4

117 24 0
                                    

"Kau masih marah pada mereka karena menculikmu kemarin, Faith?" tanya Keyna ketika melihatku turun dari lantai atas.

"Aku juga marah padamu. Ingat itu," cebikku kesal.

"Ck, jangan seperti anak kecil." Keyna melambaikan tangan di depan wajahnya. "Aku tahu kau tidak mungkin bisa marah padaku," tambahnya seraya terkekeh.

"Awas saja sekali lagi kau sekongkol dengan mereka seperti kemarin. Aku tidak akan memaafkanmu," ancamku sambil memasang tampang pura-pura jengkel.

"Berarti sekarang dimaafkan nih?" Keyna terbahak. Aku cuma mendengus kesal.

"Hyden ingin meminta maaf padamu—"

"Masih mau sekongkol dengannya?" Aku mendelik marah.

"Ck, aku hanya menyampaikan pesannya. Joshua yang menyuruhku menyampaikannya padamu."

"Sepertinya aku tidak ingin bertemu dahulu denganya. Ini sangat sulit bagiku ... mengertilah," desahku frustasi.

"Aku mengerti, Faith. Sudahlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan padamu kemarin, hmm, sahabat baikku?" Keyna menyunggingkan senyum tulusnya.

"Sepertinya secangkir kopi istimewa buatanmu, mampu mengembalikan moodku yang sedang di ambang jurang ini." Aku nyengir membalas ucapan Keyna.

"Secangkir kopi? Itu saja? Tentu saja, Faith. Andai saja Hyden tahu begitu mudahnya meminta maaf denganmu. Ternyata kau hanya luluh dengan secangkir kopi." Keyna masih sempat menggodaku sebelum ia berlalu menuju pantry untuk membuatkanku secangkir kopi.

Semudah itu? Tentu saja. Tanpa secangkir kopi pun, jika Hyden datang di hadapanku dengan mengatakan maaf, itu saja cukup meluluhkanku. Mana mungkin aku bisa benar-benar marah padanya? Aku tidak ingin bertemu dengannya bukan karena aku marah atau benci padanya. Aku hanya ingin menjaga hatiku. Menjaga hati agar tidak tergoda untuk lebih mencintainya. Menjaga hati agar tidak selalu tergantung pada dirinya.

"Kenapa, Vir?" Aku mendongak ketika melihat Vira berada di depan meja kerjaku. Wajahnya terlihat aneh.

"Aku sudah katakan, kau tidak ingin menemuinya, tapi ia memaksa ..."

"Siapa?" Aku mengerutkan kening, lalu berusaha melongok ke meja front office, namun aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang Vira maksud.

"Klien baru?" tanyaku lagi ketika Vira tidak merespon pertanyaanku.

Biasanya klien akan berurusan dulu dengan Vira untuk urusan tanggal, pembayaran dan segala macamnya baru kemudian dibuatkan jadwal untuk meeting bersamaku dan Keyna untuk membahas konsep dan sebagainya. Jadi aku jarang bertemu klien baru sebelum mereka bertemu dengan Vira terlebih dahulu.

"Tidak apa-apa, Vira. Aku akan menemuinya. Lagipula aku bisa dicap sebagai fotografer sombong kalau aku tidak mau menemuinya," ujarku lalu beranjak dari tempat duduk, lalu merapikan sejenak pakaianku.

"Tapi, Faith ..."

Aku tak menghiraukan ucapan Vira yang menggantung. Segera aku melangkah ke sofa di dekat meja front office lalu tiba-tiba tubuhku kaku. Aku menahan nafas sejenak.

Pria tampan itu ... jantungku berdegup dengan kencang. Enam tahun ia menghilang, dan kini berada didepanku dengan tampang tidak bersalah. Untuk apa dia datang lagi? Saat beradu pandang dengannya dia tersenyum lebar dan melambaikan tangan padaku.

"Hai, Faith!" serunya sumringah.

Astaga!! Dia masih bisa seceria itu? Ingin rasanya aku menampar muka pria tampan itu dengan sepatuku. Dia sudah menghancurkan hidupku, membuatku hidup dalam rasa bersalah, dan ia masih bisa tersenyum menyapaku. Tidak kah ia punya sedikit hati saja?

Destiny FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang