RINDU Part 2

235 26 17
                                    

“Semua perlengkapan yang harus dibawa sudah disediakan oleh hotel pak. Apakah bapak memerlukan hal lain? Seperti makanan ringan obat atau lainnya?” tanyaku lagi memastikan apa-apa yang harus disiapkan.
“Saya rasa semuanya sudah cukup.” Jawabnya tenang
Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman kecil, canggung. Lagi-lagi… tatapan itu seolah hendak mengulitiku. Tatapan tajam dan sendu. Apa yang dilihatnya dariku? Kupalingkan wajah sebentar, sekedar memastikan tak ada yang salah atau menempel di sekitar wajahku. ‘Semua baik-baik saja… apa aku salah bicara? Ah… sudahlah..’
“Kalau begitu, kita bisa berangkat sekarang?” tanyaku mempersilahkan
“Oke..” jawabnya singkat dan mengikuti langkahku
“Pak Candra berasal dari mana?” aku mulai berbasa basi sambil menuntunnya ke tempat parkir mobil.
“Panggil Candra aja mas!”
Aku menelengkan kepala menatapnya. Agak menengadah, karena dia lebih tinggi dariku. “Dan membiarkan anda memanggil saya mas, sedangkan saya harus memanggil anda tanpa pak?” kutatap wajahnya sebentar, intens “Sepertinya itu bukan langkah yang bijak.”
“Oke… aku panggil Anam kalau begitu.”
“Mungkin Nam lebih enak didengar. Orang-orang juga memanggil saya seperti itu”
“Oke… Nam.” Putusnya sambil kembali mengulurkan tangan mengajak salaman.
Kuberikan senyum terbaikku “Siap, Pak… “ aku menggantungkan kalimatku, sadar kalau aku salah “… Candra” ralatku kemudian. “Jadi… mas tinggal dimana? Mmm…” aku bergumam ragu. Ekspresi wajahnya sedikit berubah saat aku memanggilnya mas. “Aku panggil mas saja ya?” ijinku sambil menggaruk leherku yang tak gatal “Rasanya kurang sopan kalau aku memanggilmu dengan hanya nama saja.” Lama Candra terdiam. Seolah tengah mengamati tiap jengkal wajahku. “Mas..?” panggilku ragu. Kuberanikan diriku untuk menyentuh tangannya agar, memastikan dia masih hidup.
“Eh… apa?” jawabnya linglung
“Mmm… “ kini akulah yang ragu “Aku boleh manggil mas saja?”
“Oh… iya. Gak papa..” serunya mencoba mengembalikan kesadarannya
“Thanks..” ucapku tulus. “Parkirannya sebelah sana!” seruku menunjuk ke arah kanan kami. Candra tak berkata sepatahpun. Dia hanya menghela nafas sebentar dan mengikutiku.
Setelah mempersilahkan Candra masuk ke kursi tengah, aku duduk di kursi depan samping driver. “Perjalanan kita akan memakan waktu satu jam an. Kalau masnya perlu beli sesuatu di minimarket atau perlu berhenti di suatu tempat nanti, masnya bisa kasih tahu. Kita bisa berhenti sejenak. Kalau tidak, kita bisa langsung jalan dan mas Candra bisa istirahat sebentar. Nanti aku bangunkan begitu kita sampai di parkiran.” Jelasku sopan.
Candra menatapku lagi. Rasanya canggung terus terusan dilihat seperti itu. “Iya, terima kasih” jawabnya singkat.
Sepanjang perjalanan, aku menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan driverku pak Maryo. Setelah melewati portal Jambu, aku minta ijin untuk merem sebentar. Aku perlu tidur agar tidak mengantuk nanti saat mendaki.
Rasanya baru saja terlelap, tahu-tahu kami sudah hampir memasuki parkiran. “Mas…” panggilku pelan. Saat kubalikkan badan dan mengecek keadaannya, ternyata dia sudah bangun. “Kita hampir sampai.”
“Iya.” jawabnya singkat. Sepertinya suasana hatinya sedang tidak baik karena dia langsung membuang muka kea rah luar kaca mobil.
Setelah memasuki areal parkir, aku mulai menyiapkan semua peralatan yang diperlukan seperti memakai jaket double, menyiapkan senter dan uang untuk membeli tiket masuk. “Jangan lupa maskernya dibawa mas. Kalau gak salah ada senter tadi yang disiapkan hotel didalam tas.” Terangku.
Entahlah… Candra seolah tak mendengar ucapanku. Dia menatap kosong ke arah parkir. Sesekali dia menghembuskan nafas berat dan mulai berjalan ke sekitar.
“Ada apa, mas?” tanyaku sungkan “Mencari toilet kah?”
“Enggak…” jawabnya mengambang, “tempat ini berubah..”
“Eh?” sahutku tak mengerti “Apa.. kamu pernah kesini sebelumnya?”
“Dulu… lebih dari tiga tahun lalu”
“Hmmm…” aku menghela nafas pelan, “..berarti kamu tahu apa yang harus dilakukan?” tanyaku yang lebih terdengar seperti penjelasan

