Rindu part 3

159 16 9
                                    

***

“Sebentar lagi kita sampai di post bunder. Kita bisa istirahat sejenak disana kalau masnya membutuhkan. Sekalian saya bisa cerita sedikit mengenai tempat itu.” tuturku sebelum belokan terakhir menuju post bunder. Candra tak banyak bicara setelah pemberhentian terakhir kami. Apa yang mengganggu pikirannya?

“Oke…” sesuai dugaanku, hanya itulah respon yang dia berikan. Akhirnya sepanjang jalan menuju pemberhentian selanjutnya kami habiskan dalam diam.

“Mau masuk, mas?” tanyaku mempersilahkan saat kamu sampai di post bunder. Disana ada warung kecil yang menyediakan minuman panas dan makanan cepat saji untuk para pendaki yang ingin sekedar melepas lelah atau ingin mengganjal perut. Ini adalah post terakhir untuk mendapatkan makanan karena diatas kawah, kita takkan menemukan orang jualan sama sekali.

Candra mengikutiku dalam diam. Di dalam, dia melihat-lihat sekeliling sebentar dan kemudian menatapku. “Mungkin teh panas tanpa gula,” pintanya kemudian.

“Oke” sahutku dan segera memesan teh panas di dapur. Biasanya aku membuat sendiri kalau penjaga warung tengah sibuk melayani yang lain. Tak perlu menunggu lama, aku langsung mendapatkan pesananku karena malam ini tak terlalu banyak pendaki yang naik.

“Ini, mas.” seruku sembari meletakkan teh panas dalam gelas ukuran besar di atas meja kayu yang tersedia di dalam warung.

“Terima kasih,” ucapnya tulus dan mendekap gelas yang masih panas tersebut. “Jadi, apa yang mau kamu ceritakan tentang tempat ini.”

“Hmmm… warung ini dulunya adalah tempat pemberhentian awal para penambang belerang. Didepan…” tunjukku keluar kaca candela dekat pintu masuk. “.. dulunya ada alat timbang untuk mengukur berapa berat belerang yang dibawa tiap penambang. Setelah itu, mereka akan mendapat nota awal dari petugas yang berjaga. Kalau mereka mau lanjut turun, mereka harus menimbang lagi untuk yang terakhir kali di dekat parkiran. Bukan apa, karena biasanya saat para penambang meletakkan keranjang mereka di pinggir jalan, ada beberapa pengunjung yang jahil mengambil bagian kecil belerangnya sehingga beratnya berkurang.”

“Oh ya, tempat ini dinamakan pondok bundar karena ada bangunan beratap bulat melingkar diatas.” Tunjukku kearah belakang warung, “Bangunan itu dulunya adalah kantor tempat pemerintah belanda memantau ketinggian dan aktivitas kawah.”

“Kapan terakhir gunung ijen meletus?”

“Letusan besar terakhir, terjadi tahun 1999. Tapi untuk erupsi kecil dan aktivitas kawah terjadi hampir tiap tahun.” Aku terdiam sebentar. Kubiarkan dia menyeruput tehnya yang aku yakin sudah tak panas lagi. “ Dan tentang penambang. Sebenarnya ada banyak sekali penambang yang bekerja disini. Ada sekitar 200 penambang. Tapi hanya sekitar 100 penambang yang bekerja setiap harinya, itupun belum dikurangi jumlah penambang yang beralih profesi sebagai jasa angkut. Sebagian besar dari mereka memilih untuk berangkat kerja di pagi hari, karena tak terlalu banyak pengunjung yang lalu lalang disekitar kawah.” Candra nampak memperhatikan tiap penjelasanku. “Untuk tiap penambang, mereka mengangkut dua sampai tiga pasang keranjang berisi belerang setiap harinya. Sekali angkut, mereka bisa memikul 70 sampai 90 kilogram belerang. Kadang lebih, tergantung seberapa kuat mereka memikulnya.”

“Hemmm.. kasian.”

Aku menghela nafas pelan, “Tak semua orang bisa dengan bebas memilih apa jenis pekerjaan yang mereka inginkan. Bukankah semua sudah ada porsinya masing-masing?” jawabku tersenyum ramah. “Kalau semua orang ingin menjadi oarng kaya, siapa yang akan menjadi si miskin? Kalau semua menjadi dokter, siapa yang akan menjadi perawat atau pasiennya? Miris memang kalau melihat kehidupan keras yang harus mereka jalani. Bangun tengah malam. Menahan rasa kantuk, dingin dan lapar sembari memikul beban berat di pundak. Belum lagi kalo kepulan asap belerang bertiup ke arah pendakian. Tapi semua itu mereka jalani dengan ikhlas, karena cuman itu yang bisa mereka lakukan untuk saat ini.”

Candra menatapku nanar. Aku tak tahu apa arti tatapannya kali ini. “Yoga…” desahnya pelan tanpa mengedipkan mata sekalipun terhadapku. Apakah dia melamun lagi?

“Mas…?” panggilku ragu. Detik berikutnya, aku tersentak mendapatinya meraih jemariku dan meremasnya erat seolah takut aku kabur. “Mas… apa yang ka….” Tanyaku tergagap takut tindakannya menarik perhatian orang lain. Walaupun tak banyak orang, atau nyaris tidak ada orang di sekitar kami. Hanya ada tiga orang pendaki di luar yang tengah istirahat. Dua penambang yang saling mengobrol di luar pintu. Tapi tetap saja, aku takut mereka salah tanggap nantinya.

Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi dia kembali meraihnya. “Mas Candra… kamu gak papa?” tanyaku berusaha menyadarkannya. Sengaja atau tidak saat melakukannya, aku tak bisa membiarkannya terus menggenggam tanganku dan diketahui orang lain. Kredibilitasku sebagai seorang pemandu akan buruk disini.
Kugenggam erat jemarinya mencoba membuatnya sadar dan…. berhasil “Oh… maaf, Nam! Maaf…” pintanya sungguh-sungguh dan tampak salah tingkah setelah dia melepaskan genggamannya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran. Aku tahu ini tak sopan. Tapi sudah dua kali dia seperti ini. Mungkin aku bisa mendengarkan dan memahami keadaanya.

“Aku melihat seseorang..” jawabnya terputus… seolah ragu untuk melanjutkan

“Siapa?”

“Bukan siapa-siapa.” elaknya cepat dan segera bangkit dari duduknya. “Mau lanjut? Berapa tehnya?”

“Oh.. oke… sebentar” akupun beranjak dan segera menanyakan berapa harga tehnya. Setelah kami membayar, segera kami keluar dari warung dan melanjutkan perjalanan. kami harus segera meninggalkan warung ini. Aku masih kawatir ada seseorang yang melihat kami tadi.



"Sebentar lagi, kita akan mencapai jalan datar", jelasku setelah kami melewati jalan zigzag menanjak. Candra sesekali berhenti untuk menghela nafas, mungkin dia mulai lelah.

"Bisa berhenti dulu?" Pinta Candra setelah kami memasuki jln dataran yang kumaksud tadi.

Pemandangan dari atas sini lumayan cerah. Sinar bulan separuh membantu dapat melihat pemandangan sekitar. Gunung ranti yang membentang paling dekat, disusul raung, suket dan dua gunung kecil di tengahnya yg tertutup kabut sungguh merupakan theraphy stress terbaik yang disediakan alam.

"Gak setiap hari kita bisa melihat pemandangan indah seperti ini." Seruku sembari menikmati pemandangan indah di depan kami. Candra juga mengedarkan pandangan kesekitar sambil mengatur nafasnya. "Langit juga sedang cerah. Banyak yang sengaja berhenti disini untuk mengambil foto milky way. Sayang aku gak bisa melihat bintang dengan jelas sekarang. Aku perlu bantuan kaca mata" Jelasku sambil melepas tasku untuk mengambil kacamata yang selalu aku simpan. Sebenarnya aku paling malas memakai kacamata saat bekerja di sini. Sangat tidak efisien. Terlalu ribet. Tapi... Karena yang kubawa adalah orang lokal dan kami juga tak berniat turun ke kawah, jadi tak ada salahnya aku memakainya sekarang.

Begitu aku memakai kacamata, Aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Siluet gunung dan pepohonan. Pendar lampu yang berasal dari para pendaki yang tengah berjuang naik dan aku bisa melihat .... 'Apa.....???'

"Ada apa, mas? " Tanyaku yang kembali dibuat bingung dengan tatapan Candra saat ini.
Perlahan, dia semakin mendekatiku. Hendak menghilangkan jarak diantara kami. "Kamu.... " Ucap Candra terbata, "... Yoga... " Desahnya menyebut seseorang.

'Siapa?' Tanyaku dalam hati.

"Ga.... " Panggilnya dan sontan mendekapku.

"Aku.... Rindu.... "

Aku... Membeku.... Pria tinggi tegap di depanku tadi mendekapku dengan eratnya. Tapi bukan itu. Bukan dekapan itu... Tapi... Tangis... Dia... Menangis.... Kenapa?

"Mas.... " Seruku mencoba melepas dekapannya.

"Enggak.... " Tolaknya semakin mempererat  pelukannya. "Aku takkan melepaskanmu lagi."
"Mas....!!" Panggilku sedikit membentak. "Ada yang lewat... " Usahaku tak membuahkan hasil. Candra masih tak bergeming. Sesekali aku masih mendengar isakannya. "Lepaskan! Ada yang datang" Kali ini aku benar-benar memaksa dan melepaskan dekapannya dengan kasar. Candra nampak kaget dan menatapku nanar. "Maaf!" Seruku tanpa merasa bersalah..

  

RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang