama. Di sebuah halte sederhana pinggir jalan, saat itu jisoo sedang mengambek padanya setelah seungcheol yang melewatkan hari ulang tahunnya dengan perjalanan bisnisnya ke Amerika.
Tepat di malam tahun baru, setelah jisoo tak mau menyapanya yang berdiri di lobby rumah sakit setelah pulang dari bandara. Jisoo langsung pergi begitu saja meninggalkannya dan lebih memilih menunggu bis di halte. Dan akhirnya seungcheol mengikutinya duduk di halte sekaligus melamarnya. Membuatnya bisa melihat rona bahagia di kedua pipi putih sang kekasih.
Seungcheol meringis sendiri mengingat malam bersejarah mereka. Satu bulan lagi akhirnya waktu yang mereka tunggu akan tiba. Hari pernikahannya dengan jisoo. Tapi ada sesuatu yang janggal di sini. Mengapa rasa bahagia itu justru tak datang di saat ini.
Harusnya seungcheol merasa sangat bahagia kan, karena pada akhirnya hari yang ia tunggu bersama jisoo akan tiba. Tapi mengapa rasanya tak begitu?
Apa perasaan seungcheol untuk pemuda manis itu sudah tak lagi sama?
Entahlah, ini membuat pikirannya pusing akhir-akhir ini. Seungcheol yang mulai ragu, haruskah rencana pernikahan ini dilanjut disaat perasaannya sendiri malah mulai memudar.
"Sedang melamun apa?" Jisoo menegur lembut kekasih tampannya itu.
Membuat seungcheol mengalihkan perhatiannya pada si kekasih manisnya yang sedang melepas stetoskop dan jas dokternya. Setelah pasien anak-anak terakhirnya selesai hari ini.
"Apa?" Tanyanya bingung. Jisoo hanya terkekeh pelan.
"Tidak. Aku tanya kau sedang melamunkan sesuatu?" Jisoo mengulang pertanyaannya.
Seungcheol menggeleng pelan. "Hanya masalah kantor. Kau sudah selesai?"
Jisoo mengangguk mengerti. Sebagai pemimpin perusahaa agensi ternama di seoul, tentu saja kekasihnya selalu sibuk. Apalagi jisoo juga tahu, jika laki-laki ini seorang yang workholic.
"Sudah. Sebentar, aku akan menitipkan kunci klinik ke suster lee"
Seungcheol mengangguk paham. Lalu membantu membawa koper milik kekasihnya ke dalam bagasi mobilnya. Akhir pekan ini biasanya seungcheol menjemput jisoo ke namyangju untuk kembali ke seoul setelah satu minggu pemuda cantik itu melakukan pengabdian di klinik sederhana di namyangju sebagai dokter.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan seungcheol selama dua tahun terakhir ini. Meskipun aktivitas sederhana tapi biasanya ini cukup untuk saling menghapus perasaan rindu mereka. Karena sejak jisoo memutuskan pindah ke namyangju, mereka sulit mendapat waktu bersama dan terpaksa menjalankan hubungan LDR.
Tapi entah mengapa dua bulan ini rasanya mulai berbeda bagi seungcheol.
***
"Bagaimana pekerjaanmu? Maaf ya tadi di klinik sedang sibuk jadi kita belum sempat bicara" Jisoo membuka pembicaraan diantara mereka berdua yang daritadi hanya diisi suara deru mobil dan radio.
Seungcheol mengangguk pelan. "Baik-baik saja"
"Oh iya kemarin butik nyonya kim sudah menelponku. Katanya jas milikmu yang kemarin waktu kita fitting kekecilan, sudah dibenarkan. Lusa kita fitting lagi, bagaimana?" Tanya jisoo sembari senyum selembut kapas.
Biasanya senyum itu candu bagi seungcheol. Dengan hanya melihat senyum manis jisoo, seakan seungcheol bisa melupan seluruh bebannya. Tapi mendadak semua jadi berubah.
"Nanti akan ku cek jadwalku dulu" Jawabnya datar.
Jisoo menghela napas pelan. "Kita kan hanya fitting baju. Lagipula itu juga tidak akan lama!"
"Ya tapi kau harus tahu jadwalku juga padat seminggu ini" Seungcheol masih lebih memilih menatap lalu lintas tol di depannya.
"Tapi aku sudah terlanjur janji dengan bibi Kim. Kan tidak enak kalau membatalkannya sepihak"
"Ya seharusnya kau bilang dulu padaku kalau ingin membuat janji!"
Jisoo manatap seungcheol di sebelahnya kesal. Hubungan mereka akhir-akhir ini entah kenapa semakin banyak mengalami percekcokan. Padahal untuk masalah yang sangat sepele.
"Baiklah terserah. Aku kan hanya meminta waktumu sebentar untuk kita fiiting baju pengantin. Tidak akan lama kok"
Seungcheol ikut menghela napas pelan. Sambil memegang erat setir kemudi di depannya.
"Soo-ya, jangan egois"
Jisoo menatap seungcheol tak percaya.
"Aku egois? Bukannya kau yang egois? Ini bahkan juga untuk pernikahan kita. Tapi sepertinya kau yang tak peduli!" Pemuda semanis kucing itu bahkan mulai sedikit meninggikan suaranya.
Cittt...
Seungcheol langsung mengerem mendadak mobilnya membuat jisoo melotot kaget. Lalu meminggirkan mobil bmw itu di bahu jalan tol.
Keduanya sama-sama berusaha mentralkan napas masing-masing. Sama-sama berusaha meredam pikiran dan hati mereka yang saling berkecamuk.
Apakah ini saat yang tepat? Berkali-kali seunhcheol berdebat keras dengan dirinya. Apakah keputusannya tepat?
Ini bukan hal yang mudah. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Delapan tahun adalah waktu yang lama untuk mencintai seseorang. Berkali-kali ia mencoba bertanya pada dirinya sendiri, apakah hatinya masih menjadi milik jisoo. Tapi jawab itu tak kunjung ia dapatkan.
Dan lagi-lagi seungcheol berusaha mengalah pada takdir.
"Maaf..."
"Pernikahan kita tinggal sebulan lagi. Tapi aku merasa hubungan kita malah sering merenggang akhir-akhir ini..." Lirih jisoo pelan.
Sementara lelaki di sampingnya kini hanya menunduk dan membenarkan dalam hati.
"Maaf soo-ya---"
Jisoo mengalihkan perhatiannya kepada lelaki tampan di sebelahnya. Lelaki yang masih sangat ia cintai hingga detik ini.
"--aku hanya sedang pusing dengan proyek album baru salah satu artis agensiku" Tutur seungcheol sedikit menyesal sambil mencoba tersenyum hangat kepada sang kekasih.
"Kau baik-baik saja?"
Mau tak mau jisoo merasa khawatir.
"Iya.. Aku baik-baik saja"
Pemuda cantik itu akhirnya memutuskan untuk menggenggam hangat telapak tangan sang kekasih. Membuat seungcheol menatapnya terperangah.
Perasaan hangat itu memang masih ada. Namun entah rasanya sudah mulai memudar dan tak sama.
"Ya sudah kita lanjutkan saja perjalanannya. Aku akan membatalkan fitting baju kita dengan bibi kim.."
"Mianhae..."
Jisoo menggeleng pelan lalu melepaskan genggamannya. Beralih menyenderkan kepalanya menghadap kaca luar mobil.
"Kita bisa menundanya sampai kau tak sibuk lagi.."
Seungcheol hanya menatap kosong jisoonya yang mencoba memejamkan mata di sampingnya. Lalu beralih menatap jalanan di depannya. Menginjak pedal gas dan melajukan kembali BMW hitam itu.
Berkali-kali seungcheol sudah mencoba bertanya lagi pada hatinya. Dan ia ingin jujur pada hatinya untuk kali ini saja.
Maafkan aku jisoo-ya, tapi kali ini keyakinanku sudah mulai benar-benar goyah.
|tbc|
![](https://img.wattpad.com/cover/223183429-288-k406285.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate • [cheolsoo](√)
FanfictionKetika semesta kemudian mulai memudarkan keyakinan choi seungcheol terhadap hong jisoo sebagai takdirnya. Maka mungkin perpisahan adalah jalan keluar terbaiknya. Tapi mungkinkah? ©raelyyn,2020