"Hey, Buddy!" Tim masuk kedalam kamarku dengan pakaian basketnya. Dia mengusak kepalaku kemudian menusuk-nusuk pinggangku dengan jarinya. Kegiatan rutin Timothy Northon: mengganggu hidupku 24/7. "Bosan? Ayo kita keluar!"
Aku mendesah, memutar kursiku untuk menatapnya. Jariku menunjuk satu persatu projek bahasa yang menumpuk tinggi di meja. "Aku bosan bukan berarti aku tidak punya sesuatu yang penting di kerjakan, Tim. Kita bisa keluar besok."
Tim mendecih kepadaku. Aku tidak peduli.
Ia melempar tasnya ke arah sembarang kemudian berbaring di kasurku tanpa melepas sepatunya. Aku memijat pelipisku perlahan, lelah.
Aku masih berusaha menyesap gelas kedua kopi yang mulai mendingin. Atmosfir kamar tidak begitu nyaman akhir-akhir ini. Dingin dan penuh mimpi buruk. Aku hanya mengandalkan cahaya matahari yang menyusup melalui celah untuk pencahayaan.
Aku tidak merasa begitu hidup akhir-akhir ini. Lebih sering menenggelamkan esksistensiku di dalam kegelapan, berharap tak ada yang menemukan. Aku dan Misty kini hanya sebatas bertukar pesan, terkadang juga bertegur sapa di kelas biologi. Hanya itu saja.
Kamar Anna Trevolis terkunci. Pihak sekolah tak sama sekali berniat untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut akibat keterbatasan biaya. Nama Misty sudah positif semakin tercoreng.
Aku berkali-kali menelponnya setiap malam untuk menanyakan keadaannya. Respon yang di dapat hanya kekehan kecil dan "Aku baik-baik saja, terimakasih telah khawatir." Rasa bersalahku semakin membesar hari ke hari.
Yang bisa aku lakukan hanyalah meretas setiap artikel baru, menghapusnya sebelum 24 jam dan menggaet banyak pembaca. Itu sama sekali tidak cukup, tapi aku berusaha. Misty terus menolak usulanku tentang membuat klarifikasi atau berbicara empat mata pada pihak sekolah sebelum namanya semakin tercoreng.
Aku tahu Misty hanya belum siap.
Tim menggeliat di kasurku kemudian menimpuki diriku dengan bantal-bantal yang ada disana. Aku berdecak kesal. Bukan hanya menggangguku, ia juga berusaha menghancurkan kamarku. Timothy sialan!
"Oke, ayo pergi!" Aku mendesah pasrah. Tim meninju dinding brutal sebagai pelampiasan rasa senangnya. Aku melirik jam tangan murahku seraya menyamoirkan mantel hitam kebesaran hadiah dari ibu dua tahun lalu, "Ingat aku masih punya tugas projek yang banyak dan ... beberapa urusan yang tak perlu kau tahu. Dua jam. Maksimal dua jam. Bagaimana?"
Tim merangkul leherku kencang, tertawa senang kemudian menyeret tubuhku keluar. "Siap, Kapten. Tidak lebih dari dua jam!"
"Tunggu disini! Aku ingin ganti pakaian! Tidak akan lama!" Aku mengangguk setuju karena ia memang pakaiannya bau keringat. Tim menepuk pundaku antusias kemudian berlari kencang menuju kamarnya dan meninggalkanku sendirian di koridor asrama.
***
"Dia bilang permainanku masih kurang baik. Ck, padahal dia pencium yang payah. Amy yang bilang ke padaku tempo hari. Ia tak ingin mencium si keparat otak udang itu lagi, napasnya bau ketiak dan—"
"Sssh, aku sedang makan!" Aku menyumpal mulutnya dengan kentang bersaus yang kemudian menodai sekitar bibirnya. Keparat ini tidak ingin diam daritadi. Maksudku, aku memang senang mendengarkannya berkeluh kesah atau bercerita tentang hari-harinya, tapi tidak dengan hal-hal yang menjijikan. Tidak di hadapan kentang gorengku.
Setelah berputar-putar di taman kota selama 30 menit, kami berakhir di restoran cepat saji pinggiran yang tidak terlalu ramai. Aku sama sekali tidak berniat untuk makan apapun, tapi Tim memaksa. Pada akhirnya, aku menuruti apa mau bocah raksasa ini walaupun hanya makan kentang goreng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time In A Fucking Bluehouse
Mistério / SuspenseSemakin gelap, semakin sunyi, semakin kelam, tak ada yang bisa keluar. Kau pergi, kau mati. Kau diam, kau mati. Tak ada pilihan lain. Cari cahaya dan keluar, kata mereka. Tak ada cahaya, tak ada jalan keluar. Tidak ada cahaya yang benar-benar menunt...