Setelah membeli tiket, kami langsung menuju portal pengecekan ticket dan mulai melakukan pendakian. Malam ini lumayan sepi karena ini hari kerja. Sebenarnya aku paling senang datang kesini kalau sepi. Tapi untuk saat ini, aku ingin sebaliknya. Rasanya canggung harus mendaki berdua saja. Ditambah suasana hatinya yang sepertinya sedang tidak bagus.
“Biasanya kita membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai ke puncak. Masnya ingin melihat api biru kan?” seruku mengawali percakapan.
“Iya, kalau sempat.” Jawabnya yang kusambut senyum kecil yang kuyakin tak bisa dilihatnya karena keadaan disekitar kami terlalu gelap.
“Mas Candra tinggal dimana?” tanyaku, “Jangan digantung lagi ya mas! Aku sudah bertanya tiga kali. Nanti aku bakal dapat hadiah piring kalau diacuhkan lagi haha..” lanjutku mencoba mencairkan suasana.
Candra tersenyum kecil mendengarnya. “Surabaya, Nam”
“Oh… masih se propinsi.”
“Iya. Kalau kamu?”
“Aku asli sini. Rumahku dekat dengan bandara Banyuwangi.”
“Oh..” jawabnya pelan. “Lalu… tadi ke hotel naik apa?”
“Sepeda motor mas. Lumayan deket kok, gak sampe sejam.”
Candra orang yang bugar. Dia tak nampak kelelahan setelah lima belas menit kita berjalan.
“Sebentar lagi kita akan memasuki jalan terjal mendaki. Kalau masnya perlu istirahat, kita bisa berhenti sejenak.” tuturku saat perjalanan mulai menanjak. “Dulu.. masnya kesini sama siapa saja?”
Lama Candra tak menjawabku. Begitu kami mulai memasuki tanjakan berliku, dia menghentikan langkahnya, mungkin lelah. “Kami bertiga.” Jawabnya singkat
“Keluarga?”
“Iya.” Dan dia sedikit larut dengan dunianya sendiri. Aku tau, kapan harus menyela dan kapan harus memberikan waktu sendiri untuk tamuku. Dan ini adalah salah satu moment dimana aku akan memberikannya. Kubiarkan dia menikmati moment kesendiriannya itu. Mungkin dia tengah mengenang masa lalunya disini dulu.
“Naik trolly kah mas?” sela salah satu warga local yang dulunya adalah penambang belerang atau mungkin masih menambang belerang dan mala mini mereka menawarkan jasa angkut ke atas menggunakan trolly.
“Enggak pak. Terima kasih.” Tolakku sopan.
“Hei, mas Nam…” panggil seorang lelaki. Dari suaranya aku tau kalau itu salah satu teman guideku.
“Hai, Ren… mana tamunya?” sapaku balik
“Dibelakang mas. Tamu local.” Jawabnya menunjuk empat orang yang berjalan di mendekati kami. “Mas Nam sendiri, mana tamunya?”
“Ini.. satu orang. Hehe…”
“Mas Nam… bawa kue kah? Aku lupa bawa makanan. Laper. Hahaha…” Tanya Rendi sedikit memelas sambil menggelayuti tanganku. Anak satu ini memang suka manja kalau bertemu denganku.
Segera aku ambil satu bungkusan kue kering yang aku beli di minimarket semalem dan kuberikan satu untuknya. “Ini..” seruku menyodorkannya, “Bawa minum kan?”
“Bawa lah..” sahutnya sumringah dan memelukku erat. “Mas Nam da best pokoknya…”
“Permisi..” sela Candra tiba-tiba “Bisa jalan sekarang?” tanyanya dan entah kenapa, aku sedikit kaget dengan sikapnya yang tetiba meraih pergelangan tanganku dan menarikku meninggalkan Rendi.
“Aku duluan, Ren… see you up there..” seruku meninggalkannya. Aku masih sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Kubiarkan Candra menggandengku sebentar sambil berpikir apa yang harus kukatakan agar dia melepaskannya. “Bukannya aku yang harusnya menuntunmu ke atas?” ungkapku mencoba tenang, “Kenapa malah tamuku yang terkesan menjagaku sekarang?” Candra berhenti sejenak dan mulai melepaskan genggamannya. Mungkin dia sadar apa yang dilakukannya itu berlebihan.
“Sorry…” gumamnya pelan yang masih bisa kudengar
“It’s Oke…” sahutku tersenyum kecil. “Kita lanjut? Mau jalan pelan saja? Atau mengejar api biru?”
“Apa saran terbaik darimu?”
“Udah pernah liat api birunya dulu?”
“Sudah. Payah..”
Aku tergelak mendengarnya. “Kalau begitu bagaimana dengan sunrisenya?”
“Sudah kesana, tapi gak dapat sunrisenya”
“Bagaimana kalau kita kesana saja? Jadi kita bisa jalan lebih santai.”
“Bukan ide yang buruk,” sambutnya

Kami berhenti sejenak setelah mendaki sejauh 1,8 kilometer. Ada dataran yang sering dibuat pengunjung berfoto dan mengambil gambar milky way dan Gunung Raung, Ranti dan Suket disekitarnya. Candra nampak menikmati suasana malam ini. Jadi kubiarkan dia sendirian untuk sementara waktu.
“Lanjut, mas?” tanyaku setelah cukup lama
“Sebentar, Ga”
“Eh?” sahutku bingung. Aku jelas-jelas mendengar dia bilang ‘Ga’. “Maaf, mas… kamu melamun ya?” candaku pelan, tak berniat meledeknya. “Namaku kan Anam, bukan Ga, hehe”
“Oh.. sorry… iya, nam. Ayo lanjut.” Lagi-lagi aku mengerutkan kening bingung.

RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang