Bagian 1

31 8 3
                                    

Assalamualaikum, selamat reading:)))

☕☕☕

Jam dinding di rumahku menunjukkan pukul empat sore. Akhir-akhir ini aku sering memikirkan bagaimana kelanjutan pendidikanku dengan kondisi keuangan yang seperti ini, lagi-lagi aku termenung untuk kesekian kalinya di teras rumah setelah pulang sekolah. Seragam SMA-ku masih terpasang rapi di badan. Senja telah menyapaku, sambil menghela napas panjang aku mengakhiri renunganku hari ini.

Ayah memang tak pernah mengeluh mengenai biaya pendidikanku. Semua keputusan tentang kelanjutan pendidikan ada di tanganku. Tapi, sebagai anak aku mengerti kondisi keuangan ayah. Aku tidak mau merepotkan ayah.

Ayah bekerja sebagai kuli bangunan, dan pendapatan ayah pun tidak tetap tergantung seberapa lama ayah bekerja. Terkadang ayah hanya bekerja setengah hari karena sering kelelahan jika matahari menyengat hebat di punggung kokoh ayah.

Wajarlah, ayahku bukan lagi seorang lelaki gagah yang usianya masih muda. Fisiknya terkadang sedikit mengeluh jika dipakai terus-menerus. Tapi ku yakin hatinya tak pernah mengeluh. Syukurlah untuk makan dan kebutuhan sehari-hari kami jarang berkekurangan meskipun seadanya saja.

☕☕☕☕

Tidak biasanya kulihat ayah bangun lewat dari pukul empat dini hari. Entah apa alasannya. Ayah hari ini tidak bekerja, karena rumah yang kemarin dikerjakannya sudah selesai.

Pikirku ayah lelah atau mungkin ayah kurang istirahat setelah bekerja seharian kemarin. Jam menunjukkan pukul setengah enam pagi, mungkin aku tak sadar ayah sudah bangun untuk subuh. Tapi tak biasanya ayah tak pergi ke masjid atau mungkin saja setelah ke masjid ayah tidur lagi.

Hari semakin terik, raja siang sudah menampakkan wujudnya. Segera aku bergegas ke sekolah yang tidak jauh dari kediamanku dengan berjalan kaki. Aku tidak berpamitan dengan ayah, kulihat ayah tidur sangat lelap. Jadi ku putuskan untuk langsung berangkat saja.

Kekhawatiranku meledak sesampainya aku di sekolah. Perasaanku tak karuan mengingat keganjalan pada diri ayah pagi ini. Otakku selalu mengajakku untuk memikirkan keadaan ayah di rumah.

Niat sekali hati ini untuk kembali ke rumah, sekadar melihat keadaan ayah. Ah, tapi kucoba untuk selalu berpikir positif. Ayah pasti baik-baik saja, ayah pasti sudah sarapan dengan kue yang aku beli di pasar pagi tadi. Dan ayah sedang duduk di kursi tua yang selalu diduduki ibu sewaktu ibu sakit. Memikirkan itu aku jadi rindu pada ibu. Ya Allah, titip rindu buat ibu di Surga-Mu.

☕☕☕☕

Pembelajaran untuk hari ini selesai juga. Inilah waktu yang sangat kutunggu, yakni bertemu ayah. Seketika aku sangat rindu ayah. Mungkin karena perasaan khawatirku ini. Segera aku melangkahkan kakiku menuju rumah, menyusuri jalan. Ahtiku berdetak kencang, sudah tak sabar melihat ayah di rumah yang sedang bersantai meminum kopi di sore hari sebagai rutinitasnya.

Ketika ku sampai di rumah, tidak ada ayah yang sedang bersantai di teras rumah sembari menyesap kopi tiap sorenya. Segera ku berlari ke kamar ayah tanpa mengucap salam  terlebih dahulu. Yang kulihat adalah ayah yang terbaring lemah di tempat tidurnya.

☕☕☕☕

Gimana? Maaf lagi-lagi bikin cerita baru:'))
Ini cerpen, dan semoga beneran cerpen. Hihi. Karena ini cerpen atau cerita pendek, maka ceritanya juga bakal berakhir dalam 2 atau 3 bagian lagi:'))
Semoga endingnya pembaca dapat menarik pelajaran yang ingin disampaikan Dey ya:'))) Terimakasih sudah membaca.

Salam kopi☕
Sabtu, 2 Mei 2020

Tetesan KeringatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang