Aku melambaikan tangan kepada Anton saat hendak memarkirkan mobilku di salah satu basement hotel yang kolam renangnya dibooking khusus oleh komunitas fotografi yang kuikuti. Anton baru saja keluar dari mobilnya bersama salah seorang member baru sepertinya. Aku belum pernah melihatnya di kegiatan komunitas ini sebelumnya. Aku menghampiri Anton setelah memarkir mobilku.
"Belum mulai kan?" tanyaku padanya. Ia mengangkat bahu lalu melirik jam di pergelangan tangannya.
"Aku juga baru datang. Masih jam lima. Seharusnya belum mulai," ujarnya kemudian.
"Ini model yang akan kita foto, Bang? Hmm, sexy juga," komentar lelaki yang di sebelah Anton. Aku memandang skeptis padanya, lalu menatap Anton meminta penjelasan.
"Ahh ... abaikan dia, Faith. Dia cuma anak baru. Dan kau, jaga mulutmu. Kau tidak tahu siapa dia? Dia fotografer senior di sini. Kau harus banyak belajar dari dia." Anton menegur si anak baru. Aku terkekeh mendengarnya menyebutku senior. Dulu aku selalu dikatakan anak bawang ketika pertama-tama ikut komunitas ini.
"Ah, maaf, aku tidak tahu kalau dia fotografer. Dia lebih pantas jadi model, kurasa," ujar si anak baru disusul kekehan Anton.
"Aku sudah katakan padanya bertahun-tahun lalu. Tapi si cantik ini lebih tertarik untuk menjadi fotografer," sahut Anton. Aku terkekeh sambil memukul pelan bahu Anton.
"Aku alergi dipotret." Aku tersenyum simpul menanggapi ocehan Anton.
Aku menjajari langkah mereka memasuki arena kolam renang. Di sana sudah banyak fotografer berkumpul, sibuk dengan kameranya. Aku melihat seorang model sexy yang sedang berpose dan dikerubuti para fotografer yang sibuk menjepretkan kamera.
"Sepertinya kita terlambat. Kita sudah ketinggalan berapa sesi ini?" ujar Anton, lalu menyiapkan kamera. Aku hanya bergidik melihat pemandangan di depanku, tidak berniat sama sekali untuk bergabung dengan mereka.
"Kau tidak ikut kesana?" Anton menaikkan alisnya padaku, dan seperti biasa ia hanya terkekeh melihatku memasang tampang ngeri.
"Kau duluan saja. Rugi nanti kau ketinggalan pemandangan bagus." Aku terkekeh. Ia menyeringai nakal lalu bergabung dengan yang lainnya, tenggelam dalam pesona sang model sexy.
Aku sendiri merasa tidak nyaman saat memotret model yang selalu menonjolkan keseksiannya. Wajahku bisa berubah semerah tomat kalau aku nekat ikut memotretnya. Berbeda dengan pria-pria itu. Mereka malah asik menikmati pemandangan yang menurut mereka luar biasa. Ahh, dasar lelaki mesum.
Aku duduk di bangku panjang dan mulai menyiapkan kamera. Sebenarnya aku tidak tertarik untuk memotret model. Aku lebih tertarik ketika komunitas ini hunting dengan tema landscape, macro atau ketika malam hari dengan tehnik bulp. Tetapi demi solidaritas dan kebersamaan, aku tetap hadir dalam acara hunting bersama mereka apapun temanya.
"Apakah kau juga tidak tertarik untuk memotretku?" Tiba-tiba sebuah suara menyadarkanku dari lamunan.
Aku mendongak dan tertegun saat menatap seorang manusia setengah dewa yang hanya memakai celana renang ketat dan menonjolkan area sensitifnya yang membuat wajahku merona karena malu.
Bukankah ... bukankah dia adalah lelaki yang pernah berada di mimpiku? Seorang manusia setengah dewa yang memelukku dengan posesif? Seseorang yang kukira adalah Hyden? Apakah ini hanya khayalanku semata, ataukah dia memang nyata?
"Nona?"
"Ah ... kenapa?" Aku mengerjapkan mata dua kali dan kembali menatap lelaki itu. Mata coklatnya sedang menatapku sedangkan bibirnya yang sexy itu tersenyum simpul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny Faith
RomanceFaith merasa takdir selalu mempermainkan hidupnya. Mulai disakiti oleh pria yang juga menghancurkan hidup keluarganya, cinta bertepuk sebelah tangan kepada Hyden, sahabatnya, hingga muncul seorang manusia setengah dewa yang ternyata mempunyai rahasi...