Perjalanan ke Delanggu

59 3 1
                                    

Sementara itu, di rumah Sari sudah mulai nampak kesibukan layaknya orang yang mau punya hajat besar. Dari awal sebenarnya Sari menginginkan pernikahan yang sederhana, akan tetapi Pak Sastro tidak mengijinkannya. Memgingat Sari putri semata wayang orang terpandang di kampungnya.

Tetangga kanan kiri mulai berdatangan ke rumah Sari guna membantu kelancaran pesta pernikahan Sari yang akan dihelat tiga hari tiga malam dengan konsep pesta rakyat. Aroma wangi masakan sudah mulai tercium, ada sambel goreng kreni, telur bacem, ayam goreng, terik daging sapi dan beberapa jajanan dibuat.

Saat acara rewangan, para tetangga menggoda Sari yang akan segera melepas masa lajangnya. Sari hanya tersenyum simpul meski wajahnya tak mampu menyembunyikan kekhawatiran saat dia kembali mendengar suara burung Kedasih di atap rumahnya.

Mbok Parni yang didaulat sebagai juru masak di pernikahan Sari sempat berujar, "Gusti ... ono opo to iki kok burung Kedasih itu berkicau."

Sari segera menghubungi Gino untuk mengabarkan apa yang barusan didengarnya. Ya, suara burung kedasih. Gino hanya mampu menenangkan calon istrinya itu. Sedikit hilang rasa ketakutan di hati Sari, namun hal itu tidak berlangsung lama. Sari kembali cemas saat Gino meminta ijin membeli kemeja putih yang akan dia pake saat resepsi nanti. Saat Sari bertanya, Gino akan melakukan perjalanan yang panjang menuju dunianya yang baru. Gadis itu terhenyak mendengar jawaban Gino.

Begitu banyak firasat yang dirasakan Sari termasuk saat dia bermimpi diajak oleh Gino pergi ke sebuah padang rumput yang luas, di mana di situ hanya ada dirinya dan Gino. Saat Sari sedang bermain ayunan, dia melihat Gino meninggalkannya sendirian. Dia kebingungan mencari Gino.

🍂🍂🍂

Mengingat jarak tempuh dari Sragen ke Klaten tidaklah dekat, maka Pak joko mengajak keluarganya berunding mengenai darimana nantinya rombongan pengantin akan memulai titik keberangkatan. Akhirnya menurut kesepakatan, sentono manten atau rombongan pengantin akan berangkat dari rumah Bulik Trini, adik Pak Joko, yang tinggal di daerah Delanggu.

Selesai berembug, Bulik Trini menyarankan keluarga besar di Sragen untuk datang tiga hari sebelum hari H perhelatan. Segera Mas Yono diminta bapaknya untuk mencari bus yang akan dipakai untuk mengangkut rombongan pengantin. Saat Om Warsito, suami Bulik Trini, menanyakan soal lakune manten, dijawab oleh Pak Joko kalau aman saja. Berbeda dengan Om Warsito yang menganggap itu sebagai Satrio Manah.

Tetap saja pendapat itu tak digubris sedikitpun oleh Pak Joko. Hari keberangkatan pun tiba. Semua rombongan segera masuk ke dalam bus. Saat di dalam bus, Bu Joko baru ingat kalau dia lupa sesuatu. Ya, sesuatu yang sangat penting untuk acara lamaran besok pas malam Midpdareni.

"Astaghfirullah,  Pak, suruh ayu dan pisang raja yang di atas meja belum terbawa," ucap Bu Joko dengan raut muka panik tergurat.

"Ibu ki piye to, kenapa sampai lupa? Bukannya dari tadi sudah diingatkan Simbah. Kalau sudah begini terus kita harus bagaimana?" celetuk Mbak Watik yang tak kalah cemas.

"Sudah jangan ribut. Kalau mau pulang kita sudah sampai Kebakkramat. Sudah jauh. Nanti kalau sudah sampai Delanggu biar disiapkan Bulikmu lagi, Tik. Jangan buat ibumu sedih," Pak Joko menengahi perdebatan ibu dan anak itu.

Sementara Mas Yono terlihat murung mendengar keributan itu. Bukan masalah bisa beli lagi, uborampe seserahan yang satu itu terkait dengan simbol perlindungan Gusti Allah. Dari awal Mas Yono sudah merasakan keganjilan demi keganjilan.

"Ya Allah, pertanda apakah ini?" gumam Mas Yono.

Saat mobil memasuki wilayah Palur, tiba - tiba sopir mengerem mendadak, membuat semua penumpang kaget bahkan ada yang sampai terjungkal.

"Ada apa ini, Mas Sopir? Jangan bikin kita takut. Hati - hati kalau mengemudi. Kamu bawa banyak nyawa ini!" seru Pak Joko setengah berteriak.

"Maaf, Pak, ini tadi saya melihat ada nenek menyeberang. Daripada saya tabrak nanti malah panjang urusannya, mending saya rem, Pak."
Pak Sopir menjelaskan.

Lagi - lagi, keanehan demi keanehan terjadi. Hal ini membuat Mas Yono pusing dan menyandarkan kepalanya ke bahu istrinya. Perjalanan tetap dilanjutkan meski wajah kekhawatiran jelas terpampang di wajah rombongan pengantin. Saat itu Pak Joko hanya bisa bertasbih dalam hati.

Memasuki daerah Gilingan kembali lagi Mas Yono dihadapkan pada suatu pemandangan yang tak lazim, saat bus melewati taman Balekambang, dia seperti melihat Mbah Mitro duduk di tepi jalan. Antara sadar dan tidak, Mas Yono ingat kalau Mbah Mitro meninggal sebulan yang lalu di tempat itu karena kecelakaan ditabrak truk sampai kepalanya hancur. Sekarang Mas Yono melihatnya duduk di pinggir jalan dan melambaikan tangan memberi isyarat agar bus berputar arah untuk pulang ke Sragen.

"Astaghfirullah, pertanda apalagi ini, Tik? Duh Gusti, apa betul itu tadi Mbah Mitro? Kenapa Mbah Mitro melarang kita melanjutkan perjalanan yo, Tik?" tanya Mas Yono kepada istrinya.

"Sudahlah, Mas, yang sabar saja. Jangan cerita ke Gino dan Bapak. Nanti mereka khawatir. Ini hari bahagianya, jangan sampai Mas merusak suasana bahagia mereka. Mas perbanyak istighfar saja," ucap istrinya bijaksana.

Sementara itu, Bu Joko terlihat sibuk dengan gawainya. Dia meminta kakak Gino yang masih di Jakarta untuk langsung menuju Delanggu. Perlahan bus memasuki kawasan Kandang Menjangan Kartasura,  tiba - tiba mengalami pecah ban. Hal ini membuat keluarga Gino hampir putus asa. Setengah jam kemudian, selesai mengganti ban, bus kembali melaju ke arah Delanggu. Sesampainya di Delanggu, rombongan disambut tuan rumah dengan penuh sukacita.

***

Bersambung.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Semoga pernikahan mereka lancar.

Rombongan Pengantin GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang