BAB 9 ~ Pertemuan

26 2 0
                                    

"Sarah," panggil Faizul dengan nada teriak sebelum Sarah benar-benar pergi.

"Iya?" tanya Sarah sepontan menoleh.

"Suatu saat nanti aku akan menjemputmu, sebelum Kak Abu," ucap Faizul sedikit teriak.

"Ha? Apa? Maaf, aku tidak mendengarnya," balas Sarah yang memang sudah jauh.

Tanpa menjawab Faizul hanya melambaikan tangannya serta tersenyum lebar kepada Sarah. Sarah juga membalas hal serupa sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan ini semua.

***

Hari mulai malam, saat itu hujan turun dengan lebat. Awan berbaris rapi serta berwarna sangat pekat. Tidak jarang juga suara petir menyambar keras seolah-olah sedang beradu. Angin bertiup kencang seperti siap meluluh lantahkan semua yang menghalangi. Tepat di dalam mobil, seorang gadis tengah duduk dengan memandang setiap tetesan hujan yang turun dari balik kaca mobilnya sambil berkomat kamit dengan nada kesal.

"Aku sebel deh sama Abi, dia terlalu mengekangku. Aku bosan dituntut untuk selalu menuruti kemauan Abi. Aku juga ingin bebas dan bermain dengan siapa saja. Abi selalu memarahiku, padahalkan aku cuma ingin bersenang-senang," keluh gadis tersebut mencurahkan kegelisahan atas sikap abinya selama ini kepada sopir mobil keluarganya.

"Mungkin beliau tidak ingin hal buruk menimpa anda," balas bapak sopir.

"Tapi ya, ngak perlu sampai marah-marah gitu. Aku juga bakal dengerin, tapi ngak untuk sekarang. Aku cuma pengen bebas seperti anak lainnya. Yang bisa main di luar, kumpul bareng temen-temen, nongkrong ditempat hits, pakai baju yang lagi tren, dan bisa belanja di mall," ucapnya dengan tetap menatap kaca mobil. Melihat setiap tempat yang dia lewati di dalam mobilnya.

Raut wajah marah selalu terlukis dari gadis tersebut. Gadis itu bernama Zahra. Seorang wanita yang lahir dikeluarga pesantren namun haus akan kehidupan bebas. Bergaya seperti orang luar, nongrong di tempat-tempat hits. Menjadi impian Zahra saat ini. Memang, gaya hidup seperti itu mustahil bagi seorang anak dari pemilik pondok. Bagaimana tidak? Abi dari Zahra adalah seorang pemilik salah satu pesantren yang lumayan disanjung dalam tempat tinggalnya. Dan ummi Zahra adalah seorang wanita motivator luar biasa pada masanya. Menjadi wanita karir yang gemilang, hingga dipinang oleh Abi Zahra. Sekarang Ummi Zahra lebih memilih menjalin kasih dalam bingkai ibadah kepada Sang Ilahi bersama Abi. Sebenarnya Zahra adalah putri semata wayang mereka. Jadi, tidak heran jika mereka sangat berkeinginan agar Zahra tumbuh dewasa menjadi wanita yang lemah lembut, santun dalam bertutur, bersikap rendah dan sederhana. Namun nyatanya, Zahra lebih menyukai gaya hidup orang kota. Yang serba bebas, modern, dan terbuka.

"Aghhh, pokoknya aku benci semuanya. Kenapa sih, aku dilahirkan pada keluarga ini? Kenapa? Ahhhh!" gumam Zahra sangat kesal dengan masih memperhatikan jalanan.

"Non Zahra, anda boleh marah. Tapi janganlah menyalahkan apa yang telah ada. Anda boleh kesal, tapi janganlah anda bertebal telinga atas semua nasihat yang diterima. Saya percaya, mereka cuma gelisah karena ulah Non Zahra yang berbeda. Lagi pula, mereka hanya ingin masa depan Non Zahrah lebih terarah." senyum tulus tergambar diwajah bapak sopir keluarga Zahra.

"BAPAK SAMA SAJA DENGAN ABI!!!" balas Zahra teriak, dan menutup telinga kecilnya.

Angin semakin kencang berhembus, seiring laju mobil yang memecah jalan sepi dan mulus. Roda mobil seolah-olah sedang berjuang mencengkram jalan yang mulai licin akibat air yang sedari tadi menguyur. Suara bergemuruh dari setiap sambaran petir yang tengah beraduh. Begitu ricuh, riuh, namun tampak sendu.

Pada kaca tetap, kedua bola mata Zahra menatap. Kaca yang sedari tadi berhias rintikan air hujan jatuh, ada yang meliuk-liuk, terjun lalu turun, hingga berdiam menambahkan kesan muram.

"Non..." panggil pak sopir menyadarkan lamunan Zahra.

"Bapak juga punya putri, dulu saat seumuran Non Zahra. Dia sangat suka mendengarkan cerita-cerita lewat radio yang selalu di sandingnya, suka sekali bermain boneka, dan senang bermain masak-masakan. Memang sekilas dia seperti anak gadis pada umumnya. Namun darinya juga bapak sangat terinspirasi. Sejak lahir, anak bapak mengalami cacat fisik yang membuat salah satu bola matanya buta. Sedangkan pasangan satunya seperti cacat sehingga jika dibuat melihat hanya ada gambaran samar-samar. Awalnya bapak sangat sedih melihat kondisi putri bapak mendapatkan cobaan seperti ini."

"Waktu terus berjalan, dia tumbuh menjadi gadis rupawan. Walaupun memiliki kekurangan. Diejek tentang ketidak sempurnaan, sampai ditertawakan seolah-olah dia itu hiburan diatas penderitaan. Bapak selalu ada disetiap celotehanya. Tentang hari-hari yang sama. Hingga suatu masa, pada umurnya yang ke-sembilan tahun. Saat itu pada malam hari, dengan tidak sengaja bapak mendengarkan sebuah panjatan doa pada Tuhan,"

'Ya Tuhan, jika memang Engaku mencintai setiap hamba-Mu. Maka tolong, cintailah orang tuaku. Aku takut dengan kekuranganku ini, akan membuat mereka sedih. Aku tidak menyalahkan ataupun mengeluh atas apa yang Engkau uji pada hamba. Hamba malah gelisah jika kedua orang tua hamba merana'.

"Doa yang singkat, tapi begitu menyayat. Berbentuk padat, namun hingga saat ini masih teringat," cerita bapak sopir dengan fokus sambil mengendarai stir kemudi.

Walaupun raut wajah Zahra tampak kesal, namun dia mendengarkan dengan telinga setiap ucapan bapak tersebut dibalik kedua tanganya. Jujur saja, dia terlihat sedih setelah tau kondisi anak bapak itu. Betapa tidak bersyukurnya dia, saat dapat anggota tubuh yang lengkap, keluarga yang hangat, sampai semua berkecukupan. Namun apa? Dia hanya melulu mengerutu, mengadu nasib dengan orang lain.

Disela-sela tatapan kosong Zahra pada jendela, ekor matanya menangkap tubuh lusuh dan tergeletak di pinggir jalan. Terdampar tak sadarkan diri.

"Pak, stopp!" dengan sikap tetap tenang bapak supir mengurangi kecepatan laju mobil.

"Eh, non ada apa? Kenapa?"

"Pak ada payung?"

"Itu di belakang non,"

Tanpa berpikir dua kali, Zahra langsung membuka pintu mobil. Membenahkan payung lalu menerjang hujan.

Sekuat tenaga Zahra mengerakan kakinya ditengah-tengah banjir yang cukup tinggi. Menenggelamkan hampir selutut itu. Entah apa yang dipikiranya, tiba-tiba ingin sekali menyelamatkan seseorang anak yang tergeletak tidak berdaya.

Posisi Zahra semakin dekat dengan anak itu, tampak raut wajah yang pucat mengiasi muka anak itu. Bibir yang membiru, rambut yang basah kuyub serta sekujur tubuh sudah terkapar lemah. Zahra yang kebingungan dan cemas mencoba memegang pipi anak itu memastikan apakah dia akan bangun.

"Eh? Dingin sekali pipinya." Zahra yang sangat kaget langsung memanggil supirnya untuk menggangkat tubuh anak ini dan berniat membawanya ke rumah sakit agar segera ditangani oleh tim medis.

Mobil melajuh memecah gendangan air di jalan, menyusuri jalan yang nampak sepi hanya beberapa saja alat transportasi yang melintas.

'Apakah dia tidak kenapa-napa?' gumam Zahra dalam hati mencemaskan anak itu.





Assalamualaikum semuanya
Mohon maaf baru bisa muncul dari sekian abad.
Untuk kelanjutannya Inshaa Allah di part berikutnya.

Jazzakumullah ♡

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat cinta berbalut doaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang