9

113 28 1
                                    

Pagi ini aku ikut makan pagi bersama keluargaku. Kemarin saat aku sampai di rumah ini, bunda sudah tidur. Akhirnya aku menginap karena sudah hampir tengah malam. Aku lupa kapan terakhir aku ikut makan pagi bersama mereka. Kulihat bunda begitu gembira melihatku turun untuk ikut sarapan bersama.

Aku benar-benar merasa telah menyia-nyiakan waktuku yang begitu berharga beberapa tahun ini, tenggelam dalam keegoisanku yang tidak masuk akal. Aku ingin kembali merasakan kehangatan sebuah keluarga, tapi, aku sungkan. Aku yang telah membuat keluarga ini hancur karena ulahku. Karena mengenalkan lelaki brengsek itu pada keluargaku. Aku begitu menyayangi keluargaku, sebenarnya, tetapi perasaan bersalah selalu saja menghantuiku setiap kali aku melihat wajah bunda maupun adik perempuanku ini.

Syukurlah, adikku mendapatkan seorang lelaki baik dan mapan hingga dapat mengangkat kehidupannya. Andi bahkan sangat baik, ia memboyong seluruh keluarga kami ke rumahnya, rumah dinas yang ia dapatkan saat ia menjadi manajer di perusahaannya. Sebuah perumahan elite yang jauh lebih mewah dari kontrakan kami yang sangat kecil dan sempit.

"Pulang jam berapa kemarin, kok bunda tidak melihatmu pulang, Faith?" tanya bunda sambil menyedokkan nasi ke piringku.

"Hampir tengah malam," jawabku singkat.

"Jaga kesehatan, sayang. Jangan kerja hingga tengah malam." Bunda mengingatkan. Aku tersenyum simpul.

"Bunda yang harus jaga kesehatan. Kata Andi, bunda sakit. Jangan terlalu banyak kegiatan," ujarku sambil menatap bunda yang semakin hari semakin terlihat tua.

"Bunda hanya menghawatirkanmu, Faith. Kau tidak pernah memberi kabar pada bunda. Apa kau tidak merindukan bundamu ini?" Sebegitunya bunda mengkhawatirkanku? Aku menatap bunda yang sedang menatap lembut ke arahku.

"Bukan begitu bunda, Faith hanya...."

Aku tidak melanjutkan ucapanku saat melihat bunda menatapku dengan penuh kasih sayang. Sorot mata yang begitu merindukan anaknya ini. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku ketika air mataku hampir menetes.

"Sudahlah, ayo kita makan saja," Bunda mencoba mencairkan suasana.

"Sesekali pulanglah kak. Ini juga rumahmu. Kapan saja kakak pulang, rumah ini selalu terbuka untukmu," ujar Andi, adik iparku.

"Benar kak. Sudah lama kita tidak sarapan bersama. Tidakkah kakak kesepian, sendirian di ruko itu?" sahut adikku, Febria sambil tertawa.

"Sesekali mampirlah ke kantor. Katanya kau ingin foto hamil?" Aku menjawab Febria tanpa memandangnya dan sok sibuk dengan makanan yang ada di depanku. Adikku ini sudah hamil besar.

"Kapan kau mengenalkan kekasihmu pada bunda, Faith?" tanya bunda membuatku hampir tersedak. Aku mendengar Febria cekikikan.

Ini dia, pembicaraan yang aku tidak suka saat berkumpul bersama keluarga. Hal ini juga yang membuatku enggan mengunjungi bunda. Pertanyaan yang tidak jauh dari kata menikah.

"Kau lihat Febria sudah hampir melahirkan. Jangan terlalu larut dalam pekerjaan, Faith. Carilah seseorang." Seperti biasa aku hanya mengiyakan ucapan bunda.

"Atau kau perlu kucarikan seseorang untukmu, kak? Sepertinya rekan kerja kak Andi masih banyak yang single," goda Febria sambil cekikikan. Andi mengacak pelan rambut istrinya, membuatku iri dengan kemesraan mereka.

"Jangan suka menggoda kakakmu, sayang." Andi memperingatkan dengan lembut. Aku hanya bisa tertawa garing mendengar ucapan Andi.

"nanti kapan-kapan kukenalkan pada kalian," ucapku sekenanya. Mengenalkan pada siapa? Hampir saja tawaku meledak saat pikiran itu menggelitik kepalaku.

"Tuh kan, kak Faith ini kalau tidak dipancing-pancing, tidak akan memberi tahu kalau dia sudah punya kekasih," ledek Febria.

Aku menatap Febria dengan kesal, lalu pandanganku tertuju pada bunda. Beliau menatapku dengan mata berbinar. Aku langsung menyesali ucapan asalku tadi. Aku berasa membohongi orang yang begitu menyayangiku.

"Pak Andi, ada tamu mencari bapak," ujar seorang pembantu yang baru saja masuk ke ruang makan.

"Tamu? Siapa Bi?" tanya Andi.

"Saya kurang tahu pak, dari perusahaan katanya."

"Oh, baiklah. Terima kasih, Bi." Andi bangkit dari tempat duduknya, lalu menuju ruang tamu. Aku juga bangkit, lalu mengambil tas yang kuletakkan di bawah kursi meja makan.

"Bunda, Faith berangkat ke kantor," pamitku.

"Kenapa terburu-buru, bunda masih ingin ngobrol denganmu." Bunda ikut bangkit dari duduknya, lalu mendekatiku. Aku meraih tangan bunda lalu menciumnya.

"Kapan-kapan Faith datang lagi. Sebentar lagi Keyna dan Vira sampai di kantor. Kuncinya kan Faith yang pegang." Aku beralasan kembali. Bunda hanya mengangguk pelan, kemudian mencium puncak kepalaku.

Aku berjalan keluar diiringi bunda dan Febria, melewati ruang tamu di mana Andi sedang berbincang dengan seorang ... Oh my, bukankah dia....

"Faith." Lelaki itu menatapku dengan intens. Suaranya mampu membuatku menghentikan langkah dan terpaku menatapnya.

"I-van-der ... sedang apa ... kau di sini?" tanyaku dengan terbata.

Ivander hanya menyunggingkan senyuman yang membuatku hampir tercekat. Aku berusaha mengerjapkan mataku agar aku terbebas dari pesonanya.

"Kau pasti menguntitku semalam," tebakku disambut anggukan kecilnya.

"Maaf, aku hanya khawatir terjadi apa-apa denganmu. Kemarin sudah larut malam," jawabnya kalem, tetap dengan senyumnya yang mempesona.

"Khawatir apanya? Kau sudah sengaja menguntitku kan?" Aku mencebik. Lagi-lagi ia memamerkan senyumnya.

"Benar, itu hanya alasan. Sebenarnya aku ingin tahu rumahmu, dan bertemu keluargamu. Lalu aku penasaran, kenapa kau bisa serumah dengan Andi. Dia siapamu?" Ia menatapku menyelidik lalu mendekatiku yang dari tadi hanya berdiri di ujung sofa.

"Andi adik iparku," suaraku tercekat saat ia kini berada di depanku. Ia meraih tangan bunda lalu menciumnya.

"Perkenalkan, Tante. Saya Ivander. Saya~"

"Kekasih Faith?" Bunda menyambar perkataan Ivander. Lelaki itu melirikku sekilas dengan ekor matanya.

"Begitulah, Tante." Kini ia melebarkan senyumnya, kembali melirikku, kali ini dengan tambahann senyum menggoda. Kekasih? Eh, apa maksudnya? Pede sekali dia..

Aku hampir saja membantah perkataan Ivander. Tapi ketika aku menatap wajah bunda yang begitu bahagia, aku tidak tega untuk merusak kebahagiaan bunda. Kebahagiaan yang selama ini tidak pernah terlihat olehku.

"Jadi, ini kekasihmu, Faith. Kenapa baru kau kenalkan sekarang?" tanya bunda sambil tersenyum. Aku gelagepan ditanya seperti itu. Aku melirik Ivander yang sedang menatapku dengan manik hazelnya.

"Dan kau ternyata teman kerja Andi, nak?" tanya bunda lagi, kali ini kepada Ivander.

"Bukan Bunda, Pak Ivander ini bukan teman sekerja. Beliau atasanku. General Manajer di tempatku bekerja." Andi yang menjawab pertanyaan bunda.

Penjelasan Andi membuatku melongo. General Manajer? Ivander seorang General Manajer di perusahaan besar itu? Aku menatap Ivander tidak percaya. Ia hanya tersenyum dan mengangkat bahunya.

"Maafkan saya, Andi, kalau kedatangan saya membuat bingung. Sebenarnya saya ingin menemui Faith dan keluarganya."

"Tentu saja tidak, pak. Saya senang anda berkunjung ke rumah ini. Mari, silakan duduk." Andi mengajak Ivander kembali ke sofa. Bunda mengikuti keduanya.

"Pilihanmu benar-benar jempol, kak. Dia terlihat sexy." Febria berbisik sambil menyodok pinggangku. Aku hanya menatap gemas pada Febria yang sedang terkikik geli.

--- 

Ada yang mau pov Ivander?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Destiny FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang