Lutte | 03

42 5 4
                                    

Menangis.

Tak apa kan, sesekali yang namanya manusia pun pernah merasakan sedih dan kecewa.

Tak semua orang kuat menghadapai cobaan yang menerpa kehidupannya.

Menangis, bukan semata-mata hanya karena rasa sedih. Kecewa, marah, kesal dan sesal. Semua rasa yang sudah tak dapat ditahan lagi yang kian lama membuncah, akan tumpah menjadi tangis.

Caca bukan gadis cengeng. Tapi, sekuat apapun dinding pertahannya selama ini, kalau sudah saatnya rapuh pasti akan runtuh.

Caca punya hati yang dapat merasa. Apalagi dia perempuan. Hati nya lebih rapuh.

Bertahun-tahun ia tahan, semua beban itu ia pendam. Mencoba selalu tersenyum meski pahit. Selalu bangkit dan tak ingin mengungkit.

Namun kali ini hati nya mungkin lelah.

Papa Caca yang masih duduk di ruang tamu, tak bergeming di tempat nya. Ia tahu apa yang telah ia lakukan itu salah. Sangat salah. Bahkan dirinya saja tak bisa menjaga perasaan sang anak. Perasaan bersalah kian berkecamuk, kecewa dengan dirinya sendiri yang ternyata tak mampu membahagiakan putri bungu nya.

Mama Caca yang sejak tadi hanya mengintip, mulai berjalan mendekati sang suami. Di usap nya punggung suami nya itu dengan halus, "Papa jangan nyalahin diri sendiri."

Lelaki yang rambut nya sudah putih sebagian itu menutup wajah nya dengan kedua telapak tangan. Merasa teramat bersalah.

"Belum terlambat, Pa. Masih bisa diperbaiki," ujar sang istri yang terihat lebih tenang. Sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya, ia juga merasa bersalah. Semua itu bukan utuh salah sang suami. Mereka kan membesarkan anak-anak berdua. Mungkin cara mereka mendidik selama ini ada yang salah.

"Papa malu, Ma." lirih sang suami. "Papa malu sama diri Papa sendiri," ujar nya penuh sesal. Mengapa baru sekarang ia sadar.

"Udah, Pa. Menyesal gak akan ngerubah apa pun, semuanya sudah terjadi. Sekarang, perbaiki yang ada," ujar Mama Caca yang masih setia mengelus pundak sang suami.

"Papa harus gimana, Ma?"

***

"Bang Deon, cepetan pulang!" rengek Caca dengan nada memerintah. Ia menelpon abang nya, karena tak tahu lagi harus berkeluh kesah dengan siapa.

Tak mudah mengubungi abang nya itu, butuh beberapa kali panggilan dan yang ke- lima kali nya baru di angkat, "Abang! Woi! Dengerin Caca gak sih?"

Deon disebrang telpon setengah kesal, adik nya ini selalu saja mengganggu. Bukan sekali dua kali, setiap ia keluar rumah untuk main pasti saja ada masalah. Tak bisakah ia bebas sehari saja dari si adik. "Iya bawel. Ada apa lagi sih?"

Caca menyenderkan tubuh nya di kursi belajar, "Nanti aja ceritanya kalau udah di rumah. Sekarang abang pulang, cepat!"

"Sabar dong. Sejam lagi, ya? Gue masih sama temen-temen nih," bukan apa-apa. Ia tak enak dengan teman-teman nya, karena selalu pamit pulang duluan setiap main dan itu selalu karena Caca.

"Ih lama, sekarang aja."

"Gak enak, Ca. Gue bawain nasgor deh," Deon memberi tawaran. Adik nya itu doyan sekali makan nasgor.

Caca menopang dagu, tampak berpikir. "Ya deh. Tapi dia bungkus ya, khusus buat Caca aja. Kayak biasa ya Bang!"

Hadeuh. Adiknya ini memang tak tahu diri. Tamatlah riwayat kantong keuangan Deon.

LutteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang