Rasanya sudah sebulan ia kurang tidur akibat harus les privat sampai larut. Dan kemarin malam Lita kembali mendapat cambukan dari ayahnya karena nilai ujian yang dibawah rata rata. Pasti sang Ayah sangat marah, kecewa, dan malu pastinya. Apalagi gosipan mengenai ketololan anaknya sudah sampai di telinga rekan rekan bisnisnya. Yang membuat sang Ayah sampai naik pitam ketika mereka selalu memuji muji kecerdasan dan predikat memuaskan dari anak mereka masing masing, dihadapanya, seolah mengejek dan merendahkanya. Siapa yang tidak malu?
Hal itulah yang menyebakan Lita tidak semangat untuk bersekolah. Dia ingin seperti teman temannya yang lain. Jika sang anak mempunyai kekurangan, maka disanalah sang orang tua memberi dukungan. Tidak seperti dirinya yang bahkan mendapat ancaman dan yang lebih parah sampai melibatkan fisik. Membuatnya tertekan. Dia tau jika apa yang selalu dilakukan ayah dan kakak laki-lakinya itu adalah sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tapi dirinya bisa apa? Melaporkan? Memangnya berani? Kalaupun iya, apa dirinya sanggup harus hidup seorang diri. Tapi, sepertinya itu lebih baik daripada harus merasakan pahitnya kebersamaan, menurut kamus hidupnya.
Yang membuatnya semakin drop adalah tentang kakak laki-lakinya, Argan. Dirinya dibuat was was dengan kelakuan pria itu yang kadang diluar nalar akhir akhir ini. Seperti menciumnya mungkin? Siapa yang tidak takut jika diperlakukan seperti itu? Apalagi dengan kakaknya sendiri. Yah..meski bukan kakak kandung. Tapi tetap saja mereka adalah saudara. Itulah yang menyebabkan dirinya takut setiap berada di rumah ditambah ketika ayahnya sedang tidak ada.
"Lit bengong mulu dari tadi. Mikirin apa sih" ucap Shindy yang menyenggol bahu Lita. Hal itu kembali membuat Lita tersadar dan menatap Shindy dengan senyuman tipis.
"Aku cuma mikirin cucian yang belum aku angkat tadi pagi. Hari ini mendung. Aku takut kalo hujan" dusta Lita. Shindy yang mendengarnya langsung tertawa terbahak bahak.
"Kenapa?"
"Habisnya kamu aneh. Setau aku kamu gak pernah tuh yang namanya jemur pakaian. Bukan gaya orang kaya aja gitu. Kan punya mesin kalo gak ya Laundry" ucap Shindy yang memukul mukul bahu Lita
"Mesin cuci dirumah mati. Jadi mau gak mau" jawab Lita mencoret coret bukunya
"Emang cuma punya satu? Kan holang kaya" goda Shindy meletakan kepalanya di meja dengan menghadapkan pandanganya ke Lita
"Udah ah. Kamu banyak nanya" ucap Lita menutup bukunya
"Iyaiya maaf" jawab Shindy kembali menegakkan tubuhnya
"Eh tadi aku nyimpen cokelat dari Deni deh di meja kamu. Tapi mana ya?" Shindy segera menunduk dan tangan kananya telulur mengobrak abrik kolong meja milik Lita sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menopang tubuhnya di paha Lita. Hal itu membuat Lita meringis bukan main.
"Eh kenapa Lit? Paha kamu kenapa? Sakit ya? Maaf Lit" Shindy yang menyadarinya langsung menjauhkan tanganya dari paha Lita. Senentara Lita hanya menggeleng.
"Duh, kok bekas cambukan yang semalem masih sakit ya?" batin Lita yang mengelus pahanya yang dilapisi rok sekolah itu. Sebenarnya bukan hanya paha. Namun hampir seluruh tubuhnya. Pingganglah yang paling parah. Untung ia masih kuat berjalan.
"Maaf Lit aku gak tau kalo paha kamu sakit" Shindy tampak mengatupkan kedua tanganya, merasa menyesal.
"Gak papa kok Shin. Cuma lecet kecil" ucap Lita yang tersenyum
"Kok bisa lecet?"
"Kemarin kecipratan minyak panas waktu lagi goreng ikan" jawab Lita ringan tanpa beban
"Emang bisa tembus ya? Emang kamu gak pake celana?" tanya Shindy lagi
"Aku pake celana pendek. Jadi kena. Duh...nyesel aku gak dengerin omongan kamu waktu itu" jawab Lita dengan santai penuh kebohongan seolah dirinya adalah seorang Aktris yang pandai ber-akting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan dari: KARLITA
RandomHIATUS Lita harus menerima takdirnya yang selalu diberikan siksaan dan ketidak adilan dari ayah dan kakak laki-lakinya. Hidupnya tidak bebas dan menderita. Dirinya hanya gadis bodoh dan karena kebodohan itulah penyebab ayahnya membencinya. Tidak ha...