Yesterday

20 2 0
                                    

Sambil berjalan pulang Joko menengadahkan mukanya menantang salju yang perlahan-lahan turun, jatuh satu-satu. Sesekali ditendangnya gundukan salju yang mulai memenuhi jalan. Hati-hati sesekali dia berjalan menuju sebua persimpangan bersejarah. Tempat awal pertemuan pertamanya dengan Sharon.

Malam itu, setahun yang lalu, jalan-jalan sangat licin. Joko memakai motor besar pinjaman, melaju kencang untuk memenuhi undangan makan malam dari Prof. Cole pada pukul 7. Joko akan bertemu dengan orang-orang penting dari Apple. Siapa tahu, jabatan Junior Software Developer bisa jatuh ke tangannya. Tapi dia tidak boleh terlambat! Joko mempercepat laju motornya. Waktu menunjukkan pukul 7 kurang 2 menit. Dia tidak boleh terlambat. Terlambat akan mengacaukan segalanya. Dia tidak boleh....
di persimpangan, sinar terang yang sangat terang tibatiba menerjang.
“Sepertinya aku mati malam ini,” pikir Joko. Joko membanting motornya ke sampin. Truk itu melaju, supirnya memaki dalam baasa Meksiko.
“Yang penting selamat....” Joko memandang truk itu sekelebat, keasyikan, dia tidak menyadari ada lubang besar di depannya dan tulisan ‘UNDER CONSTRUCTION’.

Joko terlempar beberapa meter dari motornya. Mengerang kesakitan. Menyadari dirinya telah menyangkut diantara alat tajam konstruksi. Darah mengalir.
“help...,” serak, Joko memohon.
Beberapa pekerja konstruksi berlari berhamburan dari dalam restoran burer.
“Bodoh, lihat kedepan dong!”
“Ssshh... tolong dulu dia!”

-&-

Joko mengerjapkan matanya yang diujani cahaya matahari.
“Aku dimana?”
Perlahan Joko bangkit dari posisi tidurnya yang terlentang. Untuk sedetik, dibiarkannya matanya bertualang memandangi pemandangan menakjubkan di depannya.
“Pantai...”
Sudah lama sekali Joko tidak ke pantai, paling-paling dulu waktu berumur sepuluh dia memang sempat diajak oleh Bapak ke Malibu Beach. Tempatnya ramai sekali oleh turis. Cewek bule yang seksi memenuhi tiap sudut pantai. Ada yang pakai baju, ada yang tidak. Pokoknya, pantainya tidak bisa dinikmati oleh anak kecil normal seperti dirinya dulu.
Tapi pantai yang ini lain sekali dari kenangan masa kecilnya. Pantai ini mempunyai gradasi 3 warna biru laut yang apik. Di lautan yang terlihat paling jauh, warnanya biru tua, matahari makin susah menembusnya. Semakin dekat ke pantai, lautan warnanya semakin transparan dan mendamaikan.
Perlahan Joko menutup matanya, merasakan angin membelai rambutnya. Deburan ombak yang tidak seberapa besar menciptakan melodi unik di telinga Joko. Ia menghirup udara pantai yang aneh rasanya tapi segar kemudian bertanya-tanya, kenapa dia disini?
Joko tersentak ketika memrasakan sesuatu merayap di jempol kaki kananya. Seekor anak kepiting berlari terseok-seok diantara jari kaki Joko. Joko tersenyum kemudian bererak untuk meraihnya tapi rupanya anak kepiting itu lebih lincah dari Joko.
Perlahan Joko berjalan menyusuri pantai, melihat kedepan, sejauh mata memandang hanya lautan semata. Tidak ada kapal. Tidak ada pulau. Tidak ada burung camar, tidak ada nelayan yang menarik-narik jala, tidak ada turis yang berfoto-foto. Sepi. Disini sepi.
Celingukan, Joko berusaha mengingat-ingat adegan seperti ini ada di film apa. Oh, ya. Joko ingat ini seperti adegan di film Cast Away. Ceritanya tentang seseorang yang terdampar seorang diri di sebuah pulau kosong dan harus melakukan banyak tindakan darurat agar bisa survive.
Joko mengingat film itu dan berfikir bagaimana caranya nanti ia makan karena tampaknya ia tidak bisa menggessek-gesekkan kayu untuk membuat api. Dirogonya saku celananya mencari korek api yang seingatnya selalu dikantongi, tapi  nihil.
Joko menghembuskan napas bingung. Bingung apakah ini sekedar mimpi yang memang selalu membingungkan atau apa. Tapi kemudian ia  memutuskan untuk menikmati keadaan. Teroda dengan ombak yang sesekali menggelitik kakinya yang masi kering, Joko melepaskan baju kokonya dan segera berlari ke pantai. Masudnya ingin menceburkan diri dan bergulingan, mengganggu ketentraman penghuni laut. Sudah sepuluh menit ia berlari masuk ke air, tapi air laut tidak bertambah tinggi. Hanya sebatas lututnya saja.
“Tidak mungkin!”
Dengan keras kepala ia terus berlari melintasi terumbu karang yang masih megap-megap mencari kehidupan, anemone yang gemuk dan lucu, ikan-ikan berwarna oranye dengan garis-garis putih yang mirip Nemo di film Finding Nemo. Ikan kecil yang berwarna pink dengan mata melotot, bintang laut totol hitam yang sedang berpose senam. Dan banyak lagi. Tapi tetap saja, dia tidak mendapati laut tumbuh lebih tinggi dari lututnya.
Seperti orang bodo, Joko menoleh ke belakangnya sudah jauh sekali. Baju koko merahnya yang teronggok di pasir juga terlihat seperti titik merah di kening wanita India.
Ngos-ngosan karena sudah berlari beberapa ratus meter, Joko akhirnya berhenti dan duduk di tengah lautan. Beberapa ikan kecil berwarna kuning biru tampak senang menemukan terumbu karang baru berbentuk kaki manusia, dan langsung mendirikan dan membentuk koloni di sekitar paha Joko.
Joko meraup air laut dan memercikkan ke seluruh wajahnya, mengalir ke mulutnya. Asin. Matanya mulai terasa pedih, padahal hanya beberapa tetes air laut yang mampir ke matanya.
“Kenapa orang-orang banyak yang rela membayar mahal untuk menjadi hitam dan mata kelilipan air laut?” Joko bersungut-sungut.
Seekor ikan sebesar paha orang dewasa yang gemuk tiba-tiba muncul. Warnanya merah. Kelihatannya enak. Joko mulai bernafsu untuk membakar ikan itu, seperti di rumah makan ikan bakar Daeng Roni di Bellevue.
Ikan itu mendekatinya, mulutnya berkecumik.
“Enak aja lu mau makan gue....!”
Joko tersentak kaget. Spontan dia bergerak berkeliling mencari sumber suara dan mengacaukan sarang ikan kuning biru.
“Oii, gue disini,” ikan itu berbocara lagi.
Joko hampir pingsan melihat ikan merah yang melompat-lompat di depannya.
“Lu heran ya liat ikan bisa ngomong?”
Ikan itu berenang dengan anggun mengelilingi Joko sambil mengusir ikan kuning biru yang masih sibuk membuat sarang.
Joko masih terbengong-bengong melihat keanehan sejati di depannya.
“Gue disini untuk membangunkan lu!”
Joko menelan ludah, tenggorokannya tercekat.
Mulut ikan merah itu berkerut seperti tersenyum.
“Sekarang tidur lu lebih dalem dari sekdar tidur biasa yang katanya 8 jam tiap hari itu….”
Joko menunduk lemas.
“Lu inget gak kapan terakhir kalinya lu ngebahagiain bokap dan nyokap lu?”
Joko tercenung, menatap ke langit yang cerah dengan awan beraneka rupa. Salah satu awan yang dilihatnya membentuk angka 60.
Joko memberanikan diri untuk menjawab. “hem….. kapan ya?”
Joko ingat kketika dia menjadi anak paling nakal se-SMA, malas belajar belajar, kemudian saat ia memecahkan guci kesayangan ibunya.
“Gak pernak kali!”
“Lu nyesel gak?”
“gue sekarang lagi proses untuk nyenengin mereka.”
“Kalo usaha lu kudu berhenti sampe disini lu kesel gak?”
“Hah?? Ya kesel dong, gue udah capek-capek kuliah, udah semester akhir nih, masa berhenti!”
Ikan itu tertawa sambil melompat tinggi keluar dari air.
“Tapi kalo yang menciptakan bumi gue, dan elu memutuskan untuk menyudahi usaha lu sekarang, lu nggak bisa apa-apa kan?!”
Tampang ngeri langsung terpancar dari wajah Joko.
“tenang lu belum saatnya berhenti.” Ikan itu memasang kacamatanya yang tanpa frame. Sebuah layar elektronik tiba-tiba muncul di depan mereka. Pendarnya berarna biri melingkupi ajah Joko
“See….” Layar itu menampilkan bagan kelahiran dan kematian manusia.
“Tidur panjang lu belum saatnya terjadi, dan lu boleh pergi, bahagiakan ornagtua lu….. temukan cinta sejati lu …… berbahagialah karna  kesempatan kedua ini mungkin tidak bisa terjadi lagi.”
Walaupun tidak mengerti dengan bagan aneh yang ditunjukkan ikan itu, Joko mengangguk dan berkata. “Ok, thank you, no what?”
Tanpa disadari awan diatas kepalanya membentuk angka 0 dan langit membuka membentuk lingkaran panjang berbentuk teroongan sebagai jalan untuk kembali.

Look! I'm on fire!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang