1

167 24 0
                                    

Enam tahun sudah berlalu.

Enam tahun yang tentu saja sangat berat untuk dijalani. Hampir dua tahun aku terpuruk dalam rasa bersalah yang setiap malam menghantui. Rasa bersalah kepada Bunda dan Febria yang ikut menanggung kesalahan yang kulakukan. Mereka yang tidak pernah merasakan hidup pas-pasan, harus tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan makan seadanya. Mereka yang seharusnya masih merasakan kasih sayang Ayah, harus menerima kenyataan bahwa Ayah sudah pergi selama-lamanya dari hidup kami. Semua salahku. Semua karena aku.

Dalam keterpurukan saat itu, aku pun harus berjuang sekuat tenaga untuk menghidupi Bunda dan Febria, adikku. Entah kekuatan ekstra dari mana, hingga aku bisa membiayai kehidupan sehari-hari keluarga, membayar sewa rumah, membiayai kuliahku sendiri dan Febria hingga lulus. Tentu saja aku harus bekerja dengan keras saat itu. Mulai dari menerima pengetikan skripsi atau tugas-tugas mahasiswa, menjual barang-barang pribadi yang tersisa, menjual makanan kecil, hingga menjadi fotografer amatiran bermodalkan sosial media, sebuah laptop dan kamera.

Aku bersyukur saat itu sahabat-sahabatku tetap setia di sampingku. Bahkan mereka banyak membantu. Keyna dengan senang hati mempromosikan paket-paket prewedding di sosial media. Atau Leo dan Nikki yang tak kenal lelah membantu mengetikkan setiap pengetikan yang aku terima. Atau Hyden dan Joshua yang selalu memberiku kejutan-kejutan kecil saat aku merasa suntuk dan mulai mengingat kenangan buruk yang sempat aku lalui.

Namun semua itu telah berlalu.

Kini aku sudah bisa membangun sebuah usaha fotografi dengan tema pernikahan. Usaha pertama yang kubangun sendiri. Pertama memang tanpa tempat, tanpa manajemen yang memadai, hanya mengandalkan akun sosial media untuk pemasaran. Tentu saja ini adalah andil Keyna sebagai marketing yang handal, hingga aku mendapatkan banyak job prewedding.

Setelah hampir tiga tahun mengumpulkan modal dengan banyak permintaan foto prewedding, aku membeli sebuah ruko berlantai dua untuk melanjutkan usaha ini dan mencicil sebuah mobil untuk memudahkan transportasi ketika ada job di luar.

Ya, setelah lulus kuliah, aku memutuskan untuk mendirikan usaha fotografi seperti yang kuimpikan selama ini. Mungkin terasa aneh bagi sebagian orang termasuk sahabat dan keluarga, karena selama ini aku kuliah di jurusan Ekonomi Manajemen. Tapi, bagaimana lagi, aku merasa fotografi sudah mengakar kuat di hidupku, bahkan fotografi lah yang membantuku bertahan dari belitan ekonomi saat itu.

Aku belajar fotografi secara otodidak melalui buku-buku, internet dan juga bergabung dalam klub fotografi untuk mempelajari tehnik-tehnik fotografi yang belum dikuasai demi meningkatkan kualitas hasil potretanku. Meski sekarang aku sudah dikenal di kota ini sebagai fotografer yang cukup sukses, aku masih terus bergabung dalam klub fotografi tersebut untuk sekedar berbagi pengalaman. Paling tidak mereka sudah tidak menganggapku anak bawang dengan gender minoritas di klub tersebut.

Aku mempekerjakan dua orang untuk membantu mengurus usaha ini. Keyna, sahabat yang kupercaya mengurus seluruh jadwal, periklanan, keuangan, merangkap penata gaya dan make-up artist, serta Vira teman seangkatan waktu kuliah yang bertugas sebagai front office dan pelengkap -kusebut pelengkap karena dia juga bertugas membuat minuman, membeli ini itu, mengambil dan mengantar foto yang dicetak dan lain sebagainya-.

Aku merapikan peralatan yang berserakan di meja kerja, mematikan PC kemudian menyimpan senjata andalan dalam bekerja, kamera berikut lensanya ke dalam tas kamera. Mataku tertuju pada tumpukan foto yang baru saja dicetak. Vira sudah memberikannya sejak siang tadi, namun aku belum menyentuhnya sama sekali.

Ahh, nanti saja, masih ada waktu, suara hati mengalahkan prinsip yang kupegang, tidak menunda-nunda pekerjaan.

Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut-denyut. Ini pasti karena kelamaan menatap layar PC. Sehari ini aku tidak beranjak dari meja kerja. Aku melirik jam tangan, sudah jam lima sore. Berarti aku sudah menghabiskan sembilan jam untuk menatap layar persegi ini. pantas saja sekarang kepalaku merasa pening.

Destiny FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang