3

350 34 0
                                    

"Aku janji tidak akan mabuk lagi, Kak." Tavie berlari kecil mengikuti Zendra yang sudah berjalan di depannya dengan langkah lebar seolah ingin menghindarinya. Seperti biasa, Tavie akan diantar oleh Zendra ke sekolahnya, tapi sekarang sang kakak marah padanya dan Tavie yakin semuanya akan menjadi canggung.

"Kakak, dengarkan aku dulu." Tavie menahan lengan kakaknya ketika Zendra akan masuk ke mobilnya. "Aku janji, Kak. Jangan marah lagi padaku, Ayah dan Mama saja tidak repot-repot memarahiku." Masih saja bengal dan membela diri. Zendra menghela napas. Pria itu tetap masuk ke mobilnya, tidak memedulikan Tavie yang sudah akan menangis.

"Kak, jangan marah lagi..." Tavie sudah pasrah akan dimarahi kakaknya ketika ia duduk di.mobil, di samping kakaknya.

Zendra sendiri tidak ingin menanggapi hal itu karena Tavie pernah mengatakan; janji tidak pulang malam lagi, tapi perempuan itu mengingkarinya walau saat itu ia terpaksa kerja kelompok sampai malam. Zendra melirik adiknya yang menunduk. Ia tahu Tavie mencoba menahan tangisnya.

Zendra tetap menjalankan mobilnya, hingga jaraknya cukup jauh dari rumahnya, ia memberhentikannya. "Jangan nangis." Hanya itu yang ia ucapkan.

Tavie diam. Tapi, tangannya menghapus jejak air mata yang entah kapan mengalir. "Maaf."

Zendra menghela napas untuk kesekian kalinya. "Okay, aku pegang janji kamu, Magentha."

Tavie mendongak. Wajahnya langsung berubah sumringah. "Aku sayang Kakak." Tangannya langsung memeluk erat leher Kakaknya.

Zendra terkejut dengan gerakan Tavie itu. Ia tidak membalas ucapan adiknya. Sebaliknya, ia melepaskan pelukan itu.

Sial. Ini tidak baik untuk jantungnya.

***

"Hati-hati. Pulang jam berapa sekarang?" tanya Zendra saat adiknya itu bersiap keluar dari mobilnya.

"Jam setengah enam sore mungkin, aku ada ekskul dulu."

Zendra mengeryit. "Bukankah kamu sudah tahun ketiga? Seharusnya tidak ikut ekskul."

Tavie tersenyum. "Hanya untuk memilih ketua baru saja, Kak."

"Nanti aku jemput."

Tavie tersenyum dan mengangguk semangat. Gerakannya mencium pipi Zendra membuat pria itu mematung di tempatnya. "Aku sangattttt sayang Kakak."

Zendra diam. Mukanya hanya menampilkan wajah datarnya. "Cepat, kamu bisa kesiangan."

Tavie mengangguk. Dan Zendra hanya memandang sang adik yang keluar dari mobilnya, lalu melangkahkan kaki menuju gerbang. Zendra menelan ludahnya susah payah. Tidak. Seharusnya tidak seperti ini.

***

"Kita bisa menanam saham di perusahaan tersebut, proyek ini sangat menguntungkan, Pak Zendra. Semuanya menguntungkan." Zendra mendengarkan ucapan asistennya dengan saksama. Ia hanya mengangguk-angguk saja karena sudah tau apa yang diucapkan asistennya itu.

"Kamu yang urus pertemuan dengan perusahaan induk." Zendra memberikan dokumen yang sudah ia tanda tangani.

Baru saja asistennya keluar dari pintu ruangannya, selang beberapa detik, pintu itu terbuka lagi dan kali ini Zendra tersenyun melihat siapa tamunya. "Anaya."

Wanita dengan tinggi semampai yang mengenakan dress berwarna maroon melekat di tubuhnya itu tersenyum lebar. "Hai, Zendra." Anaya memeluk Zendra ketika sudah berada di hadapannya.

"Kenapa tidak bilang dulu jika akan kemari? Aku bisa menjemputmu, Ay."

Ay. Hanya Zendra yang memanggilnya dengan sebutan itu. "Aku hanya ingin...memberi sedikit kejutan." Anaya memainkan kemeja Zendra dengan jari lentiknya.

Quaintrelle [AVAILABLE ON DREAME]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang