Zendra memijat pelipisnya pelan ketika mendengar ocehan Anaya di telepon. Saat ia memutuskan untuk meninggalkan wanita itu sendirian saat jam makan siang tadi, sebenarnya Zendra tidak peduli bagaimana perasan Anaya tadi. Pikirannya hanya tertuju pada bocah itu.
"Ini yang selalu jadi pokok masalah kita, Zendra. Kamu yang selalu memanjakan dia. Dan aku tidak suka."
Zendra sudah kehabisan kesabaran. "Well, siapa kamu, Anaya? Kenapa kamu mengatur semuanya?"
"Siapa aku? Calon tunanganmu. Kamu lupa? Tadi siang kita membicarakn itu dan karena ulah bocah ingusan kesayanganmu, semua gagal."
Zendra mengeryit tidak suka. "Kamu yang membicarakannya, bukan kita."
"Apa? Lalu, sekarang apa menurutmu? Semuanya dibatalkan?"
Zendra menyandarkan tubuhnya. Pandangannya tertuju pada pemandangan di luar jendelanya. Kolam renang berukuran sedang yang ada di halaman belakang dan gadis itu duduk di tepian kolam. Bodoh, jika bocah itu masih ceroboh, sebentar lagi ia akan mencemplungkan dirinya sendiri ke kolam itu.
"Zendra! Kamu dengar aku, kan?"
Oh sial. Ia lupa ia masih bersama Anaya. "Kita bicarakan lagi nanti." Jika sudah seperti ini, Zendra ingin sekali langsung pindah sesegera mungkin ke Australia. Setidaknya, ia tidak perlu berurusan dengan Anaya lagi, walaupun sebenarnya ia tertarik dengan Anaya. Wanita itu cantik, sangat cantik, Zendra yakin semua pria akan bertekuk lutut di hadapannya. Hanya saja, Zendra tidak ingin seserius itu dengan Anaya.
Zendra menutup panggilan teleponnya segera menghampiri Tavie. "Tavie."
Tavie menolehkan kepalanya dan tersenyum pada Zendra. "Hai."
"Jangan terlalu dekat di sana, kamu bisa tercebur." Zendra tersenyum meledek seraya duduk di samping Tavie. Kaki membuat gerakan gelombang kecil di kolam itu.
Tavie tertawa. "Aku bisa berenang."
"Iya, tapi kamu ceroboh."
Tavie tersenyum. "Kata Mama, kamu akan pergi dua minggu lagi."
Zendra mengangguk. Pandangannya masih tertuju pada dasar kolam. "Kenapa?"
"Apa tidak terlalu cepat? Maksudku, nanti siapa yang akan menjagaku kalau aku ceroboh lagi?"
Zendra menghela napas. "Kamu sudah besar, harusnya kamu bisa menjaga diri." Padahal dalam hatinya pun ia bertanya-tanya, bagaimana jika sesuatu terjadi pada Tavie-nya. Maksudnya, adiknya. Siapa yang akan menjaga bocah ini?
Tavie mencebik. "Kamu bosan ya selalu aku ganggu hidupnya?"
Zendra tertawa mendengarnya. Ia ingin bilang; tidak, dia tidak bosan. Ia senang Tavie selalu ada dengannya. Namun, ia lebih memilih untuk menjawab. "Iya. Kamu selalu merepotkan."
Tavie membelalak tidak suka. "Kakak!" Ia memukul lengan kakaknya dengan keras. Zendra mengaduh, tapi ia tetap memeluk adik satu-satunya itu.
Mereka tertawa dan bercanda-ria, selagi rasa itu belum disadari keduanya.
Hanya ada satu orang yang mulai curiga. Violet Wijaya.
***
"Kamu serius akan sekolah? Bukankah kepalamu masih sakit?" tanya Zendra seraya berlutut memasangkan sepatu adiknya. Sementara, Sang Ratu Kecil yang dimanjakan olehnya itu hanya menggerak-gerakan kecil kakinya sambil memakan brownies cokelat buatan Mama.
"Kata siapa? Aku sudah sembuh. Lagipula, pukulan bolanya kemarin tidak terlalu keras."
Zendra menggeleng. Tangannya dengan telaten mengikatkan sepatu adiknya. Ia memiliki kebiasaan memakaikan sepatu Tavie sejak kecil. "Ayah sudah melarangmu, Tavie. Harusnya kamu nurut."
"Ayah berlebihan."
"Karena kamu pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kita semua tau tubuhmu lemah, Tavie." Zendra mengusap ujung bibir Tavie dengan jempolnya karena Tavie tidak sadar browniesnya kemana-mana.
"Aku baik-baik saja." Tavie memiliki sistem imun yang lemah. Sedari kecil juga ia langganan keluar masuk rumah sakit entah itu karena demam, mimisan, bahkan DBD. Ia juga sering mimisan jika kelelahan. Hal itu yang membuat kedua orangtuanya selalu khawatir padanya.
Zendra mengambil tas berwarna abu-abu milik Tavie dan memakaikannya ke pundak adiknya. "Hari ini pulang jam berapa?" Ia memperbaiki resleting tas adiknya.
"Jam setengah lima. Ada rapat pemilihan OSIS, aku ingin hadir." Mereka berjalan menuju mobil Zendra.
"Nanti aku jemput." Padahal, selama ini mereka memiliki sopir yang siap mengantar-jemput Tavie dan Tavie sendiri tidak pernah meminta Zendra direpotkan olehnya. Itu kemauan Zendra sendiri.
***
Tavie berjalan di koridor sekolahnya. Matanya menyusuri pandangan suasana sekolahnya yang sudah ramai karena bel akan berbunyi lima belas menit lagi.
"Tavie!"
Tavie menoleh ke belakang tubuhnya dan melihat Eliza sudah berlari ke arahnya. "Kamu sekolah? Aku kira kamu masih akan ijin karena kejadian kemarin."
"I'm fine. Aku juga bosan di rumah terus." Tavie berjalan ke lokernya untuk mengambil buku yang sengaja ia simpan di sana.
"Wow, banyak sekali suratnya." Eliza terperangah melihat tumpukan surat-surat berwarna merah muda di dalam loker temannya. Tavie memang anak populer yang diidamkan hampir oleh semua anak di sekolah ini. Berasal dari keluarga kaya, cantik, dan cerdas. Tavie seringkali menjuarai banyak olimpiade yang membuatnya semakin memiliki banyak pengagum.
"Hm, kamu mau?" tawar Tavie memberikan sebatang cokelat berukuran sedang pada Eliza. Temannya itu langsung menerimanya.
"Aku heran, kamu memiliki banyak cowok yang ingin menjadikanmu pacar, tapi amu tidak pernah merespon mereka. Kenapa, Tavie?" Hampir tiga tahun mereka berteman, dan Eliza tidak pernah tau kenapa Tavie selalu membuat semua cowok yang mendekatinya patah hati.
"Karena mereka terlalu naif. Mereka menyukaiku karena aku anak Kenneth Wijaya dan memiliki--menurut mereka-- wajah yang cantik. Mereka hanya menikmati penampilanku di luar saja."
Eliza mengeryitkan dahinya. "Karena memang kamu cantik." Ayolah, siapa yang akan menyebut Magentha Taviella ini buruk rupa? Semua cowok--baik normal maupun bukan--mengakui dirinya cantik. Sangat cantik.
Tavie hanya tersenyum. Ia tidak mau memberitahu yang sebenarnya, bahwa alasannya adalah karena semua cowok itu tidak sama seperti Zendra. Entah sejak kapan mulanya, Zendra menjadi tolak ukur dirinya dalam melihat seorang cowok. Pokoknya, harus seperti Zendra.
Kenapa kamu tidak memacari Kakakmu saja?
Tavie ingin tertawa ketika ada pemikiran aneh itu. Ayolah, tidak mungkin, kan?
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Quaintrelle [AVAILABLE ON DREAME]
RomanceMagentha Taviella Wijaya memiliki segalanya. Harta, kecantikan, dan kecerdasan. Semuanya terlihat begitu sempurna di mata orang lain. Seharusnya ia bersyukur dan menjalani hidupnya dengan bahagia. Namun, ia tidak bisa. Tidak ketika relung hatinya ko...