Candra menatapku bingung, kulihat dia hendak mendekatiku dan meraih pundakku, tapi tak kuindahkan. Aku melangkah mundur kearah dinding bukit. Kubiarkan kami menjaga jarak sampai semua pendaki melewati kami.
“A….” belum sempat Candra menyelesaikan ucapannya bukan karena kuhentikan, tapi juga karena dia tak tahu harus berkata apa, aku menahannya. Langkahnya untuk mendekatikupun terhenti saat rombongan lima orang warga lokal melewati kami.
“Rehat, mas Nam?” tegur salah seorang diantaranya yang ternyata bapak penambang yang aku juga lupa siapa namanya.
“Iya, Pak.” Jawabku seadanya mencoba ramah.
“Duluan ya…” pamitnya tanpa menghentikan langkah meninggalkan kami berdua.
“Iya, Pak. Silahkan.” Setelah itu, jalanan kembali hening dan suasana canggung kembali menyeruak diantara kami. “Aku akan menganggap tak terjadi apapun. Asal….” Sengaja kugantungkan kalimatku menunggu reaksinya.
“Apa…?”
“Asal kamu mau menjelaskan, kenapa kamu bersikap aneh dari tadi?”
Candra terdiam, mungkin dia sedang mencari cara yang tepat untuk menjawab pertanyaanku atau entah apapun itu. “Gak bisa?” aku memutar badan “Oke..” akupun meninggalkannya sendiri. Kuputuskan untuk berjalan pelan agar aku bisa tau kalau-kalau dia tak menyusulku. Paling benci kalau pas kerja harus menghadapi hal seperti ini.
Syukurlah, Candra menyusulku di belakang. Gak lucu aja kalau sampai dia balik turun, bisa gak dapat gaji aku nanti.
Sepanjang jalan, kami habiskan dalam diam. Tak ada yang ingin memulai pembicaraan baik aku atau Candra. Sepelik itukah masalahnya? Sampai dia tak mau memberitahuku.
Saat mendekati kawah, aku tak bisa lagi mediamkannya. Bagaimanapun juga, dia adalah tamuku, mau tak mau akulah yang harus mengalah. “Sebentar lagi kita sampai di kawah. Sesuai yang kita sepakati tadi, kita gak turun ke bawah tapi langsung naik ke arah sunrise kan?” jelasku memulai percakapan.
“Iya. Kita langsung kesana.” Jawabnya singkat dan kamipun langsung naik lagi ke atas.
Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi saat ini. Kepalaku seolah buntu. Apakah ini kesialan atau ujian? Jadi, perjalanan sepanjang setengah jam kami habiskan dalam diam. Aku tetap menuntunnya kearah sunrise dan sesekali menerangi jalannya agar dia tak terjatuh atau sekedar mengatakan hati-hati saat ada akar pohon yang melintangi jalan.
Sampai tibalah kami di benteng bekas colonial belanda. Disana, sudah banyak orang duduk-duduk santai sambil ngobrol menunggu matahari terbit. Suhu udara diatas sini terasa sangat dingin karena tak ada apapun yang menghalangi angin untuk berhembus.
“Mas Candra bisa duduk disini kalau mau menunggu sunrise. Kalau berkenan, saya mau ijin sholat subuh dulu.” Pamitku setelah kami berada dekat kerumunan orang disekitar benteng.
“Sholat dimana?”
“Sana!” tunjukku ke sisi sebelah barat benteng. Ada tanah kosong datar disana. Tanahnya berpasir dan tak banyak orang disitu.
“Boleh ikut?”
“Jama’ah?”
“Boleh..”
“Ummmm…. Sendiri-sendiri saja ya. Atau mase mungkin mau jadi imam?”
“Oke..” jawabnya singkat dan kamipun segera menuju lokasi.
Karena tidak ada air, aku selalu mencari dinding benteng yang kering dan sedikit berdebu untuk tayamum. Candra sepertinya juga sudah tau apa yang harus dilakukan, jadi aku menyibukkan diriku sendiri.